Yuni menatap takjub putra semata wayangnya. Walau hanya bisa duduk di kursi roda, setidaknya Yuni bisa hadir dalam acara besar Satria. Hari ini Satria tampak gagah dengan jas abu-abunya. Satria berpakaian sangat resmi dan rapi. Bahkan mereka sengaja menata rambut lelaki itu hingga sangat rapi. Tak mau mengecewakan, Herman dan Yuni pun mengenakan pakaian yang selaras.
Semua itu tentunya berkat Tuan Badra, si juragan tanah di desa.
"Anakku sangat gagah dan tampan." Puji Herman sambil menepuk bahu Satria.
Satria mencoba bernafas biasa namun tak bisa. Gugup rasanya dan tak bisa ditutupi. Satria hanya bisa terus minum air mineral selagi menutupi kegugupannya. Dan kali ini sudah botol ketiga yang ia minum.
Yuni dan Herman menatap anak mereka sambil pikiran terbayang-bayang tiga hari yang lalu saat Satria mengatakan kabar yang sampai hari ini pun sulit diterima.
"Pak, Bu, tiga hari lagi Satria akan menikah."
Kata Satria.
Yuni dan Herman saling menatap bingung.
"Maksud kamu apa, nak?" Tanya Yuni.
Herman masih diam menunggu jawaban Satria. Satria menghela nafasnya berat. Terlalu sulit untuk dikatakan. Karena pernikahan yang bukan ia inginkan, Satria jadi bingung harus bagaimana cara menyampaikannya. Tidak mungkin juga Satria blak-blakan bilang jika pernikahan itu hanya untuk uang semata. Bisa-bisa ibunya kembali drop dan sang ayah pun sudah pasti tidak setuju.
"Coba jelaskan pada kami apa maksud ucapanmu." Ucap Herman tak sabaran.
"Satria akan menikah...tiga hari...lagi."
"Menikah? Dengan siapa?" Tanya Herman yang sedikit meninggikan nada bicaranya.
Yuni mencoba tersenyum. "Dengan Alika?"
Mau Satria pun begitu tapi..
"Bukan. Aku akan menikah dengan putri Tuan Badra." Jelas Satria.
Yuni dan Herman tentunya terkejut mendengar nama itu.
"Maksud kamu Pak Badra pemilik kebun dan sawah tempat Bapak kerja?" Tanya Herman tak percaya.
Dengan ragu Satria mengangguk. Melihat raut wajah putus asa dari Herman membuat Satria merasa sangat bersalah.
Mungkinkah seharusnya ia tidak menerima tawaran perjodohan itu?
Tapi bagaimanapun juga ini semua demi Ibunya.
Selama ini Satria tidak bisa melakukan apa-apa untuk kedua orang tuanya sebagai balas budi. Mungkin inilah cara Satria berbalas budi atas jasa kedua orang tuanya sejak ia kecil hingga saat ini.
"Lalu Alika bagaimana?" Tanya Yuni cemas.
Yuni tentunya kenal baik dengan Alika. Satria tahu jika Yuni sangat menaruh hati pada Alika untuk dijadikan menantu.
"Kami..sudah putus.."
"Kamu serius? Apa hubungan anak Pak Badra sama kamu? Kok bisa Pak Badra menikahkan putrinya dengan kamu?" Tanya Yuni.
Sejauh ini hanya Yuni yang dapat merespon dengan lembut. Sedangkan Herman, raut wajahnya sudah tak terbaca.
"Itu.. sebenarnya aku diam-diam dekat dengan putrinya. Alika marah dan..kami putus." Jelas Satria.
Penjelasan tak berdasar namun masih masuk diakal. Yuni dan Herman kini saling terdiam.
"Maaf jika sangat mendadak. Tapi itu permintaan Tuan Badra, Pak, Bu." Lirih Satria.
"Aku kenal sekali dengan Pak Badra. Dia tak mungkin membuat keputusan secepat itu tanpa alasan yang jelas. Walau beliau memang pemaksa dan tegas, tapi Bapak rasa ini terlalu tergesa-gesa " Herman buka suara.
"Jawab jujur,Satria. Kamu melakukan kesalahan ya bersama anaknya?" Tanya Herman.
