Setelah bernegosiasi dengan sang bunda, mengajak sahabat karibnya untuk bekerja sama, dan merancang daftar rencana menuju 500 juta. Bagas berusaha sebaik mungkin untuk melewati ujian yang terasa seperti neraka.
Sehari setelah negosiasinya dengan sang ibunda, Bagas yang tak tidur merasa sangat lemah saat ujian. Bahkan setelah menyelesaikan tugasnya dia langsung tepar di atas meja.
Teman-teman sekelasnya yang sudah dia titipkan pesan membiarkannya begitu dan akan membangunkannya kalau waktu ujian selanjutnya sudah tiba.
Dia berusaha sekuat mungkin untuk menghindari kekhawatiran orang-orang di sekitarnya. Terutama saat dia bersama sang kekasih.
Karena setiap kali mereka berkencan, Eruin terus meningkatkan pengamatannya terhadap sang kekasih.
Seperti kencan sehari sebelum ujian terakhir berlangsung.
"K – kenapa?"
Eruin menatap wajah Bagas dengan penuh seksama. Bagas yang kaget tentu saja menarik tubuhnya ke belakang.
"Kamu, ga tidur dengan cukup akhir-akhir ini, kan?"
Wajah Eruin saat bertanya penuh dengan ekspresi curiga. Bagas tak tahu bagaimana harus menjawab. Walaupun mereka berada di tempat yang cukup gelap, Eruin bisa mengetahui kondisi tubuhnya yang memang menurun akhir-akhir itu.
"Y – yahh, mungkin karena aku terlalu sering begadang akhir-akhir ini."
Bagas menggaruk kepala sambil tertawa saat menjawab. Dia berusaha untuk tidak terlihat selemah mungkin di depan sang kekasih.
Meskipun begitu, Eruin masih dan tetap mempertahankan ekspresi curiganya. Dia bahkan merasa kesal karena Bagas menyembunyikan sesuatu yang dia sudah tahu setidaknya siapa yang menyebabkannya seperti itu.
Namun Eruin juga tak ingin memaksa untuk tahu. Dia menarik tubuhnya, menghela nafas dan berbicara lembut.
"Kamu tahu, aku sebenarnya bahagia karena kamu melakukan sesuatu untuk mempertahankan hubungan kita. Tapi tolong jangan paksakan diri sampai-sampai kesehatan kamu menurun."
Di balik kata-kata itu juga tersimpan kalimat, 'jangan buat hati ini khawatir', yang tak bisa terucap karena Eruin mungkin saja akan mati malu karenanya.
"Aku bukan hanya melakukan ini untuk mempertahankan hubungan kita."
Bagas menjawab. Jawabannya membuat Eruin terkejut. Eruin menoleh ke arah Bagas dan melihatnya merenungkan sesuatu. Ekspresi, pose tubuh, dan pikirannya sangat terfokus pada satu tujuan.
"Aku ingin kamu terus berada disisiku. Aku gak mau nyerahin kamu ke orang lain. Ditambah, ini mungkin akan jadi modal kita hidup di masa depan nanti."
Eruin menarik nafas panjang karena kata-kata Bagas barusan. Hatinya berdegup kencang. Wajahnya berubah merah. Padahal Bagas tak menyentuh atau menatapnya secara langsung. Tetapi hanya dengan kata-katanya yang sangat serius, Eruin bisa saja jadi gila saat itu juga.
Di sisi lain. Bagas sangat serius dengan kata-katanya. Di pikirannya bahkan tak tersisa tempat untuk hal lain selain memikirkan cara bagaimana dia bisa mencapai tujuannya.
Di saat-saat dia masih sangat fokus. Seseorang memeluknya dengan sangat erat. Dia langsung menoleh dan menemukan Eruin membulatkan tangan untuk memeluknya.
Namun entah kenapa Eruin memendam wajahnya ke bahu Bagas. Bagas memang tak merasa sakit, tetapi saat itu Eruin memeluknya dengan sekuat tenaga.
Seperti tak ingin melepas, Eruin memeluk erat Bagas di kedua tangan. Bagas bingung kenapa kekasihnya bertingkah seperti itu. Padahal biasanya kalau dia menggoda, Eruin pasti jadi malu-malu kucing dan menepis godaannya.
Eruin mendekap Bagas lewat bahunya saja. Dengan begitu Bagas masih bisa mengangkat tangan kanan. Tangan kanannya naik dan mengelus kepala Eruin dengan lembut, lalu dia berkata.
"Maaf. Aku janji ga bakal berusaha sekuat itu sampai harus mengkhawatirkanmu."
Eruin perlahan-lahan melepaskan dekapannya. Wajahnya menunduk tetapi tangan kirinya diarahkan ke Bagas. Jari kelingking tangan kirinya diangkat dan meminta sesuatu ke Bagas.
