Chereads / Trouble Marriage / Chapter 7 - Penentuan

Chapter 7 - Penentuan

Mariposa menatap ayahnya gelisah. Hari ini adalah hari penentuan calon suaminya. Mariposa sudah cantik dandan mengenakan dress nya. Ia bahkan menggulung rambutnya agar terlihat lebih rapi dan anggun. Tapi ayahnya sudah merusak suasana dengan mengundang Angga ke rumahnya. Dan sialnya, Angga tampak rapi dengan setelan jasnya. Mereka sudah serasi dan tampak akan bertunangan hari ini.

Angga duduk disebrang dan tak berhenti menatap Mariposa dengan takjub seperti melihat bidadari nyasar ke bumi. Tepatnya nyasar ke rumah Tuan Badra.

Sialnya, bagaimana bisa orang sekejam Tuan Badra Parvis bisa menghasilkan anak secantik Mariposa?

"Kenapa ayah mengundang dia kesini?" Mariposa mulai protes.

"Dia kan juga salah satu kandidat calon suamimu."

"Tidak! Aku tidak mau! Calon suamiku hanya Satria!" Pekik Mariposa frustasi.

Angga terkekeh mendengarnya. Tentunya Angga juga sudah mencari tahu siapa dan bagaimana sosok Satria sebagai saingannya.

"Sepertinya Mariposa lebih menyukai Satria daripada aku." Sahut Angga yang pura-pura terlihat sedih.

Mariposa mencibir melihat raut wajah buatan itu. Angga sungguh menggelikan untuknya. Tuan Badra terkekeh.

"Tentu. Dia tak pernah menyukai sesuatu yang dipilihkan oleh ayahnya." Balas Tuan Badra sambil menyeruput kopinya.

"Padahal pilihan seorang ayah itu tak pernah salah dan selalu bagus." Angga menyetujui.

Mariposa semakin menatap Angga tak suka. Gadis itu terang-terangan menunjukkan ketidaksukaan pada tamu kesayangan sang ayah. Tapi untungnya kali ini ayahnya tidak protes atau tidak menyuruhnya memperhatikan sikap terhadap tamu.

"Memang benar, tapi belum tentu putriku bahagia dengan sesuatu yang benar." Celetuk Tuan Badra bertujuan membalas kalimat Angga tadi.

Angga tertawa canggung. Mariposa semakin gusar dan rasanya ingin merusak tatanan rambutnya sendiri. Bagaimana bisa Satria belum datang sedangkan dirinya sudah dandan dan menyiapkan segalanya dari jauh hari? Sungguh calon suami yang kejam. Hari semakin siang dan Satria belum juga menunjukkan batang hidungnya. Mariposa tahu jika semakin lama Satria tak datang, maka semakin besar pula peluang untuk Angga. Sial. Bahkan ayahnya hanya diam saja tak mencari atau bahkan mencemaskan Satria.

"Tuan, bagaimana kalau kita mempercepat keputusannya? Ada beberapa acara penting yang harus saya hadiri setelah ini. Belum lagi ayah saya sedang menunggu di rumah untuk pergi bersama saya." Sahut Angga memecah keheningan.

Tuan Badra menoleh pada Angga dan Mariposa secara bergantian. Lalu pria itu menganggukkan kepalanya seraya meletakkan cangkir kopi.

"Baiklah kalau begitu."

"Tunggu! T-tidak bisa begitu, Ayah tidak bisa memutuskan jika kandidatnya belum hadir semua!" Elak Mariposa.

Mariposa pun menatap Angga dengan tajam. Berani sekali lelaki itu menghasut ayahnya dengan kalimat seperti itu. Sementara disebrang sana Angga tersenyum sinis dan penuh kemenangan. Mariposa tidak bisa membiarkan lelaki itu berhasil memenangkannya kali ini. Lagipula Mariposa hanya ingin Satria menjadi suaminya. Tentunya ia tidak bisa diam saja dengan semua ini. Mariposa harus bertindak.

"Baiklah, ayo kita putuskan secepatnya." Kata Tuan Badra menginterupsi.

Jantung Mariposa rasanya mau copot.

"Tidak, Ayah! Kita tunggu sampai Satria datang!"

"Tidak bisa. Memangnya jika kita menunggu sampai malam pun, dia sudah pasti akan datang?" Balas Tuan Badra yang begitu menohok.

"Aku tidak suka dengan Angga, yah! Aku mau Satria jadi suamiku, bukan Angga!"

