Chereads / Pengantin Lima Ratus Juta / Chapter 3 - Camer

Chapter 3 - Camer

Setelah menghabiskan makan malam, calon mertua Bagas membawanya ke sebuah ruang besar dengan banyak sofa di dalamnya. Ruangan terlihat seperti ruang bersantai, atau memang begitu, karena ada beberapa kelompok orang yang bersenda gurau tak jauh dari tempat mereka.

James membawa mereka ke tempat terujung dari ruangan dimana terdapat dua sofa untuk satu orang saling berhadapan.

James Brown duduk di sofa dengan elegan. Punggung disandarkan, dua tangan di letakkan di bahu sofa, dan satu kaki dinaikkan ke kaki satunya lagi.

Lain halnya dengan Bagas, dia duduk di sofa seperti layaknya seorang pemberi kesepakatan yang gugup dengan lawan bicaranya. Tubuhnya di topang dengan kedua tangan di atas paha. Wajah dan punggungnya di kedepankan sembari memasang wajah serius.

"Don't be so serious like that, kid"

(Jangan terlalu serius begitu, nak)

Calon mertuanya mencoba menenangkannya. Tetapi Bagas tahu, takkan ada hal yang bagus kalau ayah dari Eruin mengajaknya untuk berbicara hanya berdua saja.

Di dalam pikiran, Bagas bisa memprediksikan dua kemungkinan atas urusan apa James Brown memintanya untuk bertemu. Alasan pertama, Bagas pernah berjanji sesuatu hal dan hal itu akan diungkit sekarang. Alasan kedua, hal itu berkaitan dengan Eruin dan sangat penting untuk dibicarakan.

Kalau hanya satu dari dua alasan itu yang akan dibicarakan, Bagas masih bisa merasa tenang.

Dengan menenangkan sedikit hati dan ekspresinya, Bagas siap menjawab pertanyaan apapun.

"Three years ago, you said that you will choose what your plan to do in the future, did you?"

(Tiga tahun yang lalu, kamu bilang kamu akan memutuskan rencana apa yang akan kamu lakukan ke depannya, benar bukan?)

"Yah, begitulah. Tapi ngomong-ngomong, Om James, bisa gunakan bahasa Indonesia. Kupikir pembicaraan kita bakal panjang dan author ga bisa dibiarin harus mentranslasikan setiap kalimat yang Om katakan."

"Hm, oh, oke kalau begitu."

Pembicaraan berlanjut dengan James Brown menggunakan bahasa untuk berbicara.

"Melanjutkan yang tadi, dulu, sebelum kamu meminta ijin untuk memulai hubungan dengan Eruin, kamu bilang akan memutuskan akan jadi apa kamu nanti kalau kamu sudah tamat dari SMA. Dan sekarang, sudah setahun setelah kamu tamat. Om tahu kalau kamu memutuskan untuk mengambil jenjang yang lebih tinggi dengan masuk perguruan tinggi, tapi apa jurusan yang kamu ambil ada kaitannya dengan apa yang ingin kamu lakukan ke depannya?"

Langsung ke intinya, calon mertua mengangkat pokok pembicaraan dengan alasan pertama sebagai intinya. Hal itu cukup menenangkan karena Bagas tak harus berusaha ntuk serius dalam menjawabi pertanyaan.

"Ehh, kalau itu, bisa kubilang ya atau tidak."

"Kenapa begitu?"

"Karena jurusan yang kuambil bisa membawaku ke beberapa bidang pekerjaan. Jadi pandanganku masih samar-samar untuk itu."

"Hmm."

Mengejutkan, James Brown menutup mata dan berpikir. Sebuah pertanda buruk bagi Bagas. Karena ketika seorang direktur perusahaan sekaligus ayah bagi kekasihmu melakukan hal seperti itu, berarti ada rasa ragu yang tertanam di hatinya.

Gawat, pikir Bagas. Kalau saja dia sedang ada dalam wawancara pekerjaan sekarang, nilainya pasti akan dikurangi dan itu dijadikan sebagai pemicu diterima atau tidaknya dia dalam perusahaan.

"Tapi kalau aku sudah mendapatkan pandangan yang terang, tujuanku pasti sudah jelas kok."

Di dalam suasana yang tak banyak suara, Bagas menguatkan suaranya sedikit. Menekankan kalau dia yakin pada dirinya sendiri.

"Memang benar yang dibilang si eneng."

Eneng? Siapa? Bagas mengorek semua informasi yang tersimpan di dalam kepalanya, untuk mencari tahu keberadaan seseorang yang calon mertuanya kenal sebagai, si eneng.

