Rian turun dari bus di halte yang bertempat di pedesaan. Bus langsung pergi setelah menurunkan satu-satunya penumpang yang turun.
Pedesaan itu adalah kampung halaman bagi Rian dan sahabat-sahabatnya.
Dari depan halte terdapat sawah padi yang sangat luas. Padi-padinya berwarna kuning kecoklatan yang berarti sebentar lagi sudah waktunya panen.
Di belakang halte terdapat pepohonan yang terdiri dari berbagai macam jenis. Bagian dari desa yang dekat dengan perumahan.
Jarak halte dengan desa berkisar dua ratus meter. Dari halte menuju rumah Rian berkisar lima ratus meter.
Rian langsung berjalan menuju desa namun dia tak pulang ke rumah. Terlebih dulu dia harus pergi ke suatu tempat yang sudah dijanjikan. Rumah Bagas.
Berkisar 700meter dari halte – sepuluh menit jalan kaki, Rian sampai di satu rumah yang cantik namun memiliki desain sederhana. Tipe rumah berdinding batu yang masih eksis pada tahun 90-an.
Rian langsung masuk ke pekarangan rumah yang tak memiliki pagar. Sesaat sebelum Rian sampai ke teras muncul sosok yang lebih kecil dari Rian dari rumah.
"Oh, bang Rian."
Seorang gadis kecil manis berumur sembilan tahunan keluar dari rumah. Memakai pakaian kebaya modern yang dicocokkan pada zamannya.
Tingginya masih sekitar 120cm di umurnya yang sekarang. Hal itu wajar karena ibunya juga bukan seorang yang tinggi.
"Siang, Hinan."
Namanya adalah Hinan Andira. Adik kedua Bagas yang kelihatannya ingin keluar rumah. Rian menyapanya saat dia sedang terburu-buru memakai sendal.
"Mau kemana kok buru-buru begitu?"
"Mau ke sekolah, ada acara yang harus Hinan hadiri."
Hinan yang sudah selesai memakai sendal tak membuang waktu langsung berlari menuju jalan.
Rian melihat kepergian Hinan dari belakang dengan cukup bangga, karena Bagas tak mungkin mau ikut-ikutan dalam suatu acara di sekolah kecuali yang memang wajib untuk dihadiri.
Saat Rian masih melihat ke jalan, seseorang dari dalam rumah memanggil. "Rian, kenapa bengong disitu?"
Rian berpaling dan melihat ibu Bagas berdiri di teras.
Sesosok ibu yang masih terlihat muda dan cantik di umurnya yang sudah menjelang empat puluh. Memakai kebaya modern serba gelap yang membuat keelokannya bertambah 200%.
Namanya adalah Risak Aksara. Ibu Bagas sekaligus investor, atau bisa dibilang pendana bagi project trio goblok.
"Ayo, masuk."
Ibu Bagas mengundan Rian untuk masuk. Rian langsung berjalan masuk ke rumah dengan melepaskan sepatu lebih dulu.
Pertemuan mereka sudah direncanakan, karena itulah Ibu Bagas tak menanyakan kedatangan Rian. Malahan Ibu Bagas sudah terlihat sedia dalam diskusi mereka.
Di dalam rumah, yang tepatnya bertempat di ruang tamu, terdapat beberapa dokumen di atas meja kaca. Meja kaca dikelilingi oleh empat kursi tamu, dua kursi untuk satu orang dan dua untuk tiga orang.
Di sekitar dinding ruang tamu terdapat dua lemari yang berisi aksesoris rumah. Ruang tamu sederhana yang indah untuk keluarga yang terbilang kaya.
Rian masuk ke rumah dengan mengucap salam, "Permisi.", dan langsung duduk di kursi menghadap Ibu Bagas.
Ibu Bagas menatap Rian dengan tatapan serius yang santai. Di sisi lain, Rian yang tak bisa memberikan ekspresi lain menatap seperti biasa dia menatap orang lain.
Di ruang yang santai namun serius itu Ibu Bagas memulai pembicaraan mereka.
"Tante kira Mas Bagas bakal ikut juga. Karena dari awal dia yang memohon permintaan ini."
