Chereads / Pengantin Lima Ratus Juta / Chapter 5 - Bagian dari Proses

Chapter 5 - Bagian dari Proses

Keesokan harinya di taman dan waktu kencan yang sama.

Bagas dan Eruin memegang cangkir dengan kopi yang sama seperti kemarin. Namun bedanya, Eruin menikmati kopi yang lezat di waktu yang tepat untuk meminum minuman hangat. Di sebelahnya, Bagas hanya memegang kopinya dengan kedua tangan disaat matanya hanya melihat lurus ke depan.

Bagas termenung. Memikirkan sesuatu yang Eruin masih belum tahu penyebabnya.

Eruin sebenarnya sudah tahu kalau kekasihnya itu melakukan pertemuan diam-diam dengan ayahnya. Tetapi dia tak diberikan informasi apa yang sudah mereka bicarakan.

Sebagai kekasih yang baik, Eruin ingin menenangkan Bagas sedikit. Dia menaikkan tangan menuju dahi Bagas, dimana poninya sedikit menutupi wajahnya yang termenung.

Bagas menyadari ada tangan lembut yang mengkhawatirkannya. Menoleh ke pemilik tangan tersebut, Bagas menemukan Eruin menatapinya dengan sayu.

"Apa ada sesuatu yang membuatmu sampai kepikiran kaya gitu?" tanya Eruin.

Bagas tak ingin menjawab sejujurnya, tetapi dia juga tak bisa membiarkan rasa penasaran menyelimuti Eruin.

"Enggak juga, cuma soal yang kujawab tadi sedikit susah jadi aku kepikiran apa jawabanku udah benar."

"Bohong."

Eruin menekan pipi Bagas dengan jari telunjuknya saat Bagas mengatakan kebohongan.

Hubungan mereka telah berjalan tiga tahun lebih dari sekarang. Mereka telah melewati banyak hal yang membuat mereka mengenali satu sama lain. Dan tatapan nestapa yang Bagas lakukan sebelumnya bisa diketahui dengan sangat mudah oleh Eruin.

"Ayo, katakan yang sejujurnya. Apa yang sedang kamu pikirkan?"

Eruin terus menekan-nekan pipi Bagas, memaksanya untuk menjawab dengan jujur. Bagas hanya menerima tekanan itu dengan wajah bimbang. Kalau dia bicara jujur, Eruin pasti akan mencoba menggagalkan perjanjian sepihak itu dan hal itu akan membuat nilai Bagas di mata calon mertua menurun.

"Iya-iya, jadi berhenti nunjuk-nunjukin jarimu ke pipiku. Rasanya mulai sakit."

Eruin langsung menghentikan jari telunjuknya dan mulai mendengarkan dengan seksama apa yang akan Bagas katakan. Namun sebelum menjawab, Bagas menyeruput kopinya sedikit.

Panas dari kopi menciptakan uap keluar dari mulutnya. Pikirannya menjadi lebih jernih. Dengan menarik nafas sejenak dia mulai berbicara.

"Kemarin aku ketemu ayah kamu."

Eruin tak terkejut dengan fakta itu. Tetapi dia tetap harus merasa sedikit tak menduga agar kebiasannya memata-matai Bagas tak ketahuan.

"O – ohh, terus, apa yang kalian bicarakan?"

"Itu..."

Bagas sudah mencoba untuk merangkai kata yang bisa membohongi Eruin. Namun di tengah jalan suaranya terhenti. Di hadapan orang-orang yang dia cintai dia paling tak bisa melakukannya.

Apa ku beri tahu aja dia, tapi buat dia untuk gak gegabah menghadap langsung ke ayahnya?

Di dalam kebimbangan Bagas melirik sebentar untuk melihat Eruin. Dari sebelah, Eruin menunggunya untuk menjawab dengan ekspresi penuh harapan. Hal itu membuat Bagas tak bisa membohonginya.

Kalau begitu tak ada pilihan lain, pikir Bagas.

Dari membungkuk Bagas menarik tubuhnya untuk menyandar. Kepalanya didongakkan. Dia bisa melihat langit malam penuh bintang dengan posisi itu.

"Hei, jangan terlalu mendongak atau lehermu akan sakit," ujar Eruin.

Bagas menarik kepalanya untuk kembali ke posisi semula. Wajahnya berubah dan kali itu penuh dengan keyakinan. Dengan wajah itu dia melihat Eruin yang sedikit terkejut dibuatnya.

"Kamu tahu kan, kalau laki-laki punya rahasia mereka sendiri yang mereka tak mau perempuan yang mereka cintai tahu."

