Mariposa tengah meringkuk diatas kasur. Tubuhnya masih mengenakan pakaian yang ia pakai saat ke kantor ayahnya tadi. Bahkan heels nya juga enggan ia lepaskan. Mariposa terlalu malas melakukan semua itu ketika hatinya sedang dilanda kecewa.
Siapa juga yang tidak akan kecewa ketika melihat suaminya sendiri malah memilih perempuan lain.
Ia kira Satria akan mulai belajar mencintainya dan mulai meliriknya setelah menikah. Karena pernikahan ini mau tidak mau Satria harus mencintai Mariposa sebagai istrinya begitu juga sebaliknya. Ketika pernikahan sudah terjadi maka mau tidak mau kedua insan didalamnya harus dipaksa saling mencintai seiring berjalannya waktu.
Ah, masalah waktu ya. Pernikahan mereka bahkan baru berusia dua hari.
Mariposa pun melepas heels nya dengan paksa lalu melempar tas nya asal hingga membuat jarinya terkilir.
"Aw!"
Meringis. Mariposa menatap jarinya yang terbalut perban dengan nanar. Ia lupa jika harus ke rumah sakit sepulang dari kantor tadi. Ternyata Mariposa berhasil menyembunyikan balutan perban itu dari ayahnya. Mungkin karena terlalu sibuk jadi Tuan Badra tidak begitu memperhatikan Mariposa.
"Aku bahkan memasak untuknya sampai terluka." Gumam Mariposa.
Setelah merasa bosan hanya di kamar, Mariposa pun memutuskan untuk keluar kamar. Tidak peduli apa yang akan ia lakukan nanti tanpa Satria ataupun Marvel di rumah itu. Biasanya dulu ketika bosan, Marvel akan selalu menemani Mariposa hanya untuk saling berbagi cerita baru ataupun melakukan hal yang bisa mengusir rasa bosan. Seperti berkebun contohnya. Tapi sudah lama sekali Mariposa tidak berkebun. Sejak Marvel pergi karena urusan bisnis ayahnya, Mariposa jadi tidak pernah berkebun lagi. Kini sudah ada pengurus lain yang merawat selalu tanaman di kebun kecil milik Mariposa.
Mariposa memicingkan matanya, melihat sosok laki-laki yang tengah duduk di ruang tamu sambil membaca sebuah buku. Merasa tidak asing, Mariposa pun mendekati laki-laki itu.
Dan setelah itu Mariposa merasa menyesal telah mendekat.
"Mau apa kau di rumahku?" Tanya Mariposa sewot.
Angga menyunggingkan senyuman mautnya sambil melambaikan tangan. "Hai, Mariposa. Aku datang untuk berkunjung."
"Berkunjung? Kau tahu kan jika ini masih jam kantornya ayahku. Dan sekarang ayahku tidak ada disini." Ketus Mariposa.
Angga terkekeh melihat ekspresi Mariposa yang sedang kesal dan merona merah karena marah. Tapi malah terlihat sangat menggemaskan dan lucu di matanya.
"Aku tahu. Kebetulan aku juga sedang cuti jadi.."
Angga mengambil sesuatu dari balik sofa yang ternyata adalah sebuket bunga mawar merah dan putih yang dihias sedemikian rupa cantiknya. Angga langsung menyodorkan bunga itu pada Mariposa.
"Aku sengaja mampir kesini untuk melihatmu dan memberikan bunga ini."
"Ku kira kau datang ke pernikahanku kemarin." Sinis Mariposa.
"Aku datang."
Ya, tentunya Angga datang. Mariposa sendiri juga melihat lelaki itu hadir di acara pernikahannya.
"Kalau datang itu artinya kau tahu dengan jelas bahwa aku udah menikah"
Lalu Angga tertawa. "Jadi aku tidak boleh memberikan bunga pada perempuan yang sudah menikah?" Tanya Angga dengan nada genit.
"Tidak boleh dan itu sangat diharamkan, tahu?!"
"Kenapa kau sangat membenciku sih?" Tanya Angga heran.
"Bukan urusanmu!" Jawab Mariposa dengan ketus.