"Rencananya memang dia harus ikut sih, tante. Tapi dia dan Beni begadang berlebihan dan berakhir tidur tepat sebelum subuh."
Ibu Bagas cukup terkejut mendengarnya. Ekspresinya yang sedikit marah dan kesal ditutupi oleh tangan kanan dan dia lanjut bicara.
"Anak itu. Sudah dibilang jangan terlalu sering bekerja keras sampai begadang. Apa kamu gak bisa melarang mereka, nak Rian?"
"Yah, karena kami udah lama gak ngumpul, aku gak terlalu peduli dengan pola kerja mereka sih, tante. Tapi tepat sebelum aku tidur duluan, aku udah peringatkan mereka, tapi sayangnya..."
Rian tak bisa mengelak dari rasa bersalah. Di depannya, Ibu Bagas hanya bisa menggeleng karena pola hidup anaknya yang buruk saat jauh dari pengawasan.
"Kalau gitu apa boleh tante titip mereka? Kalau bisa atur jam kerja mereka agar mereka tak terlalu berlebihan dalam bekerja. Karena kamu tahu kan, percuma mereka niat untuk mencari uang, tapi tubuh mereka malah jadi sakit nanti."
Rian tersenyum saat mendengar permintaan Ibu Bagas.
Senyuman Rian terlihat tak lebih dari senyuman seorang pemuda yang senang karena dia diandalkan oleh orang lain. Namun sebenarnya, dia sudah menduga akan hal itu dan merencanakan sesuatu hal yang lain.
"Untuk itu, tante gak perlu khawatir," ucap Rian.
Ibu Bagas lega mendengar anaknya memiliki sahabat seperti Rian.
Di saat suasananya lebih santai dari sebelumnya, Rian memulai rencananya untuk mengimprovisasi rencana Bagas.
Rian mengangkat satu jari tangannya. Hal itu membuat Ibu Bagas sedikit terkejut karena tepat saat Rian menaikkan jari, pasti ada satu hal yang dia inginkan.
"Boleh aku mengusulkan satu hal dan minta bantuan lebih, tante?"
"Apa itu? Kalau masih dalam jangkauan tante, boleh aja sih. Tapi tante sudah mengatakan ke Mas Bagas kalau tante gak mau membantu kalian lebih dari memberikan kalian dana, loh."
Ibu Bagas merasa khawatir karena dia tak bisa membantu lebih. Namun sebenarnya, Rian juga tak membutuhkan bantuan lebih dari itu.
"Gak perlu khawatir, tante. Aku cuma mau memohon, kalau tante mungkin bisa naikin dana kami sebanyak tiga ratus kali lipat."
Ibu Bagas sedikit memelotot mendengar permintaan tersebut. Bisa dibilang dana yang dikeluarkan adalah dana yang cukup untuk memulai perusahaan startup yang kecil. Namun saat itu juga Rian meminta untuk menaikkan permintaan dana sebanya tiga kali lipat dari dana awal.
"Memangnya untuk apa dana sebanya itu, Nak Rian? Bukannya target kalian cuma 500 juta?"
Rian menggaruk belakang kepalanya atas pertanyaan itu. Wajahnya yang tak bisa berekspresi lain dia paksakan untuk tertawa malu.
"Yah, haha, kemarin ada kejadian yang tak terduga dan kami juga harus menaikkan targetnya sebanyak tiga ratus kali lipat."
"Ehh?"
Rian menjawab pertanyaan sambil tertawa malu.
Di sisi lain Ibu Bagas terkejut dengan lipatan yang Rian sebutkan. Tangannya bergetar berusaha menunjuk ke depan. Wajahnya yang tiba-tiba menjadi kaku berusaha mengkonfirmasi apa yang baru saja dia dengar.
"Maksud kamu, target kalian sekarang – "
"Yah, haha, memang sangat mengejutkan bagi amatir seperti kami untuk menargetkan satu setengah miliar dalam waktu tiga tahun. Malahan bisa dibilang kalau ini adalah rencana bunuh diri."
Rian hanya mempertahankan ekspresinya yang sangat tidak cocok karena dia tahu, mungkin saja Ibu Bagas tak setuju dengan rencana itu.