"Mariposa, disini yang punya waktu bukan cuma dirimu. Kau tidak dengar barusan Angga bilang apa?"

Mariposa mendesis ke arah Angga yang sudah berani mempengaruhi ayahnya. Bagaimanapun juga ia tidak bisa menikah dengan Angga. Apapun caranya Satria harus datang untuk dinikahinya.

"Tidak! Aku hanya mau Satria! Pokoknya aku mau menikah dengan Satria!!" Pekik Mariposa yang berhasil membuat emosi Tuan Badra naik.

"Ayah lah yang berhak memutuskan! Sejak kapan kau jadi pembangkang seperti ini?! Sejak bergaul dengan lelaki itu ya? Ayah tidak setuju!" Bentak Tuan Badra.

"Ayah tidak usah sok tahu tentang diriku jika ayah saja sudah membuangku ke tempat ini! Daripada menikah dengan Angga lebih baik aku mati!" Pekik Mariposa.

Tuan Badra sedikit tertegun dengan ancaman itu. Apalagi mata Mariposa yang berkaca-kaca saat mengatakannya. Sebegitu cintanya kah Mariposa pada Satria?

Tapi Tuan Badra tak akan langsung luluh dengan mudahnya hanya karena ancaman semata. Ia lanjut menatap putri bungsunya tajam. Mariposa memang keras kepala sejaak kecil. Tidak seperti kakak-kakaknya yang penurut. Dinikahkan dengan lelaki asing pun mau. Entah suka atau tak suka, para kakaknya tetap melakukan apa yang sang ayah perintahkan. Karena Tuan Badra adalah raja di rumahnya. Tentu tidak ada yang bisa membangkang perintah raja termasuk anak-anaknya.

"Hahahaha, jangan bercanda kamu! Rela mati demi lelaki seperti itu? Belajar dari mana kamu soal cinta? Kamu kan tahunya belajar dan belajar. Lebih baik serahkan urusan ini pada Ayah!" Tegas Tuan Badra.

"Selama hidupku segala urusannya juga ada pada ayah! Aku dipaksa belajar pun oleh ayah!" Balas Mariposa tak mau kalah.

Mariposa semakin tertohok dengan kalimat-kalimat tajam ayahnya. Tahu jika sang ayah tetap bersikeras memilih Angga, Mariposa pun nekat mengambil pisau kecil tajam yang ada di meja. Pisau itu seharusnya digunakan untuk memotong. Tapi hari ini dan tepat detik ini juga fungsi pisau itu akan berubah menjadi untuk menggores kulit Mariposa. Gadis itu menatap ayahnya tajam sambil mendekatkan ujung pisau ke lehernya. Melihat Tuan Badra yang hanya diam saja menyaksikan adegan percobaan bunuh diri itu membuat Angga jadi panik. Bagaimana bisa ada ayah yang tega menyaksikan anaknya sendiri bunuh diri hanya demi mempertahankan harga diri?

"Jika ayah tidak ingin aku mati, maka nikahkan Satria denganku." Ucap Mariposa.

"Jika mau mati ya mati saja sana. Aku tidak peduli." Ketus Tuan Badra.

Angga meneguk ludahnya susah payah. Persaingan pendapat antar anak dan ayah ini semakin ketat. Bahkan suasana semakin memanas. Belum lagi ia frustasi melihat Tuan Badra yang bersikap tidak peduli dengan aksi Mariposa. Bagaimana kalau gadis itu benar-benar bunuh diri saat itu juga? Didepan matanya? Jangan harap.

Angga sudah menunggu bertahun-tahun lamanya demi bisa melihat Mariposa tumbuh jadi gadis yang cantik dan bisa ia miliki. Tentunya Angga tidak akan membiarkan gadis pujaannya sejak kecil mati sia-sia hanya karena tidak ingin menikah dengannya.

"B-baiklah Mariposa, aku mundur jadi calon suamimu dan sekarang tolong turunkan pisau itu." Ucap Angga pasrah.

Namun Mariposa tetap terus mendekatkan pisau ke permukaan kulitnya sambil melirik Angga.

"Kau tahu Angga? Ayahku itu pemaksa sekalipun kau mundur." Mariposa tertawa sinis.

Para pelayan yang tengah menyaksikan pun panik. Tentunya mereka tahu siapa dan bagaimana Tuannya yang selalu mempertahankan harga diri didepan siapapun.

Kini ujung pisau berhasil menempel dengan kulit lehernya. Mariposa hanya tinggal menekan saja maka darah akan keluar dari sana.

