Satria kembali pada malam hari. Entah kenapa bisa ia pulang selarut itu padahal seharian ia hanya di rumah sakit menemani Alika. Cinta membuat mereka lupa waktu. Satria masuk ke kamarnya dan mendapati kamarnya gelap. Hanya ada cahaya bulan yang samar-samar menerangi istrinya yang terlelap melalui pintu balkon yang terbuka lebar. Angin dari luar masuk cukup kencang ke dalam kamar membuat Mariposa sedikit gelisah dalam tidurnya dan semakin mempererat pelukannya pada selimut. Satria yang melihatnya pun mendecih.
Untuk apa juga membuka pintu balkon jika gadis itu kedinginan.
Satria pun menyalakan lampu kamar. Tak peduli jika Mariposa akan terusik dari tidurnya karena silau lampu. Lalu ia segera menutup balkon dengan rapat. Bukan apa-apa, Satria hanya tidak mau ia masuk angin hanya karena tidur dengan angin dari luar. Satria pun duduk di sofa lalu memperhatikan Mariposa yang tampaknya tak terusik dengan lampu yang ia nyalakan. Lagi, Mariposa tidur mengenakan gaun tidur yang sangat terbuka. Tapi Satria hanya menatapnya biasa saja seolah tidak tertarik sama sekali. Satria memang tidak tertarik pada Mariposa.
"Jika saja Alika yang memakai baju itu, mungkin riwayat hidupnya sudah tamat sejak kemarin." Gumam Satria.
Hanya keisengan sendiri.
Kemudian Satria memutuskan untuk mandi. Badannya terasa lengket juga seharian ini padahal ia tidak melakukan apa-apa selain berada di kamar rawat Alika yang ber-AC.
Setelah dirasa sudah segar Satria mengganti pakaiannya dengan kaos hitam polos dengan celana pendek. Baju favorit Satria untuk tidur. Semenjak menikah, keluarga Parviz membelikannya banyak baju. Kini Satria sudah lepas dari celana training dan kaus lusuhnya. Semua pakaiannya bahkan yang ada di lemari pun sudah diganti baru.
"Sudah pulang?" Suara serak Mariposa membuat Satria menoleh sebentar.
"Hm"
"Sudah makan?" Tanya Mariposa sambil mengucak matanya.
Rambut Mariposa yang berantakan dan suaranya yang serak menambah kesan seksi untuk pakaiannya. Tapi sayangnya Satria tidak memandang semua itu.
"Sudah." jawab Satria singkat.
Mariposa pun memanyunkan bibirnya.
"Padahal aku menunggumu pulang biar makan bersama." Gumam Mariposa yang tak didengar Satria.
Satria pun duduk di sofa dan mulai sibuk dengan ponselnya. Mariposa masih stay diatas kasur.
"Temani aku makan, Sat." Sahut Mariposa yang terdengar seperti merengek.
"Ck. Memang kau belum makan malam?" Tanya Satria dengan wajah malasnya.
Mariposa pun menggeleng.
"Aku menunggumu pulang. Ku kira tidak akan selama itu."
Terdengar helaan nafas dari Satria. Lelaki itu akhirnya bangkit dan berjalan menuju pintu.
"Cepat makan."
Setelahnya Satria menghilang dari balik pintu. Mariposa pun langsung meloncat dari kasurnya dan memekik kegirangan. Tidak ia sangka Satria akan menemaninya makan padahal itu kan sudah seperti kewajiban seorang suami untuk menjamin istrinya makan dan sehat selalu. Melihat wajah jengah Satria tadi Mariposa jadi menduga jika suaminya itu akan menolak permintaannya. Tapi nyatanya ia salah.
Dengan segera Mariposa merapikan rambutnya lalu turun ke bawah menyusul Satria.
~~
Hening. Hanya ada suara dentingan sendok dan piring. Mariposa sibuk dengan makanannya. Untung saja pembantu di rumahnya sempat menyediakan makanan untuk Mariposa dan Satria. Itupun karena Tuan Badra yang meminta karena tahu bahwa putri dan menantunya tidak ikut makan malam. Tapi nyatanya Satria sudah makan. Jadilah Mariposa menghabiskan dua porsi sendiri.
"Ternyata kau makan banyak juga" sahut Satria yang tidak percaya dengan porsi makan Mariposa saat ini.
Seharusnya itu jatah milik Satria. Tapi ia sudah kenyang dan malas untuk mengunyah lagi. Terlebih, Satria malas jika harus sikat gigi lagi.
"Benar tidak mau?" Mariposa menyodorkan sesendok nasi beserta lauk pauknya ke Satria.
Satria menggeleng. "Tidak."
"Padahal enak."
Mariposa menyuapi sendok ke dalam mulitnya. Ia kembali sibuk makan. Satria pun kembali sibuk dengan ponsel barunya. Ternyata Alika sudah tidur sehingga tidak membalas pesan darinya.