Namun siapa sangka, Ibu Bagas malah menarik nafas lega. Rian sempat dibuat bingung oleh sikap Ibu Bagas yang satu itu.
Setelah menarik nafas lega, Ibu Bagas menunjukkan tatapan bersyukur pada Rian sambil berkata.
"Itu bukan rencana bunuh diri kok. Malahan, tante bersyukur kalau Bagas sekarang memiliki impian yang ingin dia dapatkan."
Ibu Bagas menunduk di saat mengucap kalimat terakhir. Rian dibuat terkejut dua kali karenanya.
Saat Ibu Bagas menaikkan kepalanya, Rian diberikan senyuman yang tulus. Senyuman itu seolah memberitahu Rian kalau dia sudah berbuat sesuatu yang sangat berjasa.
"Tante sangat berterima kasih, Nak Rian."
"E – eh, untuk apa, tante?"
Rian yang tiba-tiba diberikan rasa terima kasih dibuat bingung dan terkejut untuk yang ketiga kali.
Ibu Bagas malah tertawa kecil melihat sahabat anaknya tak menyadari apa yang sudah dia lakukan untuknya.
"Terima kasih, karena sudah mau jadi sahabat Bagas," ucap Risak.
Rian yang sebelumnya berpikiran sedikit kacau dibuat tenang. Malahan saat itu dia berubah ke mode bingung, ekspresinya seakan berkata, 'memangnya sebesar apa jasaku ke anak itu?'.
Ibu Bagas yang bisa membaca ekspresi Rian tertawa kecil sekali lagi. Senyumannya sangat manis sampai Rian dibuat terkejut untuk yang kelima kali.
"Kamu ini, masa gak tahu sih. Sebelum kalian bertemu, Mas Bagas itu anak yang sangat pemalu dan jarang mau berkomunikasi. Lalu semakin lama hubungan kalian berlangsung, Mas Bagas yang dulunya seperti anak ayam yang hanya akan bergerak kalau diperintah, sedikit demi sedikit memiliki keinginannya sendiri."
Kata-kata Ibu Bagas membuat Rian mengingat masa lalunya dengan Bagas.
"Kalau gak salah dua belas tahun," gumam Rian
"Dua belas tahun?"
Rian secara tidak sengaja bergumam dan gumamannya didengar oleh Ibu Bagas.
-
Kalau tidak salah dua belas tahun yang lalu. Rian dipertemukan oleh Bagas.
Pada saat itu Bagas adalah anak yang sangat manja dan juga penakut. Sama seperti anak ayam yang baru menetas.
Saat ibu Rian hendak memperkenalkan mereka berdua, Bagas takkan mau keluar dari belakang ibunya sebelum ibunya memaksa.
Awalnya Rian berpikir kalau Bagas hanya akan jadi anak yang baik dan penurut ketika dia tumbuh besar nanti. Namun dia salah menilai.
Mereka yang semakin beranjak besar bersama memiliki perbedaan masing-masing.
Di saat mereka mulai masuk kelas satu smp, Bagas jadi lebih liar dari kelihatannya. Dia bisa berteman dengan siapa saja. Tak seperti Rian yang hanya mengikuti arus.
Rian yang waktu itu malah jadi pendiam tak memiliki banyak teman yang bisa dia ajak bermain. Alasannya karena wajahnya yang berkesan menyeramkan.
Namun kesendiriannya tak berlangsung lama karena Bagas ada disana untuk menerangi jalannya.
Bagas yang dia kira tak sekuat itu untuk berjalan di depan, membawa Rian berjalan bersamanya.
Waktu semakin berlalu dan Bagas tak lagi seliar di saat awal-awal dia pubertas.
Seperti pada saat mereka masuk SMA, Bagas hanya menyisakan beberapa teman yang benar-benar bisa dia percaya. Salah satunya adalah Rian.
Lalu semakin mereka beranjak dewasa. Lingkaran pertemanan yang semakin mengecil membuat mereka seperti tak terpisahkan.
-
"Terima kasih, tante, atas pertolongannya dalam mendanai proyek gila-gilaan kami."
Rian menerima map plastik yang berisi beberapa dokumen yang mereka perlukan untuk memulai proyek.