Baiklah, Ayah. Mungkin kau memang rela aku mati..

Mariposa diam-diam menghitung dalam hati sambil terus bertatapan tajam dengan sang ayah.

Satu...

Dua...

"Selamat tinggal, Ayah."

Mariposa mulai menekan pisau itu secara perlahan.

Tiga...

"Aku setuju menikah dengan putrimu, Tuan. Tolong selamatkan ibuku."

Pisau yang hampir menembus kulit itu terlepas begitu saja dan jatuh ke lantai. Satria datang dan segera membuang pisau itu. Dengan nafas yang tak beraturan ia berusaha bersikap tegap dihadapan calon ayah mertuanya. Mariposa menatapnya takjub sedangkan yang lainnya terkejut. Apalagi Angga yang merasa harga dirinya jatuh drastis. Angga baru saja memutuskan untuk mundur sebagai calon suami demi menggagalkan aksi bunuh diri itu dan semua itu sia-sia. Malah Satria yang berhasil menghentikan perbuatan Mariposa barusan bukan keputusannya.

Tuan Badra menatap takjub lelaki yang baru saja meminta dinikahkan dengan putrinya itu.

"Baiklah, karena kandidatnya hanya satu..." Tuan Badra melirik Angga yang tampak gusar.

"Kalian akan menikah tiga hari lagi."

~~

Disinilah Angga sekarang, duduk di taman belakang rumah Tuan Badra sambil menatap kolam buatan kecil berisi ikan-ikan kesayangan mantan calon ayah mertuanya. Ya, kini semua hanyalah "mantan". Ia gagal mendapati Mariposa. Sekarang mungkin Mariposa bisa senang tertawa bahagia bersama calon suaminya, tapi berbanding terbalik dengan Angga yang hanya bisa meratap pilu. Apalagi saat ia melihat Mariposa mengobrol sambil terus tersenyum menatap wajah Satria disana. Hatinya sungguh sakit dan sesak.

(Ini muka Angga pas liat Mariposa happy sama Satria)

"Sepertinya cintamu tidak main-main." Sahut Tuan Badra memecah keheningan.

Angga pun tersenyum kecil. "Tentu, Tuan. Saya menyukai putri anda sejak kecil."

"Kau lemah juga ternyata."

Angga menatap Tuan Badra tak mengerti.

"Dari semua putriku, hanya dia yang suka sekali membangkang. Sejak kecil dia selalu melawan perintahku. Aku berpikir jika dia bukan anakku karena memiliki sifat yang tak wajar. Tapi setelah dipikir kembali, dia ternyata mirip dengan ayahnya yang punya sifat keras kepala." Jelas pria itu.

Angga diam hanya berniat menyimak cerita saja. Lagipula saat ini ia hanya butuh hiburan kecil untuk sedikit melupakan patah hatinya.

"Dia gadis yang cantik." Gumam Angga tanpa sadar.

"Ketiga kakaknya penurut seperti ibunya, hanya Mariposa yang menuruni sifatku."

Angga tersenyum kecil. Membayangkan bagaimana jika nantinya ia dan Mariposa benar-benar menikah. Pasti gadis itu sering membangkang pada suaminya.

"Kau seharusnya tau, dia sudah jelas sepertiku yang mementingkan ego dan gengsi. Dia hanya mementingkan keinginannya. Jadi sekalipun kau mengalah seperti tadi Mariposa tak akan luluh karena harga dirinya tinggi."

"Orang sepertiku menikah dengan ibu Mariposa yang penurut. Tentunya aku jadi lebih bisa berkuasa mengutarakan ego ku karena tidak ada yang membantah. Tapi Mariposa, aku tidak bisa membiarkannya hidup sepertiku dalam rumah tangga." Lanjut tuan Badra.

"Maksud Tuan?" Tanya Angga yang mulai tertarik dengan obrolan mereka.

Tuan Badra menatap Angga sambil menepuk bahunya.

"Mariposa butuh seorang suami yang juga keras dan memiliki ego tinggi. Aku tidak mau Mariposa jadi sepertiku yang dibenci dan ditakuti banyak orang karena betapa kerasnya aku. Jika kau jadi suaminya yang selalu mengalah padanya, itu hanya akan membuatnya semakin buruk dan membantunya menumbuhkan lebih besar sifat egoisnya.."

"Aku tidak mengerti." Kata Angga jujur.

Tuan Badra tersenyum penuh arti padanya.

"Kau terlalu lembek untuknya, Angga. Kau tidak cocok tuk jadi suaminya."

