Chereads / Impian Nona Pianis / Chapter 5 - Jemari Yang Kaku

Chapter 5 - Jemari Yang Kaku

Terdengar suara teriakan panik, tapi Eliza tetap tidak merespon. Ia merasa seseorang mengguncangkan tubuhnya namun badannya tidak dapat ia gerakkan. Ia berteriak sekuat tenaga, namun tidak ada suara yang keluar. Cahaya kehidupan perlahan meninggalkan tubuhnya.

Ketika terbangun, tubuhnya bercucuran keringat. Badannya terasa lengket. Ia tersentak dari tidurnya. Eliza mengamati sekelilingnya. Ini dimana? pikirnya. Ia kemudian mengingat-ingat kejadian sebelum ia tidak tersadar. Ia mendesah, sepertinya semalam ia sudah membuat satu rumah ini kerepotan. Saat ia hendak turun dari tempat tidur, terdengar suara langkah kaki berjalan mendekati, nona muda sudah bangun?.. tuan muda menunggu nona dimeja makan untuk sarapan pagi. Ia mengangguk pelan. Sebentar bibi, saya merapikan diri dulu. Setelah membasuh wajah dan menyisir rambutnya, ia ingin bergegas untuk turun kebawah, tapi entah kenapa badannya tidak mau bekerjasama. Langkahnya lemah, dan ia tidak bertenaga.

Rey sudah menunggu di meja makan, ketika Eliza mendekat, bola matanya yang tajam mendadak menatap gadis ini.

Eliza, semalam kamu pingsan. Dokter bilang kamu mengalami demam dan keletihan. Sebaiknya hari ini kamu istirahat saja dulu disini ucap Rey. Ia memperhatikan reaksinya, terlihat jelas penolakan dimatanya. Gadis yang sulit dibujuk. Ia lalu melanjutkan kalimatnya, Saya tidak merasa terganggu atas kehadiranmu. Lagipula rumah ini cukup besar untuk menampung seorang tamu lagi.

Saya harus bekerja sore ini. Kalau saya tidak hadir, saya bisa dipecat jawabnya lirih.

Lelaki itu tersenyum lembut, saya sudah menyampaikan ke pemilik restoran Le Bourbon tempat kamu bekerja bahwa kamu sakit, dan ia sudah memberikan kamu izin untuk beristirahat selama 3 hari. Saya juga sudah mengirimkan surat sakit ke wali kelasmu. Jadi kamu bisa berhenti khawatir. Dokter juga bilang kamu stress dan kelelahan.

Eliza sudah membuka mulut namun lelaki dihadapannya ini menyela, sudah cukup pembicaraan kita ini. Saya tidak mau mendengar alasan lain.

Bibi Fang kemudian menyiapkan bubur untuk Eliza. Harus dihabiskan agar nona lekas sembuh, sahut bibi Fang. Baiklah, bibi. Karena bibi sudah repot membuatkannya untuk saya, pasti saya habiskan jawab Eliza lembut. Bibi Fang tersenyum, sungguh anak yang memiliki sopan santun pikirnya.

Setelah selesai makan, Rey mengajak Eliza berkeliling rumah dan saat mereka sampai diruang tamu, ia memberi perintah, duduk disini. Tangan menunjuk ke arah kursi piano.

Eliza jalan perlahan dan duduk di kursi itu. Rey mengambil posisi disebelahnya. Ia membuka penutup piano, dan tanpa aba-aba ia memainkan lagu karya Beethoven Piano Sonata No.24 di F#mayor. Jari- jarinya memainkan lagu tersebut dengan kecepatan yang presisi, Keseluruhan emosinya mengalir melalui melodi yang indah.

Eliza diam terpana menyaksikan maha karya agung ciptaan Tuhan, sungguh kesempatan yang langka menyaksikan seorang pria tampan maestro piano yang memainkan karya agung Beethoven dengan begitu menjiwai. Seakan tenggelam didalam sentuhan melodi itu, jantung Eliza terasa terhenti. Ia terhipnotis dengan pemandangan dihadapannya. Nampaknya Tuhan sungguh serius dalam membuat mahakarya yang satu ini. Wajah tampan lelaki ini, rahangnya yang keras, bola matanya yang hitam, tubuhnya yang tinggi kekar, dan ia seorang maestro. Sungguh sempurna pikir Eliza.

Tanpa sadar melodi itu terhenti, dan lelaki itu memandang Eliza dengan tatapan lembut. Saya melihat kamu tertarik dengan piano. Apakah kamu pernah belajar piano Eliza?..gadis itu mengangguk.

Kenangan masa kecil mulai memenuhi ingatannya. Ia menjawab pelan, saya berlatih piano sejak saya berusia 4 tahun ujar Eliza. Coba kamu mainkan suatu lagu gumam Rey.

