Selepas berkencan dengan sang kekasih Bagas langsung menuju ke rumah. Di dalam kamar sederhana yang memiliki dapur kecil di bagian kanan belakang, kamar mandi beserta toilet di bagian kiri belakang, dan ruang lebar yang tersisa di depan dijadikan tempat tidur dan ruang tamu.
Saat itu Bagas sedang menenteng tas dan satu kresek berisi lauk makan malam.
Bagas langsung masuk, meletakkan kresek berisi lauk di atas meja dapur lalu berjalan ke ruang tengah. Dia melemparkan tas ke atas ranjang dan langsung duduk di kursi belajar.
Di atas meja belajar terdapat sebuah laptop dan beberapa peralatan belajar lainnya. Dari posisi meja belajar, di depannya terdapat sebuah jendela yang bisa dibuka. Bagas melihat ke jendela yang masih tertutup dengan nestapa.
Sebelumnya kepalanya cukup jernih untuk diajak berpikir. Tetapi entah kenapa sekarang dia malah jadi bimbang, lagi.
"Huhh, memangnya bisa ngumpulin uang 500 juta dari membuat game hanya dalam waktu dua setengah tahun."
Ayah dari Eruin mengatakan kalau Bagas memiliki tenggat waktu tiga tahun. Namun kalau dipikir-pikir lagi, dua tahun setengah lagi dia harus menghadapi semester akhir yang dimana dia tidak bisa terfokus pada hal lain selain mengerjakan skripsi dan lainnya.
"Atau kutinggalkan aja kuliahku dulu ya, terus kalau aku udah berhasil baru bakal kutamatkan kuliah dalam sekejap mata."
Bagas nyengir sendiri karena perkataannya. Terdengar lucu memang. Namun kalau dia melakukan hal itu sama saja dia sudah curang. Karena dalam kata-kata perjanjian ayah Eruin mengatakan 'tiga tahun atau sebelum kalian lulus sekolah'.
"Heeehhhh!"
Bagas sedikit kesal karena perjanjian itu datang dengan sangat tiba-tiba, ditambah dia masih dalam kondisi harus menghadapi ujian semester.
Tak ingin berlarut-larut dalam kekesalan Bagas menghidupkan laptopnya. Beberapa saat setelah dihidupkan, dia langsung membuka software Discrot. Sebuah platform aplikasi penukar pesan dengan menggunakan text ataupun suara.
Di dalam aplikasi itu Bagas berusaha menghubungi seorang teman, atau bisa dibilang sahabat yang bisa mengerti satu sama lain.
Nama panggilan yang digunakan oleh sahabat itu adalah JCX dengan poto profil sebuah gambar hitam putih seorang pria sedang mengorek hidungnya.
Bagas melakukan sebuah panggilan suara langsung dengan si JCX. Proses pemanggilan berlangsung, dan dalam lima detik panggilan suara langsung diterima.
[こんにちはcuk,すごい,私たちは長い間関係がありませんでした,元気ですか?]
Suara seorang warga jepang langsung terdengar sesaat setelah telepon diterima. Bagas hanya diam, kesal merespon si pembicara yang bukan warga Indonesia itu.
[もしもし聞こえますか?]
Sekali lagi, JCX berbicara dengan menggunakan bahasa jepang. Bagas sebenarnya mengerti apa yang dia katakan, hanya saja.
"Eh, jancox, target pembaca kita itu orang Indonesia. Jadi berhenti cang cing cong dan mulai gunakan bahasa."
Bagas kesal dan sedikit menekan suaranya. JCX yang dimarahi langsung tertawa dan menjawab.
[Ahaha, punten-punten.]
"Punten matamu."
JCX adalah singkatan dari kata jancox yang dipakai oleh pemilik akun JCX. Dia adalah sahabat karib Bagas yang dulu pernah tinggal di Indonesia dan menamatkan SMA bersama dengan Bagas.
Setelah tamat dia kembali lagi ke negerinya untuk fokus dalam berkarir. Lalu ketika mereka semua – anggota JCX - yang berjumlah tiga orang sudah sukses dalam hidup mereka, barulah mereka akan berkumpul kembali.