Beberapa saat berlalu. Bagas sudah menggali sangat dalam di setiap inci penyimpanan ingatannya. Tetapi tak ada satupun data yang menyimpan kalau James Brown pernah menyebut sebutan 'si eneng' kepada seseorang dalam hidupnya.

Apa seseorang itu berkaitan dengan hidup Bagas? Mungkin saja ibunya, atau ibu angkatnya, atau malah diam-diam James memanggil Eruin dengan sebutan 'eneng'.

Bagas bisa memikirkan setiap kemungkinan yang ada. Namun tak ada satupun kepastian yang bisa dia dapat. Bertanya? Kalau bisa pasti dia takkan berpikir sekeras itu.

James Brown membuka matanya. Sekarang ekspresinya menjadi lebih tenang dan tak bisa terbaca. Hal itu membuat Bagas mulai mengeluarkan keringat dingin.

"Ngomong-ngomong, jurusan Rekayasa Perangkat Lunak. Apa itu ada kaitannya dengan aplikasi atau software seperti game dan semacamnya?"

Pertanyaan selanjutnya, Bagas tak boleh melepaskan kesempatan untuk meningkatkan nilai dari keyakinannya.

"Y – ya, begitulah. Memang di jaman yang semakin canggih ini, ada banyak pesaing yang terus meningkatkan kemampuan dan strategi mereka. Tapi aku tak takut untuk menghadapi mereka, malahan aku tak sabar untuk terjun ke sana."

"Begitu ya."

James Brown sekali lagi melakukan kegiatan berpikirnya. Melihat hal itu membuat Bagas yakin, kalau dia tak berada di sebuah kondisi yang gawat yang bisa membuat hubunganya dengan Eruin terancam.

Di saat-saat yang genting itu ponsel pintar Bagas berdering. Melihat James yang masih berpikir, Bagas langsung mengintip siapa yang memanggilnya.

"Erina."

Bagas secara tak sengaja menggumamkan si penelepon. James Brown bisa mendengarkan dan meminta Bagas melakukan sesuatu.

"Bilang padanya, kalau kamu sudah pulang dan langsung ingin belajar."

"Ha, eh."

Kalau dipikir-pikir, itu adalah jawaban yang paling efektif untuk digunakan. Karena kalau Bagas tak melakukan seperti yang James katakan, sesi berbicara Bagas dan Eruin mungkin saja akan berlangsung selama satu atau dua jam lebih.

Tanpa berpikir panjang Bagas langsung mengangkat dan melakukan seperti yang diperintahkan.

"Halo, Aska."

"H – halo, s – Eri."

"Hm, ada apa dengan panggilan aneh itu?"

Panggilan aneh yang dimaksud Eruin adalah ketika Bagas ingin memanggilnya dengan sebutan 'sayang', tetapi Bagas berubah pikiran dan memanggil Eruin dengan nama panggilannya, karena di depan Bagas ada seorang ayah yang sedang melihat anaknya menelepon dengan kekasihnya.

Bagas terlalu lambat untuk menjawab pertanyaan pertama Eruin dan Eruin sudah memberikan pertanyaan lain padanya.

"Hei, ngomong-ngomong, dimana kamu sekarang? Apa kamu sudah pulang?"

"Y – ya, begitulah."

"Hmm, tapi kenapa ada suara orang lain disana?"

Suara orang lain yang dimaksud adalah satu kelompok penghuni hotel yang sedang bercanda ria tak jauh dari posisi Bagas dan James. Karena terlalu fokus dengan pembicaraan, Bagas sampai lupa kalau ada mereka disana.

"Itu cuma teriakan tetangga. Kayanya dia membawa temannya berkunjung dan mereka langsung memulai keributan."

"Hmmm."

Deheman yang cukup panjang. Walaupun Bagas sudah membuat nada bicaranya setenang mungkin untuk menghilangkan kecurigaan, Eruin tetap mendapatkan rasa curiga sepertinya.

Di dalam jeda pembicaraan, James menarik perhatian Bagas dan menunjuk-nunjuk ke arah jam tangannya. Secara tidak langsung mengatakan kalau Bagas harus menghemat waktu.

"Oh iya, Eri, bisa kita lewati sesi malam berbincang kita?"

"Eehh, kenapa?"

"Ya, kamu tahu kan. Besok kita masih harus menghadapi ujian. Dan aku baru ingat kalau mata kuliah yang akan diujiankan besok cukup sulit. Jadi aku mau persiapkan diri dengan sangat matang untuk menghadapinya."