Eliza mencoba mengingat-ingat, tanpa sadar jemarinya memainkan piano dengan halus dan nada-nada indah tercipta dari jemari ini. Ia memainkan lagu Ballade Pour Adeline karya Richard Claydermen. Emosinya menyatu dengan lagu ini, beban berat ia ia pikul, kesedihan, kekecawaan, tekanan seakan menghilang seiring dengan emosi yang mengalir lembut. Lagu yang sungguh indah dan gadis yang sangat cantik pikir Rey.

Setelah ia selesai memainkan lagu itu, Rey bergumam. Apakah kamu sudah menentukan akan melanjutkan pendidikan kemana setelah selesai sekolah menengah Eliza?.. ia mengangguk. Saya akan masuk perguruan tinggi lokal sebutnya. Sudah menentukan jurusan tanya lelaki itu. Eliza menjawab saya akan melanjutkan ke perguruan tinggi jurusan akuntansi atau manajemen juga bisa sebut Eliza.

Lelaki itu terdiam, sesaat ia tidak bersuara. Ia memutuskan untuk menyelamatkan masa depan gadis ini. Itu adalah ilusi yang ia bentuk sendiri dalam kepalanya. Menyelamatkan?..ia akan menjadi malapetaka untuk gadis kecil ini. Tapi nampaknya lelaki itu belum menyadari jalan terjal penuh rintangan yang ia pilihkan untuk gadis lugu ini. Ia terlalu polos untuk menyadari jurang besar yang sedang menanti.

Apakah kamu pernah berpikir untuk masuk jurusan seni di University of Music and Performing Arts Viena (MDW)? Permainan pianomu sungguh indah. Kamu berbakat. Hanya saja jemarimu masih kaku. Mungkin karena terlalu lama tidak berlatih. Saat ini mereka sedang duduk bersebelahan dibangku piano. Bangku itu cukup untuk dua orang duduk berdekatan. Saat Rey berbicara, suaranya berbisik di telinga Eliza. Ia seakan tersengat listrik dan sesuatu dari dirinya seakan ingin keluar. Perasaan yang aneh pikir Eliza. Ia tidak pernah mengalami ini sebelumnya.

Eliza mendesah, ia menunduk malu. Saya tidak mampu membiayai kuliah saya disana. Lagipula saya tidak punya piano untuk berlatih dirumah sahutnya.

Kamu bisa berlatih disini. Masih ada waktu 6 bulan sebelum tes penerimaan mahasiswa baru. Aku akan membantumu berlatih mengejar ketertinggalanmu. Suaranya pelan namun tegas. Ia tidak menerima jawaban tidak.

Entah kenapa Eliza tidak berani membantah. Ia hanya terdiam. Apakah perkataan saya jelas Eliza? bisiknya ditelinga Eliza. Lengan kanannya tiba-tiba merangkul pinggang kiri Eliza. Biasanya gadis ini langsung marah jika seorang pria berani memegang tangannya. Namun saat Rey memegang pinggangnya, i tidak sanggup menolaknya. Mungkin karena pria ini terlalu tampan pikirnya.

Rey berusaha menahan diri untuk tidak menggigit telinga gadis ini. Hasratnya makin tinggi saat melihat lehernya yang putih dan lembut. Jemari telunjuknya mulai merapikan rambut Eliza yang menurut wajahnya. Ia meletakkan rambutnya kebelakang telinga gadis itu dan secara sengaja ia meneruskan jarinya untuk meraba leher lembut ini. Pikiran gila mulai melintas dikepalanya. Ia ingin mencium gadis ini sekarang. Namun ia menahan dirinya. Ia segera bangkit dari duduknya dan bergegas pergi. Kamu tunggu disini sebutnya. Saya akan mengambil beberapa buku untuk kamu pelajari sahut Rey.

Ia tetap diam mematung. Ia kebingungan dengan sensasi aneh yang muncul dalam dirinya saat tuan muda itu menyentuh lehernya dari samping. Ia tidak tahu jenis perasaan apa ini. Ia belum pernah merasakannya. Namun ia tidak menolak saat disentuh lelaki itu. Oh Tuhan, aku pasti sudah gila pikir Eliza.

"Berhenti bekerja dan pindah kesini". Kamu harus berlatih intensif untuk mengejar ketertinggalanmu. Mata Eliza mengerjap- pikirannya mendadak kosong. Apa lelaki ini sudah gila. Saya harus bekerja untuk membiayai hidup saya tuan muda yang terhormat sahutnya. Nadanya mulai tinggi.

"Bekerja disini sebagai pelayanku". Bibi Fang mulai tua dan ia memerlukan bantuan. Gaji disini 3 kali lipat lebih tinggi dibanding pekerjaanmu sebagai tukang cuci piring. Eliza perlahan mencerna ucapan lelaki ini, mungkin ia terlalu bodoh untuk menyadari kalau lelaki ini sudah mengecek latar belakangnya.

Tanpa berpikir lama, ia menjawab "baiklah". Tapi aku harus meminta izin ibuku untuk pindah kemari.

Senyum dingin muncul dibibir lelaki itu selama 2 detik sebelum tergantikan dengan topeng hangat diwajahnya.