Satria ingin tertawa dalam hati. Bagaimana bisa ia melakukan kesalahan atau berbuat seperti yang mungkin ada dikepala Bapaknya. Kenal dengan Tuan Badra saja tidak apalagi dengan putrinya. Satria pun baru tahu jika Tuan Badra adalah juragan tanah dan pemilik lahan di tempat orang tuanya bekerja.
"Tidak, Pak. Satria tidak melakukan apa-apa. Tuan Badra hanya ingin anaknya cepat menikah."
Maaf jika terus berbohong. Batin Satria.
Herman pun mengangguk.
"Yasudah. Kami akan datang ke pernikahanmu."
.
"Satria?" Panggil Yuni.
Setelah merasakan ada tangan hangat yang menggenggam tangannya, Satria pun terperangah kaget. Ia baru saja melamun. Di hari pernikahannya ia bisa-bisanya melamunkan hal yang sudah lalu.
Satria tersenyum pada ibunya lalu berjongkok untuk mensejajarkan tingginya.
"Jangan begitu, nanti baju mu kusut." Protes Yuni.
Satria tertawa. "Jas ini kan mahal, tidak akan kusut hanya karena aku berlutut didepan ibu seperti ini."
"Satria." Panggil Herman yang baru saja selesai dengan pakaiannya.
"Iya, Pak?"
"Jujur saja kami merasa malu untuk datang. Kami menikahakanmu tanpa modal sedikit pun. Apalagi kondisi ibumu yang kurang baik. Apa tidak apa-apa jika kami datang?" Tanya Herman cemas.
Satria pun berdiri. "Jangan begitu, Pak. Sebelumnya Tuan Badra sudah bilang jika dia yang akan menanggung semuanya sekalipun jika kita mau. Dan beliau hanya mengundang rekan dekat saja. Ini bukan acara mewah kok." Jelas Satria.
"Tapi tetap saja Bapak gak enak. Harusnya-"
"Tidak perlu memikirkan apa-apa lagi Tuan Herman, semua sudah diatur dan disiapkan." Kata Tuan Badra yang tiba-tiba muncul dan menyela ucapan Herman.
"Semuanya akan baik-baik saja. Dia pria yang sangat bertanggung jawab." Kata Tuan Badra.
"Terimakasih karena mau menerima putra kami, Pak. Maaf jika-"
"Aku tidak suka permintaan maaf." Tuan Badra tersenyum.
"Lima menit lagi dimulai, ayo keluar. Ahmad tolong tuntun kedua orang tua Satria ke tempatnya."
"Baik, Tuan."
~~
Karena pertimbangan dari orang tua Satria, akhirnya pernikahan berlangsung di desa.
Dan disinilah Satria sekarang, berdiri dihadapan banyak tamu undangan. Dengan gugup dan perasaan takut Satria berusaha semaksimal mungkin terlihat baik-baik saja. Ini pernikahannya. Pernikahan yang akan menjadi pertama dan terakhir untuknya. Mungkin saja kecuali jika ia berniat bercerai. Berulang kali ia menghela nafasnya. Jika saja ada orang yang sangat teliti memperhatikan Satria saat ini, mungkin orang itu akan menyadari getaran kecil di kedua kakinya karena gugup. Satria pun melirik Herman yang duduk dengan tenang disana. Ingin sekali Satria bertanya pada Herman. Apakah pria itu juga segugup ini saat menikah dengan ibunya?
Herman seperti mengerti apa yang dirasakannya, beliau langsung tersenyum dan mengangguk seolah mengatakan semuanya akan baik-baik saja.
Dan seketika Satria mendapat sedikit kekuatan. Satria jadi tenang sejenak sampai matanya bertemu dengan mata itu. Mata yang cukup memikatnya. Tatapan sendu itu, seolah mampu menarik Satria dari tempatnya saat ini hanya untuk mendekati tatapan itu.
"Alika?" Gumam Satria tak percaya.
Ya, Alika ada disana. Duduk manis dengan riasan dan gaun yang cantik. Satria tersenyum senang melihat sang pujaan hatinya ada disana.
Alika tersenyum padanya. Tatapan Alika menyorotkan penuh kasih sayang dan memberi kekuatan melalui tatapan itu. Ingin rasanya Satria menghampiri gadis itu dan langsung memeluknya erat. Satria rindu Alika. Bahkan Alika tampak sangat cantik sekarang dengan polesan make up tipis dan rambut yang di gelung.
Aku tidak bisa menahannya lagi.
