Chereads / Kisah di SMA / Chapter 34 - 31. Sakit

Chapter 34 - 31. Sakit

/Yesi's PoV/

Aku menghela napas panjang melihat kepergian Savira dan Leon dengan motor milik Leon. "Enak banget, ya, Savira? Di antar-jemput pacar setiap hari, bisa malming-an bareng pacar. Ada support systemnya. Apalah dayaku yang jomblo sedari lahir?" Aku menggumam sambil terus melihat titik terakhir kumelihat Savira dan Leon.

Sisi yang di sebelahku justru tertawa kecil. "Apaan, sih? Kalau kamu mau pacar, dicari dong! Ribet amat."

Aku menoleh ke arah Sisi dengan wajah sedih. "Aku mana rela ninggalin kamu jomblo sendirian. Kan gak enak kalau kamu jadi 'nyamuk' sendirian. Kalau aku jomblo, kita bisa jadi 'teman nyamuk'."

Sisi justru menatap horor padaku, lalu berjalan menjauhiku menuju area parkir di dalam sekolah---di sana biasanya kami memarkirkan motor. Aku menatap heran dari gerbang tempatku berdiri, lalu tersadar dan menyusulnya.

"Bercanda doang tadi, Si. Jangan ditinggal, dong!" teriakku kepadanya yang sudah cukup jauh dariku. Ia terlihat menutup kedua telinganya seolah tidak mendengar apa-apa. Aku pun cepat-cepat menyusulnya.

"Si, kamu beneran mau langsung pulang?" tanyaku setelah berhasil menyejajari langkahnya.

Sebelum menjawab, ia menjaga jarak terlebih dahulu. "Iya. Biar gak ketularan ngenes kayak kamu." jawabnya ketus.

Aku memanyunkan bibir dan kembali memangkas jarak. "Emang kamu gak mau punya pacar?" Aku berkata dengan nada sedih. Sisi hanya menggeleng sebagai jawaban. Ia tidak lagi menjauh dariku, hanya fokus menuju parkiran. Aku mendengus. Tidak asik.

/Agatya's POV/

Langit sedang berawan hari ini. Tidak panas juga tidak dingin, sepertinya cuaca tidak akan berubah banyak hari ini. Aku pun memutuskan untuk tidak membawa jas hujan dalam motorku agar lebih banyak ruang dalam bagasi motorku. Sekarang, aku harus berangkat ke kampus. Beruntung aku bisa langsung kuliah setelah tamat SMA, tidak seperti Langit. Nasibnya akhir-akhir ini lebih sering sial---Juli lalu ia sudah mulai bekerja di kedai kopiku.

Sebenarnya kegiatan kuliah baru akan dimulai besok. Kemarin baru saja selesai ospek. Hanya saja ada barang yang masih tertinggal di lokerku dan harus kuambil hari ini juga. Sehabis mengambil barang yang tertinggal, aku mengunjungi taman favoritku terlebih dahulu. Kebetulan tidak terlalu jauh juga, sekalian mengambil beberapa foto. Namun, sepertinya aku harus mengurungkan niat itu. Di sana ada Savira dan pacarnya. Mereka sedang berjalan-jalan di jalan setapak dengan bahagia. Hatiku seperti sedang diiris. Ingin segera pergi dari sana, tetapi ada rasa penasaran yang menahan langkahku untuk menjauh. Pada akhirnya, aku memilih untuk mengikuti mereka.

Aku baru berhenti ketika mereka duduk di sebuah bangku bersama. Berbicara seperti mengenang masa lalu dan dari hati ke hati. Hingga sepasang jari kelingking pun bertaut dengan senyum menghiasi wajah keduanya. Aku menyadari kebodohanku selama ini. Berharap kepada Savira hanya menambah perasaan kecewa dan sakit. Memang selama ini aku hanya melihat saat di mana mereka bertengkar. Harusnya, aku tidak menjadikan itu sebuah kesimpulan bahwa aku masih memiliki harapan. Tapi, bisakah aku membunuh perasaan ini? Mungkin lebih tepatnya, maukah aku membunuh perasaan ini?

