Chereads / Trouble Marriage / Chapter 12 - Memulai

Chapter 12 - Memulai

Satria hanya diam sejak ia berangkat dari rumah kebesaran keluarga Parviz. Bahkan kini orang-orang suruhan Tuan Badra hanya bingung melihat Tuan barunya yang seolah tak bernyawa. Satria ada di samping mereka tapi jiwa lelaki itu entah kemana. Satria bahkan tak mengucapkan apa-apa saat Ahmad menjelaskan tugasnya nanti jika sudah sampai di kantor.

TING!

Pintu lift terbuka. Satria ikut melangkahkan kakinya keluar bersama dua pengawalnya.

"Tuan?" Panggil Ahmad ragu.

"Ya?" Satria hanya merespon singkat.

"Ada masalah, Tuan? Apa saya berbuat salah? Sepertinya wajah Tuan terlihat..marah?" Cicit Ahmad.

Tio, pengawalnya yang bersama Ahmad pun ikut cemas menanti jawaban Satria.

"Marah? Aku?" Tanya Satria sambil menunjuk wajahnya sendiri.

Ahmad dan Tio pun mengangguk bersamaan.

"Tidak. Aku hanya sedang pusing saja memikirkan tugasku nanti hehe."

Tentu saja itu bohong. Satria sama sekali tidak mementingkan tugas apa yang diberikan untuknya nanti. Satria bukan tipe orang yang mau memusingkan sesuatu hal. Kebiasaan buruk Satria adalah mudah menyepelekan sesuatu hal dan mudah membanggakan dirinya sendiri. Tak aneh jika selama ini Satria hanya nganggur di rumah karena dia tidak pernah mau pusing cari pekerjaan.

Satria hanya sedang bingung dengan istrinya sendiri. Satria juga merasa aneh dan sangat aneh dengan dirinya sekarang. Setelah pelukan yang Mariposa berikan, Satria jadi tidak banyak bicara.

Tidak ada debaran di jantungnya. Tidak seperti kebanyakan orang yang bereaksi berlebihan ketika dipeluk dan dicium gadis cantik, Satria merasa sedikit geli dan tidak suka saat Mariposa berani memeluknya. Namun entah kenapa, Satria tidak bisa melupakan kejadian saat Mariposa memeluk dan mengecup pipinya. Bahkan Satria terus merasakan saat dimana tangan mungil itu melingkar di pinggangnya dan benda kenyal itu menempel di pipinya.

"Aku harap kau tidak kesulitan, Tuan muda." Kata Tio menyemangati.

"Benar. Tuan Badra biasanya tidak akan segan memberikan tugas sekalipun itu di hari pertama seseorang bekerja." Sahut Ahmad.

Tio pun mengangguk menyetujui. Satria tersenyum kecil. Tentunya Ahmad dan Tio tahu bagaimana latar belakang hidup Satria. Bahkan bisa dibilang, mereka berasal dari latar belakang kehidupan yang hampir sama. Maka dari itu Ahmad dan Tio ikut bersimpati di hari pertama Satria bekerja.

"Akan mudah kok, tenang saja. Dan terimakasih atas semangatnya." Balas Satria sambil tersenyum.

Tapi sepertinya kali ini berbeda. Satria melihat beberapa pengawal pribadi Tuan Badra sudah berbaris rapi di depan ruangan itu. Tiap pengawal tentunya membawa setumpuk berkas dan buku-buku yang cukup tebal yang nantinya akan Satria pelajari.

"Masuklah Tuan." Sahut Ahmad sambil membuka pintu untuk Satria.

"Padahal tidak usah dibukakan. Aku bisa buka sendiri." Protes Satria dengan suara yang kecil.

Ahmad tersenyum mendengarnya. Satria memang masih canggung untuk menganggap semua pelayan dan pengawal di rumahnya sebagai bawahan. Dan Ahmad pun memaklumi itu.

Satria sempat merapikan jas nya lalu masuk ke dalam ruangan besar dan cukup mewah itu. Satria berdecak kagum dalam hatinya. Ruangan itu penuh dengan pernak-pernik unik dan dihiasi warna putih dan biru Dongker.

Matanya pun langsung menyapu segala penjuru ruangan yang memang benar-benar di desain senyaman mungkin untuk bekerja. Satria bisa melihat ayah mertuanya duduk di kursi kebesarannya sambil membaca sebuah berkas yang sepertinya sangat penting. Tuan Badra sudah tahu jika Satria sudah berdiri didepannya dan sedang menunggu perintah. Perintah? Memangnya Satria itu pembantu.