Selangkah. Baru selangkah Satria melangkah, di sebrang sana Tuan Badra sudah siap dengan putri bungsunya. Mariposa melangkah dengan anggun dituntun oleh sang ayah. Senyum bahagia tercipta disana. Sementara Satria tersiksa melihat senyum itu. Mariposa cantik. Sangat cantik. Tapi akan lebih baik jika yang sedang berjalan menuju kearah Satria itu adalah Alika. Satria membayangkan jika saja Alika yang berjalan diatas altar dengan senyuman manisnya. Ketika semua orang tersenyum bahagia dengan kedatangan mempelai wanita, kenapa hanya Satria yang merasa sakit dan tersiksa?
"Tersenyumlah." Ucap Alika tanpa suara dari tempatnya.
Satria menurutinya. Walau terpaksa, Satria mencoba tersenyum dan menatap pengantinnya. Mariposa balik tersenyum melihat Satria yang semakin dekat dengannya. Hanya beberapa langkah lagi Satria akan menjadi miliknya. Selamanya.
"Aku titipkan putriku yang sangat berharga ini padamu." Ucap Tuan Badra ketika sampai di depan Satria.
Tuan Badra pun menatap Mariposa lekat lalu mencium kening Mariposa cukup lama. Siapapun akan luluh melihat seorang Badra Parviz yang terkenal kejam ternyata sangat menyayangi putrinya. Tuan Badra pun menyerahkan genggaman Mariposa pada Satria.
"Jagalah dia melebihi dirimu sendiri." Pesan Tuan Badra pada Satria.
Satria menerima tangan itu dengan gemetar. Ketika ia menerima tangan itu, berarti hidupnya tak lagi sendiri. Ada beban lain yang harus ditanggungnya. Dan Satria harus menerima itu. Tangan hangat dan lembut Mariposa sangat terasa di telapak tangannya. Satria mencoba tersenyum dengan paksa.
"Aku akan menjaganya, Tuan. Terimakasih."
~~~
Selesai mengeringkan rambut Mariposa terdiam di depan meja riasnya. Tatapannya beralih pada petikan bunga mawar yang memenuhi kasur kesayangannya. Seprai bergambar kartun pun diganti seprai baru. Hasilnya sekarang kasur yang biasa penuh dengan gambar kartun dan boneka berubah menjadi kasur yang serba putih dan dihiasi merah bunga mawar bertaburan ditambah lilin lilin yang menghiasi kamar mereka. Terlihat sangat romantis dan berkesan untuk Mariposa. Dan sekarang Mariposa sudah resmi menjadi istri sah Satria.
Suara percikan air dari dalam kamar mandi membuat Mariposa kaku seketika. Ingatannya kembali pada kejadian beberapa jam yang lalu. Tepat saat dirinya melepas masa lajang. Mariposa meraba bibir merah ranumnya sendiri. Jantungnya kembali berdebar. Bibir itu kini sudah tidak suci lagi. Bibir itu bukan lagi hanya miliknya seorang. Mariposa mungkin tak akan pernah bisa melupakan bagaimana Satria mengambil ciuman pertamanya diatas altar. Terlebih, dihadapan banyak orang.
.
Setelah mengucapkan janji suci, para tamu undangan pun bertepuk tangan atas bersatunya Mariposa dan Satria. Tak terkecuali Badra yang ada disana tersenyum bahagia melihat putri kecil yang ia rawat dengan penuh kasih sayang itu menikah dengan pria pilihannya sendiri.
"Terimakasih." Ucap Mariposa tulus.
Mariposa menatap suami sah nya dengan dalam dan hangat. Satria tersenyum hangat. Satria merengkuh pinggang Mariposa untuk lebih mendekat dengannya. Kening mereka pun bersatu. Mariposa yakin jika Satria dapat mendengar suara detak jantungnya sekarang. Melihat adegan itu pun membuat para tamu undangan berteriak menyuruh keduanya berciuman. Yah, ini waktu yang tepat sepertinya.
"Kau akan menciumku?" Lirih Mariposa.
Satria tak menjawab. Matanya melirik Alika yang terdiam ditempatnya. Sorot mata Alika menyatakan jika Satria tak harus melakukannya. Tapi sedetik kemudian ada seorang lelaki yang menghampiri Alika dan merangkul pinggangnya. Satria bisa melihat dengan jelas Alika langsung tersenyum dengan kedatangan lelaki itu. Betapa mesranya mereka. Itu membuat Satria sakit.