Bagas tersenyum dan melingkari jari kelingking Eruin dengan jari kelingkingnya.
"Aku janji."
-
Kencan hari itu benar-benar menguras tenaga. Karna di setiap menit Bagas terus waspada dan memutar otaknya untuk berpikir mencari alasan pada setiap pertanyaan yang akan Eruin lemparkan. Namun siapa sangka pertanyaannya lebih sedikit dari perkiraan.
Setelah menyelesaikan kencan Bagas pergi ke bandara kota. Duduk di kursi tunggu untuk menunggu seseorang. Dalam sela-sela waktunya dia menghela nafas dan menatap kosong ke depan.
Tubuhnya sangat lelah. Matanya berat. Dia ingin segera pulang dan tidur.
"Kapan si jancok sampainya?"
Dia melempar pertanyaan ke angin yang lewat. Walaupun dia berada di kursi tunggu dengan dua orang random, dia merasa hampa. Bahkan selebaran yang terbang ke wajahnya dia hiraukan.
Di saat Bagas sedang sangat bosan seseorang malah berusaha mendekatinya.
"Domo, excuse me."
Bagas mengangkat kepalanya sambil mengambil kertas yang masih menempel di wajah. Dari depan berdiri seorang pemuda jepang. Kira-kira usianya seumuran Bagas.
Memiliki rambut hitam dengan warna mata coklat karamel. Wajahnya cukup manis dan dia bahkan memiliki satu tahi lalat di dekat mata kirinya.
Memakai pakaian serba panjang dan hitam. Dia bahkan menambahkan satu jaket yang dipakai yang membuat badannya terlihat sedikit lebih gemuk.
Pemuda jepang yang terlihat ramah itu menatap Bagas dengan ekspresi ragu-ragu. Bagas merasa sangat malas untuk meladeni orang random, tetapi dia tak boleh begitu saja membiarkan orang lain kesusahan.
Bagas berdiri lalu melempar pertanyaan, "Yes, can I help you?"
"Ah, I want to find my tomodachi."
"Tomodachi? A friend you meant? Who is that?"
"Eh, somebody who told me that we need to make five hundred million money."
"Seseorang yang mengajakmu untuk menciptakan 500 juta? Ooh, kalau itu mungkin aja aku."
"Eh, anata desu ka."
"Yes-yes. Me-me."
"Oh, kamu ternyata. Hahaha."
"Yes, hahaha."
Pembicaraan mereka sedikit ngawur. Namun entah bagaimana mereka nyambung satu sama lain.
Di sela-sela terhentinya perbicangan, mereka tertawa. Tawa mereka terasa garing. Lalu di saat berikutnya tiba-tiba saja pemuda itu menampar Bagas sambil berteriak.
"Lima ratus juta, matamu!"
Tamparan pemuda jepang itu cukup kuat dan itu membuat Bagas terhempas ke kursi. Dua orang random yang duduk di kursi tunggu sangat terkejut dengan kejadian itu.
-
Namanya adalah Aceng Jun Sabeni. Pemuda hasil persilangan antara ayah Sunda dan ibu Jepang. Memiliki pekerjaan tidak tetap sebagai artis gambar yang menjual jasa komisi. Hidupnya di jepang selama setahun cukup lumayan setelah tamat SMA di Indonesia. Namun sahabatnya malah menyeretnya untuk kembali ke Nusantara karena satu hal pastinya.
Setelah berhasil pergi dari bandara mereka mampir ke sebuah mini market yang berada di kompleks rumah kos Bagas. Berbelanja kebutuhan sehari-hari.
Selagi mencari apa yang mereka butuhkan – Aceng Jun Sabeni yang biasa dipanggil Beni – bertanya pada sahabatnya.
"Memangnya kau gak bisa minta keringanan gitu, cuk. Maksudku, lima ratus juta dalam dua setengah tahun itu cukup berat loh. Bahkan kalau aku menabung dengan pendapatanku yang sekarang. Mungkin itu gak akan berhasil."
Beni yang awal kemunculan, atau bahkan sewaktu mereka saling berkomunikasi lewat Discrot, adalah pemuda yang terdengar sangat ramah. Namun setelah mendengar penjanjian kesepakatan Bagas dengan ayah Eruin, wajahnya berubah menjadi pribadi yang mudah kesal.
"Aku mau sih, tapi..."
Bagas yang sedang memegang mi instan di tangan kanan mengepalkan tangan dan menghancurkan si mi yang malang. Wajahnya kesal karena dirinya sendiri.
"...tapi, harga diriku sebagai seorang calon menantu idaman dan seorang jenius akan..."