"Tuan" panggil Satria setelah ia cukup bosan menunggu.

"Hm"

Dan sekarang Satria bingung harus bicara apa. Dia juga tidak tahu apa yang akan dia lakukan di kantor.

Karena peka akan situasi, Tuan Badra pun menyudahi kegiatannya lalu menatap Satria yang masih setia berdiri didepannya. Mungkin ini kedua kalinya Tuan Badra melihat menantu barunya itu mengenakan setelah jas selain di hari pernikahannya. Dan hari-hari berikutnya pun Satria akan mengenakan pakaian itu tiap ke kantor. Dan Tuan Badra sedikit mengakui jika Satria memang terlihat gagah.

"Kau bisa duduk disana dan pelajari semua yang dibawakan anak buahku." Tunjuk Tuan Badra pada sebuah kursi lain yang ada dipojok kiri ruangannya.

Ternyata ada kursi kebesaran lain di ruangan itu yang nantinya akan menjadi kursi kebesarannya juga mungkin. Satria pun mulai duduk ditempatnya. Dari tempatnya saat ini Satria bisa melihat dengan jelas ayah mertuanya yang kembali sibuk dengan beberapa kertas bernoda tint hitam diatasnya.

Tak lama, beberapa orang yang sempat Satria lihat didepan tadi masuk dan segera meletakkan semua yang mereka bawa diatas mejanya. Hingga tangan mereka kosong tak tersisa satupun buku karena semua telah diberikan pada Satria. Lihatlah betapa banyaknya buku itu hingga Satria hanya bisa melihat Tuan Badra tengah penglihatannya. Setelah itu orang-orang tadi berpamitan dan menghilang bak ditelan bumi.

"Tuan.." panggil Satria dengan ragu.

Satria merasa jengah saat Tuan Badra tak mengindahkan panggilannya. Jadi ini yang dimaksud pelajari semua yang dibawakan anak buahnya? Sebanyak ini? Ini gila. Satria akan menjadi gila karenanya.

"Jangan ganggu aku dan lakukan saja pekerjaanmu." Suara Tuan Badra menginterupsi.

Satria hanya bisa pasrah lalu mulai membuka lembar demi lembar buku yang tersedia dihadapannya itu. Dan ternyata orang-orang itu sudah menyusun buku yang harus dibaca Satria mulai dari hal yang paling mendasar. Satria seperti kembali menjadi anak sekolahan yang belajar pelajaran IPS dan matematika saat melihat beberapa angka dan rumus tercetak disana.

TRING!

Itu ponsel Satria. Satria pun segera mengeluarkan benda pipih itu dari saku jas nya. Layarnya menampilkan sebuah notifikasi yang ternyata mampu membuat Satria mengukir senyumnya.

Alika :

Aku tahu hari ini adalah hari pertamamu. Bersemangatlah! Aku baik-baik saja disini. Kata dokter besok atau lusa aku sudah bisa pulang ke rumah :)

Tanpa berniat membalas pesannya Satria langsung memasukkan kembali ponselnya dan melanjutkan apa yang sedang dikerjakannya. Ya, hanya beberapa untaian kata penyemangat dari Alika sudah mampu membuat kobaran api dalam dirinya muncul. Satria pun mulai fokus sambil memikirkan kalimat Alika. Yah, setidaknya Alika berhasil menjadi penumpu kekuatan untuk Satria.

*

Sementara itu dari tempatnya Tuan Badra terus memperhatikan gerak-gerik Satria. Walau mata dan fokusnya berada pada sejumlah kerjaan, tapi Tuan Badra juga membaginya sesekali pada Satria. Ia hanya ingin tahu sejauh mana Satria bersungguh-sungguh dengan pernikahan dan pengobatan ibunya. Dengan begini Tuan Badra bisa mendidik Satria menjadi pria lebih berguna kan? Bukan hanya berguna untuk perusahaannya dan bukan semata-mata untuk membalas Budi atas biaya yang telah dikeluarkan Tuan Badra untuk ibunya, tapi juga akan berguna untuk keluarga kecil yang nantinya akan dimiliki Satria.