"Maukah kau menciumku?" Tanya Mariposa yang membuat Satria kembali fokus padanya.
"Apa?" Tanya Satria sambil tersenyum miring.
"Ayolah, Sat. Mereka menginginkannya."
"Mereka, bukan aku."
Lalu setelah itu, Mariposa tak bisa merasakan kakinya lagi. Benda kenyal yang menempel di bibirnya itu membuatnya melayang seketika. Walau Satria hanya menciumnya di ujung bibir, tapi sangat terasa jelas bagi Mariposa jika bibir lelaki itu lembut dan dingin. Seperti es krim.
.
"Hey!"
Tepukan di bahunya menyadarkan Mariposa kembali ke dunia nyata. Kini lelaki yang bisa ia sebut suami itu setengah membungkuk tepat disampingnya. Satria memandangi Mariposa melalui cermin.
Bisa dirasakan harum tubuh Satria yang memabukkan. Walau mereka memakai sabun mandi yang sama, bagi Mariposa Satria tetap punya aroma tersendiri. Tetesan air dari rambut Satria menetes ke bahu telanjang Mariposa. Satria pun sudah menyadarinya sejak ia keluar dari kamar mandi bahwa Mariposa memakai baju tidur yang cukup terbuka. Seolah baju itu sengaja dibuat untuk menggodanya.
"Jangan bilang padaku kalau itu ciuman pertamamu." Bisik Satria sebelum akhirnya menjauhi Mariposa.
"Kenapa?" Tanya Mariposa.
Satria duduk di tepi tempat tidur sambil mengeringkan rambutnya. Pemandangan yang indah bagi Mariposa. Melihat Satria hanya mengenakan celana pendek dan kaos hitam polos sambil mengeringkan rambut seperti itu membuat Mariposa tergoda.
Sial! Bagaimana bisa pikirannya begitu liar ketika usianya saja baru menginjak delapan belas tahun?
Satria menoleh pada Mariposa lalu tersenyum miring.
"Karena aku juga begitu."
Mariposa ikut duduk disamping suaminya.
"Maksudnya?"
"Bukan apa-apa."
Satria melempar handuk kecil itu asal lalu ia membaringkan badannya secara kasar. Mariposa suka melihat lelaki itu berbaring disampingnya. Terasa dekat dan hangat.
"Mereka bilang namamu Mariposa." Gumam Satria.
"Ya, benar."
"Kenapa bisa pria sekejam dia bisa memberikan nama yang cantik untuk putrinya." Kata Satria sambil menatap Mariposa.
"Maksudmu ayahku?"
"Hmm."
"Nama itu diberikan ibuku. Ayah hanya bisa memberikan nama untuk laki-laki. Semua nama anaknya itu pemberian dari ibu." Jelas Mariposa.
Mariposa pun ikut berbaring. Jadilah mereka berbaring diatas tebaran bunga mawar yang harum. Mariposa sengaja memiringkan badannya agar bisa melihat dengan jelas wajah Satria dari dekat. Lekukan wajah Satria sangat jelas dilihatnya sekarang.
"Hey, aku tidak tahu namamu." Ucap Mariposa.
"Kau pernah menanyakan itu beberapa hari yang lalu."
"Dan tidak kau jawab." Balas Mariposa.
Satria tertawa kecil.
Hening.
Mariposa merasa sedih karena Satria tidak juga menyebutkan namanya. Padahal ia hanya ingin berkenalan dengan cara biasa dan normal seperti kebanyakan orang. Ia ingin mengenal Satria dengan caranya sendiri.
"Jika kau tidak mau beritahu, aku akan tanya Marvel nanti." Kata Mariposa pasrah.
"Satria Adhitama." Ucap Satria dengan cepat.
Mariposa tersenyum senang. Lalu gadis itu pun mengulurkan tangannya. Satria pun menerima tangan itu. Mereka berjabat tangan dalam waktu yang sangat singkat setelah menikah.
"Jadi karena kau sudah tahu namaku.."
Satria tiba-tiba pindah posisi menjadi setengah menindih Mariposa. Kedua tangannya bertumpu menjadi pagar agar Mariposa tak bisa kabur.
Mariposa merasa jantungnya akan meledak seketika. Bagaimana bisa suaminya itu bernafas dengan tenang didepan wajahnya?
