Aku adalah kamu
Dua raga satu hati
Menyatu dengan indahnya
Atau itu hanya anganku saja
Burung kecil lugu
Putih dan tak bernoda
Bernyanyi di riuhnya senja
Dicabik oleh penjaga setia
Cakar yang lebih tajam dari pisau
Sedih dan tak ada tawa lagi
Penghianatan dan Siksaan
Terus berputar tanpa henti
Aku bukan kamu
Hatimu bukan untukku
Aku hanya debu
Yang hilang dimalam sendu
Seandainya waktu bisa terulang, pasti aku tidak akan memilih jalan ini. Sakit dan teramat menyiksa. Hidup terasa mati. Jam terus berputar. Hari berganti bulan, dan bulan berganti tahun. Tapi kenangan itu tidak pernah pudar. Aku tidak tersenyum lagi. Aku sudah lupa caranya. Mengapa dan bagaimana adalah pertanyaan yang terus berputar dikepala ini. Namun aku tak pernah menemukan jawabannya. Aku terdiam menatap cermin didalam kamar hotel tempatku menetap di Zurrich, selama konser berlangsung. Aku yang cantik dan mempesona, komposer dan pianis ternama Leriz Bastian Claire, nama agung yang indah dan mewah. Tapi itu bukan aku. Aku hanya gadis miskin malang tang mengenakan topeng kemewahan. Yang disakiti dan dicabik bertahun- tahun hingga kini mati rasa. Aku adalah kenangan yang terlupakan.
================
Bel pulang sekolah berbunyi kencang, waktu sudah menunjukkan pukul setengah tiga siang. Kelas terakhir pelajaran Fisika sudah usai dan saatnya pulang sekolah.
Sambil tergesa-gesa Eliza memasukkan buku-buku yang berserakan kedalam tas Pink usang miliknya. Ia hampir tidak punya teman dikelasnya. Gadis miskin yang beruntung menerima beasiswa dari sekolah bergengsi.
Sekolahnya merupakan sekolah elit tempat anak-anak calon pewaris tahta perusahaan, politikus, dan pejabat pemerintahan. Dan tentunya anak- anak manja dan super kaya itu hanya berteman dengan sesama keluarga yang selevel dengan mereka.
Anak- anak penerima beasiswa diperlukan sekolah itu untuk memastikan kedudukannya dari segi akademis. Mereka akan mengikuti setiap perlombaan mewakili nama sekolah ini. Piagam dan penghargaan yang mereka terima diluar tidak mengubah pendapat anak- anak borjuis super kaya disekolah ini. Mereka sepertinya dianggap pengemis dan tidak ada yang mau repot- repot untuk menegur apalagi berteman dengan siswa penerima beasiswa. Anak- anak penerima beasiswa biasanya akan berkelompok dengan pakaian sekolah yang sudah memudar dan kacamata tebal, mereka seperti tikus yang berkelompok. Eliza salah satu dari kelompok ini, miskin dan minoritas dengan wajah dan tampilan fisik yang tidak menonjol. Ia merupakan contoh dari kebanyakan.
Ia menggerutu sambil menggaruk- garuk kepalanya yang tidak gatal sama sekali, "Oh Tuhan, banyak sekali pekerjaan yang harus aku selesaikan".
Tugas sekolah yang menumpuk, belum lagi pekerjaan rumah, dan ia hampir tidak punya waktu untuk menyelesaikan itu semua karena harus bekerja part time sebagai pencuci piring dirumah makan ternama La Bourbon seusai pulang sekolah.
Eliza sekarang duduk dibangku kelas 3 Sekolah Menengah. Ia mengenakan seragam sekolah lusuh bekas milik anak tetangganya yang merasa kasihan dengan Eliza yang tidak sanggup membeli pakaian sekolah. Kulitnya putih bersih, berambut panjang bergelombang yang diikat rapi, pipi chubby dengan mata bulat dan bibir berwarna merah muda.