Sejak mereka bertemu saat Angga diundang oleh Tuan Badra yang menyangkut acara perjodohan itu, Mariposa dengan terang-terangan menunjukkan sikap bencinya pada Angga. Padahal Angga tidak salah apa-apa. Mereka hanyalah dua insan yang pernah bermain bersama saat masih kecil. Mereka saling kenal pun karena hubungan bisnis orang tua. Angga tidaklah jelek. Bahkan Angga memiliki level ketampanan diatas rata-rata. Selain itu Angga juga berusaha bersikap sopan dan manis ketika bertemu Mariposa.
Tapi Mariposa masih membencinya.
"Jawab aku, apa aku pernah melakukan kesalahan saat kita masih kecil dulu?"
"Tidak usah sok akrab denganku! Aku mau ke kamar!"
Terlalu berlama-lama dengan Angga hanya membuat emosi Mariposa semakin naik. Entah kenapa. Padahal Angga tidak pernah melakukan sesuatu yang tidak sopan atau tidak etis pada dirinya.
Mariposa hanya benci pada sebuah fakta bahwa Angga pernah nyaris dijodohkan dengannya.
"Bagaimana kalau kita berkebun?" Tanya Angga.
Saat itu juga langkah Mariposa terhenti.
"Kalau tidak mau juga tidak masalah tapi aku tahu kau sedang bosan, nona."
Mariposa pun berbalik dan memasang wajah datar. Tepatnya berusaha datar.
"Baiklah. Aku ganti baju dulu."
~~
Sementara di tempat lain, Satria sudah kembali fokus dengan catatan-catatan mengenai saham yang Marvel berikan. Satria sudah terlalu larut dalam apa yang sedang ia baca dan ia catat sampai-sampai tidak menyadari jika Marvel memperhatikannya sejak tadi.
Marvel juga diam-diam sedang menyelidiki hubungan Satria dengan Alika. Bukan apa-apa, Marvel hanya tidak ingin Mariposa tersakiti lebih lama. Walau Marvel tahu jika Satria lebih dulu bertemu Alika dibandingkan bertemu Mariposa. Tapi tetap saja kini Satria sudah sah dengan Mariposa meksipun pernikahan mereka terpaksa.
Marvel mendelik ketika ponsel Satria yang berada diatas meja itu menyala karena sebuah pesan masuk. Marvel diam-diam mengintip nama pengirim pesan yang muncul di notifikasi. Dan rupanya Satria belum menyadari jika ada pesan masuk di ponselnya. Atau mungkin Satria hanya ingin mengabaikannya saja dan lebih memilih fokus.
Alika : aku sudah sampai. Jangan lup..
Sial. Pesannya panjang jadi terpotong.
"Aku sudah membaca bagian ini dan sudah mulai aku pahami. Tapi bisakah kau jelaskan lebih rinci?" Tanya Satria tiba-tiba.
Marvel langsung mendongak dan berdehem. Tiba-tiba Marvel merasa seperti ketahuan basah dan jadi salah tingkah. Padahal Satria tampak biasa saja.
"Ah, ya. Yang mana?"
Lalu ponsel Satria kembali menyala. Kali ini ponsel itu berdering, menandakan ada telpon masuk. Kedua lelaki itu pun langsung melirik benda pipih itu. Satria langsung mengambil ponselnya dan pergi keluar ruangan. Tak mengindahkan Marvel yang berusaha memanggil namanya.
Marvel juga sempat membaca nama orang yang menelpon Satria. Melihat reaksi Satria saat mendapat panggilan membuat Marvel menggeram kesal.
"Sial! Tidak cukup kah mereka bertemu barusan?" Gumam Marvel.
Mariposa.
Seketika Marvel mengingat nama itu. Bahkan Marvel merutuki dirinya sendiri karena melupakan janjinya dengan Mariposa yang akan ke rumah sakit. Marvel terpaksa melupakan Mariposa karena Tuan Badra meminta bantuannya soal pekerjaan kantor yang akhir-akhir ini sedang menumpuk. Bahkan Marvel baru saja mengetahui jika Mariposa pulang bersama supir ayahnya itupun melalui Pijar.