"Satria." Panggil Mariposa.
"Hm?"
"Boleh tidak aku memanggilmu dengan sebutan 'mas'?"
Satria terkejut dengan permintaan itu. Kenapa juga Mariposa harus menanyakan itu dengan tiba-tiba.
"Kau kenapa?"
"Aku hanya ingin saja. Agar kita lebih dekat." Ucap Mariposa sambil menunduk malu.
"Memang ada apa dengan sebutan itu?"
"Tidak ada apa-apa kok. Aku hanya ingin, Sat."
Satria menghela nafasnya. "Tidak mau."
Mariposa langsung meletakkan sendoknya.
"Ayolah, aku ingin. Boleh saja ya? Kumohon, Sat."
Mariposa memasang raut memohonnya.
"Cih, untuk apa sih kau memohon segala? Kalau kau memaksa lalu kenapa bertanya sejak awal?" Protes Satria.
Entah kenapa setiap mengobrol dengan Mariposa, Satria suka tersulut emosi. Baginya Mariposa itu menyebalkan dan menjengkelkan.
"Aku mau bicara." Kata Satria.
Tepat saat itu juga, Mariposa menyelesaikan makannya. Piringnya sudah habis bersih. Ia pun meraih segelas air putih yang ada didepannya.
"Bicara saja." Titah Mariposa.
"Walau kita sudah menikah tapi jangan bersikap seperti itu. Jangan bersikap seolah kita memang menikah dengan nyata." Jelas Satria dengan mantap.
"Maksudmu?" Tanya Mariposa yang tak mengerti.
"Maksudku, kita tidak perlu harus dan merasa sedekat yang kau bayangkan. Ingat, pernikahan ini cuma karena paksaan. Ayahmu hanya membeli ku dan membayarnya dengan biaya pengobatan ibuku. Dan mungkin dia juga memberiku bonus dengan adanya kau."
Mariposa menatap Satria tidak percaya. Ia mulai merasa terpancing dengan ucapan Satria barusan. Bonus katanya?
Mariposa bukan bonus.
"Bonus? Aku bukan bonus disini! Tapi aku-"
"Tapi aku disini untuk dibeli, bukan sebagai seorang suami. Ingat itu baik-baik." Potong Satria dengan cepat.
Mariposa mengepalkan kedua tangannya diatas meja. Ia merasa geram dan tak terima disebut sebagai bonus padahal dialah yang menyebabkan semua ini terjadi. Padahal Mariposa lah yang memilih Satria dan merengek pada Tuan Badra agar bisa menikahi Satria. Mariposa bahkan meminta ayahnya mencari tahu tentang Satria dan memaksakan Satria tuk menjadi suaminya. Tapi ternyata Satria menganggap jika pernikahan mereka hanyalah bayaran untuk biaya pengobatan ibunya?
Mariposa ingin sekali marah dan menjelaskan semua yang terjadi pada Satria. Namun ia tidak boleh bertindak gegabah. Bagaimanapun juga apa yang dikatakan Satria ada benarnya. Satria hanya dibeli oleh ayahnya untuk dirinya. Tapi bukan berarti Satria bisa berkata seperti itu padanya bukan?
"Sudah selesai kan?" Tanya Satria.
Tanpa menunggu jawaban istrinya, Satria melenggang pergi begitu saja. Mariposa masih diam di tempat mencerna kalimat Satria tadi.
"Walaupun begitu aku akan tetap membantumu betah tinggal disini Mas."
~~
Satria menuruni anak tangga dengan santai. Keadaan rumah pun sudah mulai ramai dengan para pekerja yang sibuk merapikan dan membersihkan rumah. Satria diam-diam memperhatikan satu persatu orang yang membersihkan rumah. Ada yang menyapu lantai,membersihkan debu di jendela,membersihkan debu di ventilasi,membersihkan guci dan pajangan rumah, bahkan sampai ada yang membersihkan batu-batu kecil di pinggir kolam dekat ruang tamu. Bagi Satria itu seperti pekerjaan yang membosankan karena harus memperhatikan batu sekecil itu satu persatu hanya untuk memastikan tidak ada debu pada batu itu.
Sebenarnya Tuan Badra kelebihan pegawai atau bagaimana?
Yang jelas, yang Satria lihat tidak ada satupun pegawai rumah yang menganggur. Semuanya bekerja keras.
Dan baru Satria sadari jika rumah di kota lebih luas daripada rumah di desa. Semalam Satria pulang dijemput oleh supir pribadi Mariposa. Dan karena pulang malam Satria merasa lelah jadi tidak sempat melihat-lihat bagaimana luasnya rumah barunya di kota. Padahal Satria sudah menganggap rumah yang di desa itu sebuah istana karena besar dan megah. Bahkan Satria baru melihat rumah sebesar itu dalam hidupnya. Anggap saja ia kampungan.