Sebentar lagi ujian akhir sekolah akan tiba. Ia masih berkutat dengan pikirannya akankah ia mampu untuk membiayai uang masuk kuliah dengan kondisi keuangan keluarganya saat ini. Ia tidak berani membebani pikiran ibunya lagi untuk mencari uang tambahan untuk membiayai kuliahnya.
Guru piket berjalan melewati ruang kelasnya, "Eliza, tolong bawakan daftar absensi ke ruang wali kelas". Ia bergegas mengambil daftar absensi kelas dan menuju ruangan wali kelasnya. Ia mengetuk pintu,, tidak lama berselang suara dari dalam menyahut, "masuk" terlihat pria setengah baya sedang duduk dikursi guru. Ia sedang sibuk menilai pekerjaan murid-murid di kelasnya.
"Silakan duduk". Tanpa basa basi walikelasnya bapak Baldwin berkata, "Nilai sekolahmu menurun. Kalau nilai pelajaranmu terus merosot, beasiswa mu akan dicabut, sahut guru tersebut tegas. Wajah Eliza pucat pasi. Ia gemetar dan takut seandainya itu terjadi. Sudut matanya mulai berkaca- kaca. Ia menggigit sudut bibirnya untuk menahan airmatanya jatuh. Sungguh memalukan jika itu terjadi dihadapan walikelasnya.
Jangan sia-siakan masa depanmu. Gadis itu tertunduk lesu. Sesekali ia mengangguk mendengar pertanyaan wali kelasnya. Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam- jam baginya, ia diperbolehkan keluar dari ruangan walikelas. Ia melangkah lesu menuju kelasnya. Kepalanya tertunduk lemas. Ia belum menginjak usia 18 tahun, tapi rasanya beban hidupnya sangat berat.
Dari lantai dua gedung sekolah ini, seseorang sedang berdiri menghadap lapangan sekolah. Ia dengan tenang menyeruput kopi hitam kesukaannya. Pembawaannya diam dan dingin. Ia tidak suka berinteraksi dengan orang lain. Kepribadian yang sangat tidak sesuai untuk menjadi seorang guru pastinya. Ia sedang mengamati sesuatu dari kejauhan. Tak ada yang dapat menebak isi pikirannya.
Ia pertama kali bertemu dengannya saat berusia 14 tahun. Eliza sedang berlari-lari menuju gerbang sekolah dengan barang bawaan yang memenuhi kedua tangannya.
Ia tidak sengaja menabrak guru magang yang baru datang. Semua barang bawaannya jatuh berserakan. Kacamata guru itu jatuh terlempar ke lantai dan kacanya pecah. Eliza terkesiap dan hampir menangis," maafkan saya pak guru" sahutnya. Suaranya merdu dan sendu. Jika hal ini terjadi dengan orang lain, amarahnya sudah pasti meledak. Apalagi saat ini dia sangat kesal harus mengajar disekolah ini. Bola matanya yang berwarna biru yang biasanya dingin seperti es seakan mencair mendengar melodi sendu. Sudut matanya memperhatikan gadis kecil ini, sudut bibirnya sesaat tersenyum. Kelinci kecil ini lucu juga.
" Tidak masalah" sahutnya dingin sambil melangkah pergi.
Untuk beberapa detik ia terdiam melihat senyum manis gadis kecil itu. Perasaan hangat menyelimutinya. Hal yang hampir tidak pernah ia rasakan sejak lama. Dan seiring dengan berjalannya waktu, ia suka memandangi gadis itu dari kejauhan. Mengamati dalam diam.
Sudah dua tahun berlalu sejak pertemuan guru dan murid ini. Ia tidak pernah bertegur sapa lagi dengan gadis itu setelah kejadian tabrakan digerbang sekolah. Sungguh lucu dan menggemaskan, dengan badannya yang terlihat padat, pipinya yang chubby, kelinci kecil ini sungguh imut pikirnya. Disaat anak- anak seumuran Eliza sibuk memperhatikan penampilan,dengan memakai seragam ketat dan rok pendek. Ia tampil natural dengan pakaian khas kutu buku, dengan rok dibawah lutut dan rambut kepang dua.