Namun nampaknya Bagas harus mengumpulkan mereka semua secepat mungkin karena suatu hal yang sangat mendesak.
"Halo, cuk, lu lagi ngapain sekarang?" tanya Bagas.
Waktu di Indonesia pada saat itu sedang berada pada angka sepuluh. Jarak waktu antara Indonesia dan Jepang lebih lambat dua jam. Maka dari itu di Jepang sekarang sudah tengah malam.
Bagas menelepon sahabatnya pada saat tengah malam. Namun hal itu masih terbilang biasa. Apalagi terdengar dari suara JCX, dia masih terdengar segar.
[Lagi ngapain? Kau bisa lihat di akun pixiv aku lagi ngapain.]
JCX memberikan jawaban. Namun sebelum dia memberitahu apa yang sedang dilakukannya, Bagas sudah terlebih dahulu melakukan apa yang dia beritahu.
Di dalam layar laptop Bagas bisa melihat sebuah pemandangan dimana seorang pemilik akun pixiv bernama JCX sedang melakukan siaran langsung saat dia sedang menggambar.
JCX sedang menggambar sesosok perempuan manis yang masih setengah jadi.
Di dalam siaran langsungnya itu cukup banyak orang yang menonton. Angka penontonnya naik turun di angka seribu.
Bagas tersenyum melihat sahabatnya itu produktif seperti biasa. Namun dia merasa cukup bersalah karena tiba-tiba mengganggunya.
"Ngomong-ngomong, apa aku mengganggumu sekarang?"
[Hmm, enggak juga kok. Untukmu apa sih yang enggak, cuk.]
Bagas tersenyum kecut mendengar balasan sahabatnya.
Karena JCX sedang sibuk dan Bagas tak ingin banyak mengganggunya, Bagas langsung saja ingin menanyakan satu hal yang akan menentukan panjang tidaknya perbincangan mereka.
"Okelah, kalau gitu aku mau tanya satu hal nih."
[Dozo-dozo.]
"Apa kau bisa ngumpulin uang sebanyak 500 juta dalam waktu dua setengah tahun?"
Tangan JCX yang sedang menggambar tiba-tiba saja terpeleset dan ada sebuah goresan panjang dalam gambar yang terjadi dalam siaran langsung.
JCX tak langsung menjawab pertanyaan Bagas. Pertama-tama dia memperbaiki goresan yang ada, lalu baru berbicara lagi sambil meneruskan gambarannya.
[Eh anjir, buat apa uang sebanyak itu?]
"Yah, bilang aja aku baru melakukan sebuah kesepakatan dengan seorang pedagang dimana aku harus mengumpulkan uang yang sangat banyak dalam tenggat waktu yang sudah ditentukan untuk mempertahankan hubunganku dengan anaknya."
[Anjay, udah kaya cerita-cerita romansa aja.]
"Emang ini cerita romansa, bego."
Setelah balasan dari Bagas, JCX tiba-tiba menghentikan jarinya dalam menggambar. Di dalam siaran langsung mulai muncul beberapa tulisan dalam bahasa inggris.
[My friend called me for help.] [So, I have to end this livestream.] [I'm sorry guys.] [And thank you for all the support.]
Setelah kata-kata yang mengatakan dia harus mengakhiri siaran langsung karena temannya membutuhkan bantuan, siaran langsung terhenti. Di saat itu Bagas merasa bersalah karena sahabatnya harus menghentikan keproduktifitasan karena dirinya.
"Maaf ya, kau jadi harus ngehentiin siaran langsungmu."
[Kan udah kubilang, untukmu apa sih yang enggak, cuk.]
"Kalopun kau bilang gitu, tetap aja rasanya geli, bangsat."
Siaran langsung JCX resmi terhenti dan para penonton mulai bepergian. Mulai saat itu dia bisa fokus mendengarkan apa yang ingin dikatakan oleh sahabatnya.
[Jadi, apa yang diperlukan bespren ini dengan seorang artist gambar yang biasa aja ini?]