Marvel langsung saja bergegas menelpon gadis itu.
Marvel tersenyum kecil saat gadis itu langsung mengangkat telponnya.
"Mariposa, kau di rumah kan?"
"Iya, ada apa Marvel?"
Marvel menghela nafas. "Tidak. Maaf sudah meninggalkanmu. Harusnya kita ke rumah sakit."
Lalu Mariposa terkekeh di telpon. "Tidak apa, kakak ku tersayang! Oh ya, aku sedang berkebun dengan Angga. Nanti lagi ya."
"Apa? Angga? Bagaimana bi-"
Tuttt tuttt
Sial. Mariposa telah menutup sambungan telponnya. Marvel pun berdecak. Tiba-tiba perasaan khawatir menyeruak begitu saja saat tahu kalau Angga ada di rumah. Marvel bukanya tidak percaya pada lelaki yang berbobot seperti Angga. Hanya saja Marvel takut jika Angga akan memaksakan sesuatu hal pada Mariposa yang jelas tidak pernah menyukai kehadiran Angga. Meskipun Marvel tahu jika saat kecil, Mariposa dan Angga adalah teman bermain bersama.
Tapi begitu melihat Satria yang baru masuk dengan seulas senyuman diwajahnya, membuat Marvel bisa sedikit tenang. Karena setidaknya kehadiran Angga bisa membuat Mariposa melupakan sejenak kejadian yang baru saja terjadi.
Ya, semoga saja Angga bisa sedikit menghibur Mariposa yang sedang patah hati.
"Sepertinya senang sekali. Dapat telpon dari kekasih ya?" Cibir Marvel.
Satria hanya melirik sekilas lalu kembali membuka halaman bukunya.
"Hm." Jawabnya singkat.
"Kau sudah punya istri jadi sebaiknya lebih jaga sikap." Marvel memperingati.
"Tidak usah ikut campur. Kau itu hanya pengawalnya Mariposa. Walau kalian dekat seperti kakak adik, bukan berarti kau bisa mengurusi kehidupannya." Ucap Satria penuh penekanan.
Marvel tersenyum sinis.
"Aku tidak akan mencampuri urusan kalian jika kau bisa sendiri bisa jaga sikap." Balas Marvel tak kalah ketus.
"Kau itu kenapa sih? Jika kau menyukai Mariposa kenapa tidak kau saja yang menikah dengannya? Aku bahkan tidak ikhlas dengan pernikahan ini."
BRAK
Satria hanya tersenyum sinis saat Marvel menggebrak meja. Membuat sebagian kertas yang ada diatas meja berhamburan ke bawah. Tuan Badra yang fokusnya terganggu pun menoleh.
"Kau harusnya bersyukur karena dengan adanya pernikahan ini, ibumu masih bisa hidup!" Sinis Marvel.
Satria yang merasa tidak terima dengan ucapan itu pun langsung bangkit dan menarik kerah kemeja Marvel. Ia bahkan tidak peduli jika Tuan Badra akan melihatnya. Terserah. Yang terpenting, tidak ada yang boleh mengatai sesuatu tentang orang tuanya apalagi menyangkut nyawa.
"Kau bukan Tuhan yang bisa seenaknya berkata tentang nyawa manusia." Geram Satria.
"Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Lagipula kau sendiri yang menyerahkan dirimu sepenuhnya. Seharusnya sekarang Mariposa sudah bersama Angga yang lebih layak bersanding dengannya!"
Satria semakin mengencangkan cengkraman tangannya. "Kalau begitu kenapa kalian memilihku? Kenapa?! Kenapa tidak langsung nikahi mereka berdua saja dan kenapa harus ada aku disini?!" Teriak Satria.
Habis susah kesabaran Satria saat itu juga. Tidak ada yang boleh mengusik hubungannya dengan Alika. Siapapun itu. Karena hanya Alika lah satu-satunya perempuan yang ia cintai dan paling mengerti Satria. Bahkan jika itu harus sampai mempertaruhkan nyawa pun, Satria hanya rela mengorbankan nyawa nya untuk Alika. Bukan untuk Mariposa yang sebagai istri sah nya.