Dan ternyata masih rumah yang lebih besar dan lebih indah lagi dari rumah di desa. Satria tak pernah membayangkan itu.
"Selamat pagi, Tuan." Sapa seorang pelayan wanita yang sudah memiliki keriput.
"Ah, selamat pagi." Jawab Satria ragu.
Wanita itu pun tersenyum "saya kepala pembantu di rumah ini, Tuan. Perkenalkan nama saya Murni. Panggil saja Bi Murni ya, Tuan."
Satria tercengang dengan keramahan Bi Murni. Bahkan Bi Murni masih terlihat gagah diusianya yang tak lagi muda.
"Iya, Bi-Murni." Panggil Satria terbata-bata.
Entah kenapa rasanya aneh bagi Satria jika harus memanggil orang dengan panggilan yang rendah atau contohnya saja seperti ia menyuruh pelayan rumah. Satria akan merasa tidak enak dan akhirnya memutuskan melakukan semuanya sendiri. Satria belum terbiasa menjadi orang kaya.
"Gak apa-apa, Tuan. Nanti juga terbiasa." Kata Bi Murni sambil terkekeh.
"Ah, iya. Panggil saja Satria, Bi. Aku tidak suka dengan panggilan 'Tuan'."
Bi Murni tersenyum hangat.
"Mari, Tuan Badra sudah menunggu anda di ruang makan."
Satria pun berjalan menuju ruang makan. Karena mengerti Satria yang belum hafal semua ruangan di rumah itu, Bi Murni pun menuntut Satria. Dan benar saja, ayah mertua Satria sudah duduk disana dengan secangkir kopi sambil membaca koran.
"Ekhem." Satria berdehem.
Tuan Badra hanya meliriknya sebentar lalu kembali fokus pada koran.
"Mana Mariposa?" Tanya Tuan Badra.
"Masih bersiap sepertinya."
"Setelah sarapan segeralah bersiap untuk ke kantor." Sahut Tuan Badra lalu menyeruput kopinya.
Satria pun bingung. Untuk apa ia ke kantor. Sejak kapan juga ia bekerja di kantor. Dia kan hanya pengangguran.
"Mulai hari ini kau akan belajar kerja di perusahaan. Usiamu sudah seharusnya punya kehidupan yang mapan. Kau harus bisa memimpin perusahaan nantinya. Anggap saja sebagai bayaran atas biaya rumah sakit." Jelas Tuan Badra.
Satria tertegun. Jadi inikah perjuangannya untuk sang ibu? Selama ini kan Satria tidak pernah melakukan apa-apa untuk orang tuanya. Tapi Satria kira pernikahannya kemarin itu cukup untuknya melakukan suatu hal demi orang tuanya. Tapi nyatanya pernikahan itu belum apa-apa. Satria merasa jika Tuan Badra sudah memintanya melakukan hal yang berat.
Ketahuilah bahwa sesungguhnya selain tidak berkemampuan, Satria juga seorang yang pemalas.
"Tapi aku harus menengok ibuku ke rumah sakit." Kata Satria.
Tuan Badra tersenyum sinis.
"Ibumu tidak akan kemana-mana, Satria. Kau harus berhasil menjadi orang yang berguna. Karena semua yang telah terjadi akan dipertanggungjawabkan oleh hasil kerjamu."
Satria diam.
"Nanti akan ada satu proyek besar dimana kau harus ikut andil di dalamnya. Bukan hanya itu, kau juga akan menjadi penanggung jawab proyek itu. Dan proyek itu harus berhasil tanpa lecet sedikitpun. Jika gagal-"
"Wah, kalian belum mulai kan? Jahat sekali makan duluan."
Tuan Badra menahan rasa kesalnya. Ia tidak suka ada yang memotong ucapannya. Apalagi ketika ia sedang menjelaskan sesuatu hal yang penting. Mariposa dengan wajah polosnya duduk disamping Satria lalu langsung menyendokkan nasi ke piring Satria.
"Makan yang banyak Mas."
Mariposa tersenyum manis pada Satria. Gadis hanya melirik Tuan Badra sebentar lalu kembali menyendokkan nasi untuknya sendiri.
"Hey, aku sudah bilang tidak setuju dengan panggilan itu." Protes Satria.
"Sudah makan saja, Mas. Kurasa ayah bisa menunda pembicaraan seriusnya hingga Satria selesai makan." Mariposa menatap datar Tuan Badra.