Serah terima dokumen sudah selesai dan Rian berdiri dari tempat duduknya. Ibu Bagas juga berdiri untuk mengantarkan kepergian Rian.
Rian berjalan ke teras, menaruh map plastik lebih dulu ke lantai untuk memakai sepatu. Setelah memakai, dia bangkit kembali dan menoleh ke belakang.
Rian menunduk lalu mengucap, "Terima kasih sekali lagi, tante."
"Ah, udah, bukan masalah besar kok. Lagipula itu akan jadi penentu kesuksesan kalian. Tante dukung penuh agar kalian bisa mempersembahkan uang dan kesuksesan kalian untuk melamar mereka yang kalian cintai."
Rian terpaku setelah mendengar respon dari Ibu Bagas.
Dia terkejut karena Ibu Bagas, tanpa diberitahu sudah mengetahui tujuan kenapa Rian mendadak meminta untuk menambah tiga kali lipat dana dan target mereka, dan tentu saja, alasannya adalah untuk melamar gadis-gadis yang mereka cintai. Juga termasuk Rian.
Bulu kuduk Rian merinding mengetahui fakta kalau Ibu Bagas tahu. Kenapa? Karena Bagas – pemimpin proyek – juga belum tahu Rian secara diam-diam menambah dana dan target mereka.
Rian dengan ragu-ragu bertanya, hanya untuk meluruskan apa Ibu Bagas benar-benar sudah menduga alasan Rian untuk menambah dana dan target mereka.
"K – kenapa tante bisa tahu?"
"Yaaa, karena tujuan Mas Bagas untuk menghasilkan 500juta adalah untuk membuktikan keseriusannya pada calon mertua. Setelah mengetahui hal itu, kalian berdua, sahabat Mas Bagas yang dipercaya menjadi bagian dari proyek juga merasa ingin ikutan. Bukan begitu?"
Di akhir kalimat, Ibu Bagas memberikan ekspresi bertanya setelah menduga dengan sangat benar. Walaupun bagian 'merasa ingin ikutan' terasa kurang pas, Rian kagum sekaligus takut akan hal itu.
" Y – yaa, gimana bilangnya, bukannya mau ikutan sih, cuma, kalau dia bisa kenapa kami enggak, gitu."
Rian menjawab rasa penasaran Ibu Bagas dengan kikuk.
Ibu Bagas yang sudah mengerti merespon, "Ooh.", dengan ekspresi menduga yang lain.
Ekspresi menduga itu membuat Rian ingin segera lari agar tak diberikan pertanyaan yang menduga lainnya.
"Ya, sudah kalau begitu," ucap Ibu Bagas.
Akhir kalimat itu membuat Rian bernafas lega.
Rian yang merasa sudah cukup tertekan menundukkan kepala sekali sebelum pergi.
"Kalau gitu aku pamit, tante."
"Ya, hati-hati di jalan. Kirim salam juga sama si calon ya."
Untuk yang ke beberapa kali, Rian dibuat terkejut dengan dugaan Ibu Bagas. Mungkin hanya dengan persepsi, Ibu Bagas seperti bisa membaca masa depan.
Setelah memberikan salam terakhir itu, Ibu Bagas tersenyum manis. Rian yang melirik ke belakang merasa selalu dipantau oleh mata seseorang yang tersenyum itu.
Saat Rian sudah cukup jauh dari rumah, Ibu Bagas memanggilnya.
"Nak Rian, satu hal lagi!"
Rian berbalik dan menghadap ke Ibu Bagas dari jauh. Mendengarkan dengan baik apa yang akan disampaikan. Mungkin itu adalah saran yang bagus untuk mereka.
"Jangan lupa untuk memberitahu Mas Bagas soal menambahnya target kalian!"
Geh!
Rian sontak berteriak pelan.
Selain mengetahui alasan kenapa target dan dana proyek mereka bertambah jadi tiga kali lipat. Ibu Bagas juga mengetahui kalau Rian memutuskan keputusan itu sendirian. Dengan kata lain tanpa sepengetahuan Bagas, target dan dana mereka bertambah.
Rian merasa punggungnya mulai terasa dingin karena rasa takut.
Tak jauh dari tempatnya berdiri, Ibu Bagas tersenyum sangat manis ke kamera.