Marvel balas mencengkram kerah kemeja Satria. Ditatapnya Satria dengan tajam menusuk. Sungguh, jika bukan karena Mariposa yang meminta dan menginginkan Satria pun Marvel tidak akan membiarkan pernikahan ini terjadi. Apalagi ketika tahu jika Satria hanyalah lelaki biasa yang pengangguran dan tak memiliki kemampuan. Walau Angga termasuk lelaki yang agresif, Marvel lebih memilih Angga daripada Satria untuk bersanding dengan Mariposa. Dan jika saja bukan karena Mariposa mencintai Satria, Marvel sudah menghabisi lelaki didepannya itu saat itu juga.
"Kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi." Tekan Marvel.
"Jika aku tahu, aku tetap tidak akan peduli. Karena kalian hanyalah orang kaya yang sok berkuasa dengan uang!" Balas Satria.
"Jika ingin berkelahi lebih baik keluar dari ruangan ku sekarang juga!" Suara tegas itu menginterupsi.
Satria dan Marvel langsung melepaskan cengkraman tangan mereka lalu kembali duduk. Tuan Badra tentunya mendengar hal apa yang tengah mereka ributkan termasuk ucapan Satria. Sebagai ayah Mariposa, Tuan Badra tidak marah mendengar hal jika Satria tidak sungguh-sungguh dalam pernikahannya. Karena memang benar, Tuan Badra sengaja memancing Satria untuk menikah dengan iming-iming biaya pengobatan Yuni. Lagipula memangnya Tuan Badra harus berbuat apa?
Hati manusia tidak bisa dipaksakan bukan? Walaupun Tuan Badra adalah orang yang pemaksa.
Tapi soal urusan kehidupan rumah tangga Mariposa, biarlah mengalir seperti air.
Tuan Badra juga akan menyelidiki soal Alika diam-diam.
"Marvel." Panggil Tuan Badra.
Marvel langsung bangkit dari tempatnya sambil terus menatap tajam Satria.
"Iya Tuan?"
"Buatkan aku kopi. Bawakan juga untuk Satria."
~~
"Sini, biar aku yang menyiram." Sahut Mariposa sambil mengambil alih selang air dari tangan Angga.
Mereka baru saja berhasil memupuk bibir tanaman cabai dan bawang. Entah untuk apa nantinya. Yang jelas Mariposa sudah lama tidak merasakan hawa kebun dan berkebun seperti ini. Angga juga sempat menanami bunga mawar yang tadi ia bawa dan beberapa bibit tanaman lainnya. Angga tersenyum saat melihat kebun kecil bunga mawar yang dulu sempat menjadi tempat mereka bermain pun masih ada.
"Semenjak kak Marvel pergi aku tidak pernah ke kebun lagi. Seperti kehilangan teman. Jadi ayah menyuruh salah satu pelayan rumah untuk mengurusnya." Sahut Mariposa saat tahu kemana arah pandang Angga.
Dan tentunya Mariposa tahu apa yang ada dipikiran Angga saat lelaki itu tersenyum.
"Ohh. Ku kira kau yang merawat mereka."
"Bukan. Aku bahkan baru berkebun lagi hari ini."
Angga mengangguk. Lalu dia menatap Mariposa intens. Sorot mata Mariposa tampak lelah dan sedih. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan gadis itu. Kenapa? Karena tak biasanya Mariposa mau menerima ajakan Angga bahkan bicara sepanjang itu.
"Mariposa." Angga menyentuh bahu Mariposa.
"Kenapa?"
Angga mengulas senyum. "Aku memang menyukaimu. Bahkan dari kecil aku akui jika aku sudah tertarik padamu saat itu. Sangat mustahil ketika ayahmu memintaku untuk menikah denganmu." Jelas Angga.
Mariposa hanya menautkan alisnya. Bingung. Kemana arah pembicaraan Angga yang tiba-tiba itu. Apalagi Angga sedang terang-terangan membahas soal perasaannya.