"Hmmm. Jadi secara tidak langsung kamu ingin mengatakan kalau kamu mau belajar dan kita harus lewati sesi berbincang malam kita ini."

"Y – ya, begitulah. Boleh gak?"

Pembicaraannya terdengar cukup mulus. Namun sebenarnya, Eruin memiliki kecurigaan dengan alasan Bagas, dan Bagas merasa bersalah karena dia harus membohongi Eruin dan merusak perjanjian untuk selalu berbincang setiap malam yang dia sendiri yang membuatnya.

Jawaban yang ditunggu-tunggu cukup lama datangnya. Bagas mulai khawatir kalau Eruin akan memberinya beragam pertanyaan dan memperpanjang sesi pembicaraan mereka.

"Oke deh."

"Eh, boleh?"

Eruin memberikan ijin dan menghilangkan rasa curiga. Bagas hampir tak percaya dan sedikit terkejut kalau akan semudah itu.

"Hm, kenapa memangnya. Padahal kamu sendiri yang minta untuk lewati malam ini tanpa berbincang malam."

"E – eh, iya juga ya."

"Ya udah kalau gitu. Karena kamu mau mulai belajar, kayanya aku bakal mulai belajar juga."

Terdengar sedikit rasa kesal di balik respon Eruin. Namun bukan berarti dia marah dan Bagas harus khawatir.

Bagas tersenyum mendengar respon positif kekasihnya dan mengakhiri pembicaraan mereka.

"Bagus kalau gitu. Karena kamu masuk jurusan yang harus kamu mulai dari nol, sebaiknya kamu belajar yang serius."

"Iya-iya, kamu ga harus memberitahu itu aku juga bakal serius, kok."

"Okee, malam."

"Mal – hmm?"

"Hm?"

Di saat Bagas pikir dia bisa menghentikan pembicaraan mereka, Eruin berdehem aneh. Secara tidak langsung bertanya, kenapa Bagas hanya mengucapkan selamat malam biasa.

"..."

"..."

"..."

Bagas, James, dan Eruin, tak ada yang berbicara. Menunggu seseorang untuk bertanggung jawab atas suasana senyap yang tercipta.

Di dalam momen senyap itu, Bagas menarik nafas dengan lembut dan membuangnya. Menyingkirkan semua rasa yang tidak perlu untuk mengatakan apa yang ingin dia katakan.

"Malam, sayang."

"Malam juga, sayang."

Sepasang kekasih yang sudah mengucapkan selamat malam mereka yang biasa langsung memutuskan telepon dengan damai.

Bagas langsung meletakkan ponsel pintarnya ke atas meja. Lalu menyembunyikan wajahnya yang merasa sangat sakit karena malu yang tak tertahankan.

Di depannya, James ingin segera melanjutkan pembicaraan mereka, tetapi entah kenapa dia merasa harus memberikan pemuda di hadapannya sedikit waktu untuk memulihkan diri.

-

Di dalam kamar yang luas dengan sebuah tempat tidur seorang putri di dalamnya, Eruin terduduk di atas tempat tidur sambil melakukan sesuatu dengan laptopnya.

Laptop yang ditaruh di atas bantal besar memunculkan sebuah layar yang menunjukkan posisi dari seseorang yang sedang dilacak.

Eruin melihat layar itu dengan berpikir, 'apa yang Aska lakukan di dalam hotel?'. Pikiran liar mulai merasukinya bersamaan dengan imajinasi yang mungkin saja takkan terbayangkan.

"Apa dia sedang berkencan dengan perempuan lain?"

Dari semua imajinasi yang terbayang, tak ada kemungkinan lain yang bisa terpikirkan. Aska, kekasihnya sedang berkencan dengan perempuan lain.

Mungkin saja itu hanya orang penting yang memiliki urusan dengan Bagas. Tetapi kenapa harus di hotel. Ditambah lagi sebelum mereka berbincang di sebuah ruang yang sepertinya ruang santai, mereka terlebih dahulu melakukan makan malam bersama.

Eruin menggigiti kuku jarinya bersamaan dengan ekspresi menyeramkan mulai muncul di wajah.

"Siapa? Siapa perempuan simpanan itu?"

Di dalam pikirannya, dia harus tahu siapa perempuan yang menjadi simpanan Bagas. Bagaimanapun caranya dia harus tahu.

Eruin mulai melakukan berbagai macam hal dengan laptopnya setelah membulatkan tekad dia harus mengetahui dengan siapa Bagas berkencan malam itu juga.