Bagas mencoba berbasa-basi dengan mengucapkan kata-kata gombal. Meskipun Eruin merasa cukup tergoda, dia tetap merasa kesal. Kedua pipinya digembungkan dan dia memasang ekspresi kesal sebagai balasan.

Bagas cukup merasa geli dengan ekspresi kesal Eruin. Dia menaikkan satu tangannya dan mengelus kepala Eruin.

Dengan suara lembut Bagas bicara, "Padahal kamu sering minta rekomendasi film atau anim yang dimana si tokoh utama berjuang untuk mempertahankan hubungannya dengan sang heroin. Tapi sekarang kamu malah kesal disaat hal itu sedang terjadi dalam situasi kita."

Di balik tangan Bagas yang besar, Eruin merasa semakin kesal sampai dia harus menahan rasa tangis yang datang. Kata-kata Bagas mungkin ada benarnya, meskipun begitu dia tetap tak terima kalau sesuatu yang buruk akan terjadi di antara mereka.

Bagas melepas tangannya dan melihat Eruin dengan ekspresinya yang cukup mengejutkan. Dia terlihat mau marah tapi tak tahu harus diarahkan ke siapa. Bagas tersenyum geli menatapi itu.

"Hei," sembari memanggil Bagas menyentuh kedua pipi Eruin yang masih mengembung dan mengempeskan mereka.

Bagas juga mendongakkan wajah Eruin dengan tangannya. Namun Eruin tak mau menatapnya dan malah melihat ke arah lain.

Tak memiliki pilihan lain Bagas mendekatkan wajahnya. Eruin bereaksi dengan hal itu dan ingin berusaha untuk menolak. Namun usahanya terlalu lambat, Bagas sudah terlebih dulu mencium keningnya.

Eruin sedikit terkejut karena dia pikir Bagas akan mencium bibirnya. Tetapi yang dia lihat dari ekpresi seorang yang mencium keningnya bukan nafsu, melainkan rasa bersalah.

Bagas melepaskan tangannya dan mengucapkan sebuah mantra.

"Berjanjilah kamu akan selalu berada di sisiku."

Mantra Bagas membuat darah naik ke kepala Eruin. Wajahnya memerah. Namun rasa kesal masih tetap menguasainya.

"G – godaan murahan begitu ga bakal mempan untuk mengecohku!"

Eruin menghempaskan posisinya ke sisi yang lain. Malu-malu kucing, dia juga sedikit merasa bersalah karena sudah mengatakan hal seperti itu.

Di saat dia pikir Bagas akan merasa bersalah dan meminta maaf, Bagas malah mengatakan sesuatu hal yang tak terduga.

"Ahaha, padahal aku serius gak ingin nyerahin kamu ke siapa-siapa."

"?"

Rasa kesal Eruin berubah menjadi rasa penasaran. Dia berbalik dan melihar Bagas membungkuk sambil berekspresi rumit. Wajahnya tersenyum, tetapi entah kenapa Eruin bisa melihat rasa ragu akan diri Bagas sendiri.

Eruin yang merasa bersalah meletakkan cangkir kopinya ke tanah. Lalu dengan penuh kasih sayang dia memeluk Bagas.

Bagas yang masih membungkuk terkejut disaat Eruin tiba-tiba memeluknya.

Kedua tangan Eruin memeluk sisi depan dan belakang Bagas. Wajahnya diletakkan di balik bahu dan dia berkata.

"Aku janji."

Dua kata sederhana itu mengejutkan hati Bagas. Pikirannya yang sebelumnya kacau berubah menjadi sungai yang mengalir satu arah.

Kepala Bagas yang sebelumnya berat menjadi sedikit lebih ringan. Dia menyandarkan kepalanya di atas kepala Eruin. Suasana itu adalah waktu dan tempat yang paling nyaman baginya sekarang.

"Terima kasih."

-

Setelah menghabiskan waktu sebentar dengan kekasihnya, Eruin langsung pergi ke rumah untuk menemui ayahnya. Eruin diberitahu ayahnya sedang makan malam tepat saat dia masuk ke rumah.

Tanpa berlama-lama Eruin langsung melesat ke ruang makan dan menemukan ayahnya sedang makan ditemani oleh satu orang kepala pelayan dan satu pelayan wanita.

Eruin langsung berlari kecil menuju posisi sang ayah, lalu dengan sopan menarik satu kursi di dekatnya.

Satu orang pelayan wanita datang kepadanya dan bertanya.

"Apa anda juga ingin makan, tuan putri?"