Sepertinya Eliza mulai menyadari jika ada yang menatapnya dari jauh, tanpa sadar ia memalingkan wajahnya mencari siapa yang memperhatikannya sedari tadi. Setelah menengok sekitarnya, ia tidak melihat siapapun yang memperhatikannya.
Hmm...mungkin ini hanya perasaanku saja. Belakangan ini ia sering merasa diikuti. Tapi saat ia menoleh tidak ada siapapun. Eliza kemudian bergumam, "mungkin aku terlalu stress memikirkan ujian masuk kuliah", sebaiknya aku buru-buru pulang.
Ia berjalan dari gerbang sekolah menuju halte bus. Sebentar lagi jam kerjanya akan dimulai,ia harus bergegas agar tidak terlambat.
Sekarang sudah hampir pukul tiga siang dan jadwal kerjanya dimulai pukul empat sore. Ia harus menempuh perjalanan kesana selama 40 menit, mengganti seragam sekolah dengan seragam kerjanya serta menata rambutnya untuk tatanan profesional.
Manajer tempatnya bekerja adalah seorang gadis tua yang pemarah. Ia selalu mencari alasan untuk memarahi bawahannya. Ada saja yang salah. Ia adalah contoh atasan yang buruk.
Pernah suatu kali pakaian kerjanya sedikit kurang rapi karena ia terburu-buru memakainya, sang Manajer marah besar dan berteriak, apa kau pikir tempat ini adalah restoran murahan??..Untuk bekerja disini kau harus pastikan pakaianmu dalam keadaan bersih, rambutmu ditata rapi dan sepatumu harus mengkilat. Ini bukan restoran kaki lima. Camkan itu!!!
Saat ia berjalan menuju halte bis yang terletak dipersimpangan sekolahnya, tiba-tiba sebuah mobil BMW seri terbaru berwarna merah menyala berhenti disampingnya.
Seorang gadis cantik, putih mulus,dan tinggi semampai dalam balutan dress merah yang super pendek dan sepatu high hells hitam turun dari mobil. Ia mengenakan kacamata hitam Chanel keluaran edisi terbaru.
Ia bak supermodel pikir Eliza. Siapapun yang melihat gadis itu pasti berdecak kagum, gadis ini sungguh cantik dan seksi. Ia memandanginya tanpa berkedip dengan mulut menganga. Jika aku mengenakan baju seperti itu, mungkin Airin teman akrab satu-satunya Eliza akan tertawa sambil berguling- guling dilantai.
"Hei adik kecil, apakah kamu murid Prime Elite?.. iii..iyaa.."jawab Eliza sedikit takut. Aura kakak ini sungguh kuat pikirnya. Aku merasa seperti tikus kecil dihadapan singa yang siap menerkam.
Gadis itu melihat papan nama di bajunya, Eliza Cardova. Nama yang biasa saja gumamnya dengan sudut mulut sedikit naik. Terlihat sekali kalau dia merasa jauh lebih superior dibanding Eliza.
Aku sudah menunggumu dari tadi sahutnya tegas dengan tatapan dingin dan amarah yang ditahan. Ia datang kesekolah ini untuk bertemu dengan calon tunangannya Rey Komatsu.
Sudah tiga tahun ia mencoba mendekati lelaki itu dengan berbagai bujuk rayu dan segala trik untuk menarik perhatian lelaki itu, Rey tetap tidak bergeming. Memandangnya saja tidak.
Rey bahkan tidak pernah menghubunginya duluan!! Ia sungguh kesal setiap kali memikirkan hal ini.
Banyak sekali pria yang mengantri untuk mendekatinya. Namun, ia hanya menyukai Rey seorang. Hanya laki- laki itu yang pantas untuk menjadi suamiku.