~~

Sementara itu di sisi lain..

Mariposa tak henti-hentinya menawarkan beberapa makanan enak yang koki rumahnya buat pada Satria. Tentunya ia sangat senang bisa berbagi bersama calon suaminya. Hari ini Satria begitu mengejutkannya dan semakin membuat Mariposa jatuh sedalam-dalamnya. Dan Mariposa pun merasa jika ini pertama kalinya ia mempertahankan sesuatu yang ia inginkan sampai mempertaruhkan nyawanya sendiri didepan sang ayah. Mariposa senang karena akhirnya ia bisa mengalahkan ayahnya soal pernikahan.

Semenjak kedatangannya, Satria hanya duduk diam tak mengindahkan beberapa celotehan gadis disampingnya. Lelaki itu tak menyangka jika ia akan menikah secepat itu. Yang Satria bingungkan adalah bagaimana ia memberitahu ayah dan ibunya soal pernikahan ini?

"Oh ya, bagaimana kalau kita saling berkenalan? Aku Mariposa Edrea Parviz, putri bungsunya keluarga Parvis." Mariposa mengulurkan tangannya.

Dan hanya dijawab anggukan oleh Satria.

Mariposa jadi cemberut karena kesal uluran tangannya tak disapa.

"Aku belum tahu namamu." Ucap Mariposa tak terima jika dirinya diabaikan.

Bohong sekali.

Padahal Mariposa sudah lebih dulu mengenal Satria dibandingkan Satria mengenal Mariposa.

"Maaf, bisakah aku ke kamar kecil?" Ucap Satria mengalihkan.

Ia sedang tidak fokus sekarang dan butuh tempat untuk menjernihkan pikiran. Tapi sepertinya Mariposa tak akan membiarkannya tenang sendiri begitu saja.

Mariposa pun memasang wajah kecewanya.

"Minta antar saja pada pelayan." Ucap Mariposa dengan nada kesal.

"Aku bisa mengantar mu." Sahut Marvel yang tiba-tiba muncul.

Mariposa menatap Marvel datar.

"Cepat antar dia." Suruh Mariposa pada Marvel.

Marvel hanya mengangguk lalu mempersilahkan Satri untuk mengikutnya.

"Kenapa luas sekali sih rumahnya, aku tidak akan hafal dimana letak kamar mandinya." Gumam Satria.

Marvel terkekeh mendengarnya.

"Tapi kau harus hafal semua letak ruangan di rumah ini." Balas Marvel.

Satria mengangguk sambil menghela nafasnya. Menyebalkan memang.

"Karena kau calon suami Mariposa, aku titip pesan padamu untuk jaga Mariposa selalu. Pastikan dia tidak melirik lelaki lain selain dirimu." Marvel berbisik pada kalimat terakhirnya.

Satria pun melirik Marvel yang tengah tersenyum geli sendiri. Melihat pakaian Marvel yang rapi mengenakan kemeja hitam dengan bagian tangan kemeja sedikit dilipat, belum lagi sepatu pantofel dan celana bahan yang melengkapi membuat Satria berpikiran jika Marvel juga berasal dari keluarga berada.

"Kau siapa?" Tanya Satria tiba-tiba saat mereka sudah sampai didepan pintu kamar mandi.

"Aku?" Tanya Marvel sambil menunjuk dirinya sendiri

Satria mengangguk. "Iya, kau. Apa kau juga calon suami putri Tuan-"

"Bukan. Aku hanya pelayan sekaligus pengawal calon istrimu. Tenang saja, aku tidak akan merebut bidadarimu." Marvel mengerlingkan matanya.

Satria hanya mengangguk kecil sambil menatap Marvel datar. Kemudian Marvel mempersilahkan Satria untuk segera menggunakan kamar kecil.

Setelah Satria benar-benar masuk, Marvel menghela nafasnya. Ia jadi teringat kejadian beberapa waktu lalu saat Mariposa hendak bunuh diri. Marvel hampir saja kehilangan jantungnya jika Mariposa benar-benar bunuh diri tadi. Sangat mengerikan membayangkan bagaimana gadis yang ia rawat dan ia temani sejak kecil mati sia-sia dengan sangat mengenaskan tepat didepan matanya. Mirisnya, sang ayah hanya diam menonton saja. Membayangkannya saja sudah membuat Marvel merinding.

Marvel pun menatap pintu kamar mandi dengan datar.

"Semoga dia lelaki yang baik untuk Mariposa."