Mariposa menelan ludahnya dengan susah payah. Satria pun semakin menggodanya dengan mengelus pipi mulus Mariposa.
"Maukah kau 'temani' aku dan terus berteriak memanggil namaku sepanjang malam, hm?" Lanjut Satria sambil setengah berbisik.
Pipi Mariposa merona. Satria melihat itu dengan jelas. Satria akui jika Mariposa cantik dan begitu mempesona. Apalagi jika dilihat dengan cara menindihnya seperti sekarang, Satria yakin siapapun lelaki yang melihatnya akan langsung jatuh hati dengan mudah.
"Pipimu merona sayang.." bisik Satria sambil terus mengelus pipi istrinya.
Mariposa benar-benar seperti kehabisan oksigen. Mungkin inilah waktunya ia melepas apa yang selama ini ia jaga. Benarkah? Secepat itukah?
Satria semakin mendekatkan wajahnya. Tinggal dua centi lagi ia bisa mencium Mariposa dengan lembut. Tapi tiba-tiba bayang-bayang wajah Alika yang tersenyum padanya itu muncul. Satria tiba-tiba merasakan remuk di dada.
"Alika." Lirih Satria.
Mariposa sontak membuka matanya.
"Apa?"
Satria terus membayangkan Satria. Bahkan kini lelaki itu merasakan kemiripan wajah Alika dengan Mariposa.
Benar. Aku akan melakukannya dengan bayang-bayang Alika, bukan Mariposa.
Satria pun meyakinkan dirinya untuk melakukannya. Mariposa hanya bisa menunggu dan bertanya-tanya sendiri dalam hati dengan tingkah aneh Satria. Apalagi saat suaminya itu malah menyebut nama selain namanya.
"Satria apa yang-"
"Sssttt.."
Satria meletakkan jari telunjuknya dibibir Mariposa. Kemudian Satria kembali mendekatkan wajah mereka. Mariposa pun kembali menutup matanya. Ia gugup sekarang. Sangat. Mariposa berharap semoga yang kali ini benar terjadi.
"Ayolah, Sat. Mendekat." Gumam Mariposa tak sabaran.
Walau gugup tapi Mariposa akui jika ia juga tidak sabar. Sementara Satria jadi teringat saat lelaki itu menghampiri Alika dengan mesranya. Satria pun tiba-tiba merasa jika ia tak bisa melakukannya. Mata Satria kembali terbuka. Baik Satria maupun Mariposa, keduanya sama-sama kaget dengan apa yang baru saja terjadi. Satria langsung menghindar dari Mariposa. Lelaki itu berjalan cepat ke balkon dan berdiri diluar sana. .
Dan Mariposa kecewa.
"Apa yang terjadi?" Protes Mariposa.
"Aku tidak bisa." Lirih Satria sambil menatap langit malam.
"Apa? Tapi aku kan-"
"Sebaiknya kau tidur. Aku akan keluar sebentar." Potong Satria dengan cepat.
Mariposa menatap Satria tidak percaya. Satria hanya bisa bungkam sambil menatap istrinya dengan tatapan dingin dan menusuk. Dengan cepat Satria mengambil sweater itu rajut Mariposa dan menghilang dari balik pintu kamar.
Mariposa hanya bisa diam menatap kepergiannya. Kini tersisa angin malam dan dirinya di dalam kamar. Mariposa tertawa miris. Mentertawakan dirinya yang ditinggal saat malam pertama mereka. Sungguh menyedihkan. Mariposa sadar jika ia belum sepenuhnya mengenal Satria dan ia juga belum tahu orang-orang yang ada dalam hidup Satria. Mungkin butuh sedikit kesabaran untuk menghadapinya. Tentunya Mariposa harus menerima setiap resiko yang ada. Memenangkan hati Satria tidaklah mudah.
Bahkan jika bukan karena kebetulan, tanpa kondisi ibu Satria yang sakit parah itu Mariposa tak akan bisa memiliki Satria sampai kapanpun.
"Tak bisakah kau mengerti seberapa besar aku ingin dirimu huh.."
Mariposa mengambil ponselnya diatas meja. Dengan cepat ia mencari nama kontak yang menjadi tujuannya. Tak butuh waktu lama orang itu mengangkat telponnya dengan cepat.
"Hello.."
"Bisakah kau temani malam pertamaku? Kumohon.."
.
Bersambung