"Tapi melihatmu yang begitu ingin bersama dengan pria itu, membuatku mengerti arti mengalah. Selama hidupku, aku tidak pernah mengalah. Kau tahu dengan jelas jika aku anak satu-satunya. Aku dibiasakan manja dan egois sejak kecil. Aku selalu mendapatkan apa yang aku inginkan walau dengan paksaan."
Mariposa mengangguk paham.
"Lalu? Apa maksudmu bicara seperti itu?" Tanya Mariposa.
"Entah kenapa saat itu aku tidak bisa memaksakan kehendakku. Aku tidak bisa memaksamu dan ayahmu untuk tetap menikah denganmu. Aku seperti tidak punya kekuatan saat melihat kau tersenyum bahagia dengan Satria. Apalagi kau rela bunuh diri didepan ayahmu sendiri hanya demi Satria."
Mariposa terdiam.
"Aku seperti kehilangan diriku yang biasanya. Diriku yang pemaksa dan egois. Aku tidak bisa memaksamu untuk menikah denganmu hanya karena melihatmu tersenyum bahagia dengannya."
Kini tatapan Angga begitu sendu dan sayu. Angga seperti menunjukkan pada Mariposa kalau hatinya sangat tersayat perih. Mariposa mencoba mengerti perasaan Angga saat ini.
"Terimakasih sudah merelakanku. Kau adalah teman paling baik yang pernah aku kenal. Meskipun aku sedikit membencimu sekarang." Mariposa mengusap bahu Angga.
Angga pun terkekeh pelan.
"Kau membenciku karena aku lebih tampan dari suamimu itu?"
Mariposa langsung menggeleng sambil memanyunkan bibirnya. "Suamiku lebih tampan darimu!"
"Tapi aku masih bisa dekat denganmu kan meskipun kau sudah jadi istri orang?" Tanya Angga dengan wajah serius.
Mariposa berpikir sejenak. Sebenarnya tidak masalah. Tapi Mariposa masih benci pada kenyataan jika Angga pernah nyaris menjadi suaminya. Mariposa tidak suka menikah dengan teman atau sahabat sendiri. Karena Mariposa tidak ingin kehilangan seorang teman atau sahabat hanya demi menjadikannya seorang suami.
"Ummm, tidak masalah. Asal jangan terlalu dekat karena takut Satria marah."
Mendengar jawaban itu, Angga tertawa kecil. Mariposa tampaknya sangat memikirkan perasaan Satria. Padahal yang Angga tahu, pernikahan mereka itu terpaksa. Walau tidak ada bedanya jika Angga yang menikahi Mariposa. Tapi setidaknya, ia dan Mariposa sudah saling mengenal sejak kecil. Dan ada Angga yang mencintai Mariposa.
"Jika aku yang jadi suamimu, apa kau juga memikirkan perasaanku?" Tanya Angga.
Mariposa langsung memasang wajah masam.
"Apa sih! Tidak usah bertanya yang tidak-tidak!"
Angga kembali terkekeh.
"Tapi.. terimakasih ya Angga sudah menemani ku dan menghibur ku." Ucap Mariposa tulus.
"Aku senang, Mariposa. Kalau ada sesuatu, jangan ragu untuk mengatakannya padaku."
Mariposa mengangguk dengan ragu. Ternyata walau sudah dibenci olehnya, Angga masih saja peduli. Sedalam itukah cinta Angga padanya?
Jika saja Mariposa menikah dengan Angga, mungkin sekarang dirinya telah bahagia karena dicintai oleh suami sendiri. Tapi bagaimanapun juga Mariposa tetap akan bersikeras membuat Satria mencintainya.
"Mariposa." Panggil Angga.
Mariposa menoleh.
"Terimakasih ya sudah mau akur denganku lagi." Angga tersenyum lebar sampai menampilkan gigi-gigi putihnya.
Mariposa hanya mengangguk. Sesenang itu kah Angga bisa kembali berteman dengan Mariposa?
"Mariposa!" Kali ini Angga setengah berteriak.
"Apa?"
Byurrrr
~~