**

"Satria, dari mana saja? Bapak cemas nunggu kamu di rumah sakit. Kok pulang malam?" Tanya Herman.

Begitu melihat batang hidung Satria, Herman langsung menanyakan beberapa pertanyaan yang sudah ia pendam seharian. Sang istri hanya bilang jika Satria pergi sebentar entah kemana. Satria juga sengaja tak bilang kemana tujuannya hari ini pada orang tuanya. Begitu sampai di rumah sakit Satria hanya melihat Herman yang duduk didepan ruang ibunya sendirian.

"Ibu kemana, Pak?" Tanya Satria yang sudah berdiri di ambang pintu.

Ranjang tempat biasa ibunya berbaring pun kosong. Kemudian Herman menghela nafas lelahnya.

"Ibu lagi cuci darah." Jawab Herman.

"Cuci darah? Bapak gak temani?"

"Kata ibu bapak disini saja sambil nunggu kamu kembali."

Satria mengangguk. Lalu mereka pun kembali duduk di kursi panjang yang disediakan. Herman melihat raut wajah Satria yang tak biasanya. Jika selama seminggu ini Satria dipenuhi oleh kalut dan bingung, seperti orang yang tak tahu tujuan maka hari ini raut wajah Satria menggambarkan kepasrahan.

Herman sudah mencoba mencari Satria hari ini ke tempat biasa Satria membantu pekerjaan orang lain. Namun lelaki itu tak ada disana. Semenjak itu Herman tak berniat mencari dan hanya bisa menunggu kabar dari putranya.

"Pak, maafin Satria ya?" Ucap Satria tiba-tiba.

Herman pun bingung. Lelaki tua itu mengernyitkan dahinya. Jelas sekali banyak keriput yang tercipta di wajah itu.

Ternyata bapak sudah tua..

"Kenapa kamu tiba-tiba minta maaf?"

"Gapapa." Satria tersenyum.

Hening sejenak.

"Kalau Satria menikah, gimana Pak?" Tanya Satria tiba-tiba.

Herman pun melirik putranya dengan tatapan sulit diartikan.

"Memang mau gimana?"

Satria tertawa kecil mendengar jawaban itu.

"Nikah sama Alika?" Kini giliran Herman bertanya.

Nah itu dia, Alika.

Satria menghembuskan nafasnya kasar. Sungguh bodoh. Bagaimana bisa dia melupakan Alika sang kekasih. Satria jadi kembali bingung. Tapi sepertinya ia tak ada waktu untuk membingungkan sesuatu lagi karena pernikahannya akan berlangsung tiga hari lagi. Kini ia hanya perlu memikirkan bagaimana cara memberitahu Alika tentang pernikahannya.

Satria takut. Ia takut jika Alika tak bisa menerima penjelasannya. Satria tidak ingin gadis itu meninggalkannya. Apalagi hanya karena pernikahan konyol itu. Tapi sebentar lagi statusnya berubah menjadi...

Suami orang?

"Satria." Panggil Herman.

Satria pun kembali tersadar lalu menatap Herman yang sudah berdiri di ambang pintu ruangan ibunya.

"Iya, Pak?"

"Ibumu sudah kembali."

Satria langsung bangkit dan segera masuk menemui ibunya. Di dalam masih ada beberapa dokter yang memeriksa kembali kondisi Yuni setelah cuci darah. Dokter juga memberikan beberapa peringatan kecil untuk Yuni. Tak lama Herman juga ikut masuk.

"Kalau begitu saya permisi." Pamit dokter.

Selepas dokter pergi Satria langsung memeluk sang ibu hangat. Yuni tertawa kecil melihat kelakuan anaknya sambil melirik Herman.

Namun Herman memberikan tatapan yang berbeda.

"Satria." Panggil Yuni.

"Sebentar saja, Bu. Satria kangen ibu."

"Satria." Yuni dengan paksa melepas pelukannya.

"Kamu kenapa? Ada masalah apa?"

Satria bingung harus menjawab apa. Ia juga ingin menjelaskan yang sebenarnya terjadi pada orang tuanya tapi ia bingung harus mulai dari mana. Satria tentunya tak bisa memberitahu orang tuanya jika ia menikah demi biaya pengobatan ibunya. Jika ia bilang yang sebenarnya, pasti mereka akan langsung melarang Satria untuk menikah. Karena orang tuanya tahu jika hanya Alika yang ada di hati Satria.

"Pak, Bu, tiga hari lagi Satria akan menikah."

Bersambung...