Mariposa pun menatap Satria yang sedang makan. Dalam hati ia bersyukur karena telah menyelamatkan Satria dari pembicaraan berat ayahnya. Walau Mariposa tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, tapi melihat raut wajah Tuan Badra yang tampak menyeramkan baginya sudah dipastikan obrolan mereka membuat mental Satria sedikit menurun. Mariposa hanya tidak ingin Satria tidak betah tinggal di rumahnya karena sang ayah. Mariposa harus terlihat menyenangkan bagaimanapun caranya agar Satria dapat jatuh cinta dengan mudah.
Tapi jika mengingat malam pertama mereka, sepertinya Satria sama sekali tidak tergoda bagaimanapun penampilan Mariposa. Entah karena iman lelaki itu kuat atau memang Satria tidak tertarik.
Mariposa hanya merasa jika hati Satria masih sangat misteri.
~~
Ceklek
Satria hanya melirik sebentar saat pintu kamarnya terbuka lalu tak lama ditutup kembali. Seseorang berjalan di belakangnya dan berhenti saat tepat dibelakang punggungnya. Satria hanya fokus ke cermin dan merapikan pakaiannya. Satria mendecih saat ia tak melihat siapapun di cermin selain dirinya. Sekecil itukah Mariposa?
"Mas.." panggil Mariposa.
"Hm?"
Okay. Mariposa sedikit senang karena setidaknya Satria tidak mengomel lagi dengan panggilannya.
Mariposa pun mendesah pelan. "Jangan pergi."
Satria menaikkan sebelah alisnya lalu berbalik menatap istrinya yang memang sangat mungil.
"Ayahmu yang menyuruhku." Kata Satria.
"Tapi kurasa ini terlalu cepat. Kita bahkan belum menikmati kehidupan kita setelah menikah"
"Mariposa, aku sudah mengatakannya semalam bukan?"
"Tapi, Mas, aku juga ingin punya kehidupan pernikahan seperti yang lainnya." Bela Mariposa.
Satria tertawa sinis. "Seperti yang lainnya? Coba pikir, orang lain menikah karena cinta. Tapi kita? Bahkan tak pernah terpikirkan ada pernikahan seperti ini, Mariposa."
"Tapi ketiga kakakku menikah karena dijodohkan juga." Ucap Mariposa sambil matanya berkaca-kaca.
"Terserah, aku harus segera pergi."
"Mas-"
Ucapan Mariposa terhenti saat Satria menggunakan tangannya untuk memberi kode pada Mariposa untuk berhenti.
"Bisakah kau biarkan aku pergi? Ini semua demi ibuku. Kau tahu itu kan?"
Mariposa hanya diam menatap Satria dengan sedih.
"Selain itu kita juga berbeda, Mariposa. Kau tidak pantas untukku dan begitu juga sebaliknya."
Mariposa sudah tidak dapat membendung lagi rasa kecewanya. Kini ia menunjukkannya secara terang-terangan. Tapi seperti biasanya, Satria hanya bersikap tidak peduli. Satria sibuk berkaca dengan kemeja dan celana bahannya. Walau hanya dengan pakaian seperti itu, Satria sudah sempurna di mata Mariposa. Tapi sayang, lelaki itu tak pernah tahu seberapa sempurnanya ia di mata Mariposa.
"Aku kecewa, Mas." Gumam Mariposa.
Satria tentunya masih bisa mendengar itu karena Mariposa tepat berada dibelakangnya. Satria hendak berbalik untuk melihat keadaan Mariposa namun ia keburu merasa ada tangannya yang melingkari perutnya.
Mariposa memeluknya. Seketika Satria jadi tegang dan menegakkan bahunya.
"Mariposa." Panggil Satria.
Namun hanya isak tangis yang menjawab.
Satria pun memejamkan matanya sebentar lalu menghela nafasnya.
"Kau ini kenapa?" Tanya Satria yang heran dengan istrinya.
Mariposa begitu menjengkelkan di matanya. Tak peduli seberapa banyak harta yang dimiliki gadis itu dan tak peduli seberapa cantik parasnya, Mariposa hanyalah seorang yang pemaksa dan manja di mata Satria.
"Aku hanya mau bilang sesuatu." Sahut Mariposa.
"Apa? Katakan saja."
Mariposa tidak langsung menjawabnya. Mereka terdiam sejenak. Dan Satria masih kaku berada dipelukan Mariposa.
Jujur saja, ini pertama kalinya Satria dipeluk oleh istrinya sendiri semenjak mereka menikah. Dan rasanya sangat aneh.
"Mariposa, cepatlah. Ayahmu tak bisa menunggu." Kesal Satria.
Mariposa pun melepaskan pelukannya lalu menarik lengan Satria agar berbalik badan. Satria pun menurut. Mariposa menatapnya begitu dalam dan penuh kasih sayang.
Gadis itu tersenyum. "Karena ayahku orangnya kejam.."
Mariposa pun memejamkan matanya sejenak lalu kembali berucap.
"Semangat Satria!"
Cup
.
Bersambung..