Tuan Badra sekali lagi melirik Satria saat dering kecil itu berhasil menyita perhatiannya sebentar. Satria tersenyum disana lalu tak lama kembali fokus pada bukunya. Hanya dalam hitungan menit Satria sudah berubah menjadi seperti anak pintar yang rajin belajar. Bahkan wajah Satria menyiratkan kebahagiaan. Tuan Badra menghela nafasnya.

Mungkinkah putrinya sendiri yang menyebabkan Satria jadi bersemangat?

Tuan Badra merasa jika dugaannya benar. Tapi tiba-tiba ia jadi memikirkan ucapan Satria tepat sehari sebelum mereka menikah.

.

Malam ini Satria memberanikan diri untuk mendatangi Tuan Badra. Setelah tinggal di rumah besar itu beberapa hari ini, Satria baru berani menginjakkan kakinya disana. Ia juga sudah mendengar rumor bahwa ruangan itu hanya dipakai untuk diskusi berat dan sesuatu hal yang mendesak. Satria sendiri bahkan tidak tahu apakah yang akan ia katakan nanti itu termasuk ke dalam perbincangan yang serius atau bukan. Yang jelas Satria merasa jika Tuan Badra harus tahu satu hal lagi.

TOK TOK TOK

Tanpa menunggu perintah Satria langsung membuka kenop pintu yang ternyata tidak dikunci. Sepertinya calon ayah mertuanya itu masih dalam. Satria pun berjalan masuk ke dalam ruangan yang dipenuhi rak buku itu. Ruangannya cukup luas. Seperti dugaan Satria.

"Mencariku?" Suara itu membuat Satria menoleh ke balkon.

Ternyata Tuan Badra ada disana.

"Sepenting apa hal yang akan kau bicarakan padaku?" Tanya Tuan Badra tanpa menoleh sedikitpun.

Ia seperti sudah tahu jika Satria akan datang malam ini. Tuan Badra berdiri di balkon sambil kedua tangannya berpegangan pada pagar besi. Satria pun mendekat dan berakhir disebelah Tuan Badra.

"Aku tahu jika Tuan sudah mengetahui segalanya tentang hidupku semenjak masalah ibu."

Tuan Badra masih diam menunggu kelanjutan. Matanya sibuk memperhatikan kunang-kunang yang berkeluarga di kebun miliknya.

"Aku terpaksa menjual diriku, Tuan. Aku rela menjadi suami anakmu demi membalas hutang. Hanya itu saja. Tapi aku ingin Tuan tahu jika aku sudah memiliki seseorang di hatiku. Entah Tuan sudah tahu atau tidak. Tapi aku begitu mencintainya. Dia perempuan kedua yang aku cintai setelah ibu." Jelas Satria.

Tuan Badra menghela nafas lalu menatap Satria.

"Lalu? Apa itu begitu penting? Sampai-sampai kau harus membicarakan ini di ruangan agung ku." 

Satria menggeram dalam hati. Bagaimana bisa seseorang yang kaya raya menyepelekan sebuah hubungannya hanya karena ia dari keluarga miskin. Tangan Satria sudah mengepal kuat. Merasa tak terima dengan ucapan itu.

"Tentu penting. Sangat penting. Ini juga kan akan menyangkut soal putrimu. Aku bisa menjamin tidak akan menyukai Mariposa. Tapi bagaimana dengannya? Jika dia sudah mencintaiku maka itu tidak masuk dalam list pertanggungjawaban ku" ucap Satria menahan amarahnya.

"Baiklah. Kita lihat saja nanti." Jawab Tuan Badra.

*

"Ah, bau apa ini?" Gumam Marvel.

Ia baru saja keluar dari kamar Tuan Badra untuk sekedar bersih-bersih dan rapi-rapi. Marvel berniat ke kantor untuk memastikan keadaan Satria disana. Bukan hanya itu, Tuan Badra juga memang memintanya datang entah untuk apa. Tapi saat melintas di ruang makan indera penciumannya tak sengaja menangkap aroma yang lezat dari arah dapur.

Marvel berpikir mungkin saja para pembantu rumah yang sedang memasak makan siang untuk Mariposa.

Tapi sesaat rasanya Marvel ingin melihat langsung keadaan di dapur saat terdengar teriakan dan suara benda jatuh disana.

"Aduh..perih sekali!!"

"Mariposa?"

Mariposa pun menoleh dan mendapati Marvel yang berjalan ke arahnya. Marvel semakin mempercepat langkahnya saat melihat darah segar mengalir bebas di jari telunjuk Mariposa.