Eruin hanya menatap ayahnya yang sedang fokus makan saat pertanyaan itu datang.

Dalam kondisi sekarang Eruin tak berpikir dia lapar dan harus makan. Tetapi kalau saja pembicaraannya dengan sang ayah sedikit menguras emosi, selesai itu dia pasti akan merasa lemah karena tak memiliki tenaga lagi.

Sebagai jawaban, Eruin hanya berkata "Un," sambil mengangguk.

Sang pelayan menjawab "Mengerti," dan langsung berjalan ke dapur walaupun hanya diberikan jawaban sesederhana itu.

Singkat cerita, waktu makan sudah berlalu. Eruin yang selesai mengisi perutnya masih menatapi ayahnya dengan ekspresi serius. Ayahnya yang sudah tahu apa keinginannya hanya diam dan menyelesaikan ritual setelah makan.

Setelah semuanya selesai di ruang makan, ayah Eruin – James Brown bangkit dari kursi dan berkata.

"Ayo ke ruang keluarga."

Dengan gagah dan berwibawa ayah Eruin menuntun mereka ke ruang tamu. Eruin tak berkata sepatah kata pun dan hanya mengikuti.

Di ruang tamu seorang ayah dan anak perempuannya duduk di sofa tiga orang dengan satu meja panjang di depan yang memiliki satu mangkuk besar penuh berisi buah.

Di dalam ruangan terang yang jendelanya dibuka dan memperlihatkan langit dengan bulan terang menghiasi angkasa. Ayah Eruin membuka pembicaraan dengan pertanyaan.

"Jadi, ada apa anak perempuan kesayangan ayah tiba-tiba terlihat marah begitu?"

Eruin mengembungkan kedua pipi dan menajamkan alis atas pertanyaan ayahnya. Merasa kesal karena ayahnya sudah tahu pasti apa yang dia inginkan, tetapi ayahnya tetap berbasa-basi padanya.

"Apa yang ayah bicarakan kemarin dengan Aska?" tanya Eruin.

"Hmm, apa ya, entah kenapa ayah tiba-tiba lupa."

Eruin sudah berusaha untuk menekan emosinya. Tetapi ayahnya malah bermain-main dan menganggapnya seperti bocah berumur sepuluh tahunan yang sedang ingin bermain dengannya. Eruin tak terima dengan hal itu.

"Ayah jangan main-main!"

Eruin berteriak dan menepuk kedua pahanya. Meningkatkan tekanan ke seluruh ruangan. Ekspresinya menjadi lebih geram dari sebelumnya. Ayahnya yang berusaha bercanda mengubah ekspresinya.

Walaupun tak satupun dari mereka yang merasa harus bertikai, masalah tetaplah masalah.

"Apa ayah menyuruh Aska untuk melakukan sesuatu?"

"Ya, begitulah. Ayah memerintahkannya untuk menunjukkan keseriusannya padamu. Bagaimana dia melakukannya, itu adalah keputusannya."

Jawabannya belum jelas dan masih ada pertanyaan yang menyelimuti Eruin. Kalau pun dia memaksa untuk mencari jawaban ayahnya pasti takkan memberikan. Dengan kata lain pembicaraan mereka selesai.

Eruin menarik nafas panjang dan menenangkan diri. Lalu dengan ekspresi datar dia bicara.

"Kalau memang begitu, maaf karena telah berburuk sangka," Eruin menundukkan kepala, lalu melanjutkan, "tapi kalau sesuatu yang buruk terjadi pada Aska..."

Eruin berhenti di penghujung kalimat. Karena kata-kata yang terakhir cukup menyakitkan dia memutuskan untuk tidak mengatakannya. Ayahnya tak merespon pada penghentian kalimat itu, malahan dia terlihat tenang karena Eruin bisa mengendalikan dirinya.

"Aku permisi. Selamat malam, ayah."

Eruin berdiri dan meninggalkan tempat kejadian. Meninggalkan ayahnya dengan kepala pelayan sendiri.

Kepala pelayan yang terlihat khawatir membungkuk dan bertanya pada tuannya.

"Apa baik-baik saja membiarkan nona Eruin seperti itu, tuan?"

James Brown menarik nafas sejenak sebelum menjawab. Di dalam pikirannya dia juga merasa bersalah karena telah membuat kesepakatan sepihak itu. Namun tetap saja hal itu harus dilakukan, untuk kepentingan mereka berdua.

"Ini adalah bagian dari proses pendewasaan mereka. Kalau mereka tak bisa melewatinya, maka tak ada artinya mereka terus bersama selama ini."