Mendengar sahabatnya merendah, Bagas tersenyum kecut.
JCX adalah salah seratus dari artis gambar pendatang baru yang sudah menuai banyak pujian dari banyak orang. Gambar-gambar ciptaannya yang indah sudah disukai ratusan ribu kali oleh orang-orang yang melihatnya. Bahkan di usianya yang masih muda dia sudah mendapat banyak pesanan jasa gambar yang membuatnya bisa mandiri dalam hal ekonomi.
"Jangan merendah begitu, cuk. Kemampuanmu yang super duper luber lumer itu adalah salah satu kunci dari keberhasilanku dalam menciptakan lima ratus juta dalam waktu dua setengah tahun," ujar Bagas.
[Hoho, jadi kau mau memanfaatkan artis sugoi mugoi ini. Kalau begitu apa udah bisa kita dengarkan rencana dari sang jenius untuk meraih tujuan itu?]
Beni sudah mengenal Bagas lebih lama dari Eruin. Karena itu dia tak ragu untuk mengikuti apa yang Bagas rencanakan. Malahan dia harus ada dan ikut ambil andil dalam rencana itu, untuk memastikan Bagas tidak kewalahan dan menambah persen keberhasilan mereka.
-
Keesokan harinya. Bagas yang tidak bisa tidur dan terus menghadap ke monitor laptop menyadari kalau jam sudah menunjuk ke arah enam.
Dia mencari telepon pintarnya yang ternyata terjatuh ke lantai entah kenapa. Setelah mengambil dia langsung mengaktifkan dan segera menghubungi seseorang.
Telepon berdering. Setelah sepuluh detik menunggu telepon diterima.
[Halo, ada apa, mas?]
Suara yang dia harapkan adalah seorang wanita biasa berubah menjadi suara seorang gadis kecil.
"Asia, ya. Coba kasih teleponnya ke bunda, dong."
Asia adalah nama adik perempuan kecilnya. Di waktu segitu mereka harusnya sudah pada bangun, dan kalau adik kecilnya yang mengangkat, itu berarti ibu mereka sedang berada di daput.
[Tapi bunda sekarang lagi ada di dapur,] ujar Asia.
"Udah, bilang aja mas manggil, ada perlu sebentar?"
[Halo, mas.]
Saat Bagas mencoba untuk meyakinkan adiknya, tanpa disangka, suara seorang perempuan dewasa terdengar menggantikan adiknya. Itu adalah ibunda mereka yang mengatakan pada Bagas kalau dia takkan membantu Bagas dalam menempuh tujuannya sewaktu dia menelepon pertama kali.
[Loh, bun.]
[Nduk, bisa lihat kompor sebentar.]
[O – oke.]
Kedengarannya sang ibunda meninggalkan kompor yang sedang menyala. Adik perempuan yang sudah cukup besar untuk bisa dipercaya diminta untuk pergi ke dapur.
Dengan begitu pembicaraan sang ibunda dan sang anak berlangsung.
[Halo, ada apa mas? Bunda udah bilang gak bakal ngebantu kan?]
Bagas tersenyum kecut ketika mendengar pernyataan itu dua kali. Namun bukan bantuan seperti itu yang dia inginkan.
"Tapi bunda ga bilang aku ga bisa berhutang uang, kan."
[Hm?]
Ibundanya terdengar terkejut. Setelah itu dia menjadi tertarik untuk mendengarkan lebih lanjut permintaan dari anak sulungnya.
[Hmm. Jadi, apa yang diinginkan dari anak sulung bunda yang sedang kesulitan ini?]
Bagas tersenyum, mendesis kecil lalu menjawab, "Bunda ga perlu bilang kesulitan kalau bunda mau ngebantu misi yang imposibel ini sih."
[Tapi lima ratus juta itu masih sedikit loh.]
"H – ha?"
[Iya, soalnya ayah kamu dulu diminta untuk kumpulin satu milyar sama kakek kamu sebagai mahar bunda.]
"H – ha?"
Di waktu yang cukup dingin di pagi hari itu. Bagas mulai memproduksi keringat dingin seraya momen senyap berlangsung.