"Kau sedang apa?" Tanya Marvel cemas.

Mariposa meringis menahan perihnya luka akibat teriris pisau. Bodoh. Seharusnya Mariposa bisa lebih berhati-hati menggunakan pisau yang baru saja ia beli. Hanya karena kelalaiannya sebentar saja bisa berakibat fatal seperti sekarang.

"Kau..memasak?" Tanya Marvel.

Mariposa mengangguk pelan.

Mariposa tahu akan keterkejutan Marvel sekarang. Semua orang tahu jika Mariposa selama ini jarang sekali menyentuh dapur bahkan hampir tidak pernah. Bukan karena ia benci dapur atau karena tidak bisa memasak. Mariposa cukup pintar memasak dan ia suka sekali memasak. Namun semenjak Mariposa berusia tiga belas tahun, Tuan Badra tak pernah mengizinkannya menyentuh dapur lagi hanya karena hal sepele.

Hal sepele yang nyatanya terjadi lagi saat ini.

Marvel menelan ludahnya susah payah.

Kenapa harus di jari yang sama?

"K-kak Marvel.." lirih Mariposa yang nyaris saja menangis.

Mariposa menatap buah-buahan yang baru saja ia kupas berakhir di lantai dengan berantakan.

"C-cepat ambil semua buah itu sebelum lima menit!" Pekik Mariposa.

Marvel mengangguk dan segera memunguti buah-buahan yang terjatuh itu. Tak lupa ia sempat mencucinya dengan air matang. Tampaknya Mariposa tak mau menyerah. Ia tetap akan memakai buah-buahan tadi walau dengan kejadian yang kacau. Jangan sampai luka di tangannya hanyalah sia-sia.

"Mau kau apakan buah-buah ini?" Tanya Marvel.

Lelaki itu telah selesai mencuci buah tadi.

"Aku mau membawanya untuk Satria. Ah, bisa tolong ambilkan kotak obat?"

"Tentu"

Marvel langsung mengambil kotak obat. Lalu ia duduk dan mulai mengobati jari Mariposa.

Tiba-tiba Marvel meringis.

"Kenapa?" Tanya Mariposa.

"Sepertinya luka ini cukup dalam. Kau merasa ngilu?"

Mariposa mengangguk ragu.

"Sepertinya sudah mendekati tulang. Sebaiknya kau ke rumah sakit setelah ini. Biar kuantar."

"T-tidak usah! Aku mau ke kantor" cicit Mariposa.

Marvel menghela nafasnya. "Jika ayahmu sampai tahu hal ini, maka dapur akan menjadi tempat terlarang untukmu seumur hidup."

"Tapi untungnya aku berhasil memasak masakan lainnya sebelum terluka."

Mariposa menunjuk beberapa kotak bekal yang sudah berjejer rapi di meja makan. Dan ternyata aroma yang sempat Marvel cium berasal dari makanan yang Mariposa masak. Marvel cukup tergiur untuk mencicipinya. Sudah lama juga dia tidak merasakan masakan Mariposa.

"Kurasa waktu lima tahun tak membuat kemampuan masakmu hilang." Puji Marvel.

Mariposa mengangguk. Jelas ia bangga akan dirinya sendiri. Jika saja tadi matanya tidak lalai, mungkin dia berhasil menyelesaikan bekal untuk Satria dengan sempurna tanpa luka.

Marvel mengusap kepalanya lembut. Membuat Mariposa mendongak.

"Kau sangat berbakti kepada suamimu, nona. Kau harus pastikan jika 'dia' akan mencintaimu suatu hari nanti."

Tatapan mata Marvel sangat dalam dan sendu. Mariposa merasakan kehangatan disana. Entah kapan waktunya Satria akan menatapnya dengan tatapan seperti itu. Yang diberikan Satria selama ini hanyalah tatapan datar dan dingin. Tak ada perasaan disana. Mariposa pun memeluk Marvel dengan erat. Ia tak pernah malu memeluk seorang pelayan dan pengawal pribadinya. Karena sampai kapanpun Marvel tetaplah seorang kakak laki-lakinya.

"Ayo, sebentar lagi jam makan siang. aku antar kau ke kantor lalu setelah itu kita ke rumah sakit untuk memeriksa tulang jarimu." Sahut Marvel.

"Tapi kau harus bantu aku menyembunyikan luka ini ya, kak Marvel."

Marvel tersenyum lalu mengangguk.

..

~~~~