Di sela perkataan Bagas, Beni menepuk kepala Bagas dengan mi instan di telapak tangannya. Mi instan yang di tepuk ke kepala Bagas hancur, dan itu Beni masukkan ke lori lalu dia merespon rasa kesal Bagas.
"Kau gak punya modal pengalaman untuk memulai, kau pikir bisa berhasil?"
"-Enggak."
Bagas langsung merespon pertanyaan Beni. Ekspresi Beni berubah semakin kesal namun cukup tenang.
Di saat Beni masih mencari kebutuhan sehari-harinya dia terus melempar Bagas dengan pertanyaan.
"Terus gimana kalau kita gak berhasil atau lewat tenggat waktu?"
"Itu gak akan terjadi."
"Terus gimana kuliahmu?"
"Aku gak bakal berhenti."
Jujur, Beni senang karena sahabatnya terlihat sangat positif. Tapi, "Kau bakal babak belur kalau gitu, cuk."
"Hm, apa maksudmu, kan aku punya kalian."
"Kalian?"
Mereka telah selesai belanja. Setelah melakukan pembayaran mereka langsung berjalan pulang ke rumah kos Bagas. Dengan Beni menarik satu koper dan menenteng satu plastik belanjaan yang besar, dan Bagas mengangkat satu tas bawaan Beni yang besar dan juga menenteng satu plastik belanjaan yang besar.
Dalam perjalanan pulang mereka di gang komplek, Beni menanyakan lagi hal yang masih belum dia ketahui secara pasti.
"Kalian, maksudmu, kau mau mengumpulkan kita bertiga, atau ada yang lain?"
"Memangnya kau pikir aku punya yang lain selain kalian berdua. Ya, untuk awal cuma kita bertiga, sih."
Bagas berjalan di depan Beni. Dari situ Beni melihat punggung sosok sahabatnya yang sejak SMA selalu mengandalkannya, dan satu orang lagi sahabat yang masih belum berkumpul bersama mereka.
Mendengarkan kalau Bagas hanya memiliki mereka berdua dan akan mengumpulkan mereka semua seperti dulu membuat Beni merasa senang. Namun ada satu hal yang membuat kekesalannya tumbuh kembali.
"Kau bilang kita akan berkumpul kalau udah punya banyak uang dan dua atau tiga anak."
"!"
Bagas terkejut karena Beni mengingatkan janji yang dia buat sendiri yang berlaku pada mereka bertiga. Karena itu dia jadi berhenti berjalan. Kedua tangannya dinaikkan ke wajah dan dia mulai berteriak.
"Kalau keadaannya begini mau gimana lagi!"
"?"
Bagas tiba-tiba saja menjadi histeris. Dia bahkan memutar ke Beni dan mulai mendramatisir keadaan.
"Erina, Erina terancam bakal dinikahkan ama orang lain! Kau pikir aku bakal tinggal diam!? Ha?! Kemana rasa persahabatanmu!?"
Bagas mulai jadi menjengkelkan. Dia bahkan histeris tepat di depan muka Beni.
"Ck. Iya-iya, serah lu dah."
Beni menyingkirkan wajah Bagas dan kembali berjalan. Bahkan dia pun tak menyangka, Eruin yang sudah dia kenal sewaktu SMA dan menjadi bagian dari kelompok sahabat mereka terancam untuk dinikahkan orang lain. Kalau Bagas tak berusaha untuk memperjuangkannya.
Beni yang mulai membayangkan sesuatu bergumam, "Kalau di reuni nanti dia sampai datang sama orang lain..."
"Tolong jangan bayangin itu, cok!"
Dalam kesempatan Bagas bisa mendengar gumaman Beni dan berteriak histeris. Beni merasa bersalah karena telah menakuti sahabatnya. Tapi ngomong-ngomong.
"Kau jadi sangat berisik begini, cuk. Bisa hentikan itu? Kalau di setiap kesempatan kita ngelakuin kesalahan dan kau mulai histeris begitu, mungkin kepalaku bakal jadi sakit. Jadi, bisa hentikan itu?"
Bagas yang entah bagaimana bersujud di tanah mengangkat kepalanya. Lalu mulai berdiri dengan kepercayaan diri berada di puncak.
"Kau benar. Aku gak bisa gitu aja histeris karena suatu hal sepele. Karena aku dilahirkan untuk menjadi cool, maka aku harus percaya diri."
"Kaitannya apa, bangsat."
Bagas mulai berjalan kembali dan memperlihatkan ekspresi seriusnya. Beni yang senang dengan hal itu tersenyum sembari mengikuti dari belakang.
"Tas bawaanku jangan ditinggal juga, jancok."
"Oh iya, hehe, lupa."