Aku pergi menjauh dari mereka dengan kepala tertunduk. Memaki diri sendiri atas kebodohanku. Menahan sesak dalam dada dan menyalahkan hatiku karena telah menaruh hati kepada orang yang salah. Air mata pun akhirnya berhasil jatuh ke tanah.

Seketika, kondisi langit yang cerah berubah kelam. Awan mendung langsung menggumpal tebal dan melepaskan beberapa petir yang menghasilkan kilat dan gemuruh. Air pun segera jatuh ke tanah dengan deras, membasahi taman dan orang-orang yang tidak sempat berlindung. Membasahi diriku. Ini yang kedua kali untukku, menangis bersama hujan di tempat yang sama dan karena orang yang sama.

Tuhan, kenapa rasanya sesakit ini? Bukankah harusnya aku sudah tahu bahwa ia tidak akan pernah menjadi milikku? Lalu, kenapa aku masih menaruh hati padanya? Aku harus melupakannya, tapi aku tidak mau melakukannya. Padahal kamu bukan milikku, tapi aku cemburu. Aku tak mungkin merebutmu darinya, aku tak seegois itu. Hanya satu pintaku, jika kau sedang dirudung kesedihan, cari aku. Aku akan selalu ada untukmu, meski kau tak pernah menyadarinya.

Kata-kata yang ingin sekali kuteriakkan agar semesta tahu akan faktanya. Tapi, tidak. Aku tidak memiliki nyali sebesar itu. Mulutku justru tertutup rapat-rapat. Aku hanya berani membatinkannya.

Sedangkan, di sisi lain

/Savira's POV/

Saat kami saling menautkan kelingking dan menatap dalam satu sama lain, langit yang cerah tiba-tiba menggelap. Tautan kelingking kami segera terlepas dan aku langsung bangkit untuk mencari tempat berteduh. Sadar Leon tidak mengikutiku, aku kembali mendekatinya.

"Ayo, Leon! Nanti kita kehujanan. Aku gak mau demam," desakku.

Ia justru tersenyum menyebalkan. "Aku yang temanin kalau kamu demam. Kita itu harus mengenang masa lalu." Ia menarikku untuk duduk di sebelahnya.

"Jangan lupa kalau kita backstreet! Orangtua aku gak tahu kita pacaran. Kita juga masih pakai seragam. Kalau kamu gak mau pulang, aku pulang sendiri." Aku menolak ajakannya untuk menikmati guyuran hujan dan mempercepat langkah kakiku untuk berteduh di rest area yang kebetulan tidak jauh.

Aku tahu ini bukan hujan biasa. Ini adalah air mata seseorang dan hujan ingin memberitahukannya pada kami semua yang berada di sini. Tidak mungkin langit yang cerah langsung berubah menggelap secepat itu. Bukan asal menebak, hanya saja aku pernah mengalami hal yang sama. Tepat aku menginjakkan kaki ke dalam rest area, hujan langsung mengguyur taman dengan deras. Sedangkan, Leon tetap berada di tempatnya. Iya, dia menikmati hujannya. Ia tersenyum bahagia padaku sambil terus berusaha mengajakku bermain hujan. Berbanding terbalik denganku yang hanya memandangnya dengan wajah datar. Mungkin ia menyadarinya hingga memilih untuk berdiri di depanku.

"Kamu yakin gak mau main hujan?" Ia berdiri tepat di perbatasan hujan yang masih bisa menyentuh tanah.

Aku hanya menggeleng. Tanganku terlipat di depan dada dan membuang muka darinya. Leon akhirnya menghela napas berat dan berpindah ke sebelahku, ikut berteduh meskipun seluruh tubuhnya sudah basah kuyup. Aku menggeser diriku sedikit agar tidak terlalu dekat dengannya. Sialnya, ia justru kembali mendekat. Aku menjauh lagi dan sebelum dia mendekat lagi, aku mengancamnya.

"Jangan terlalu dekat! Nanti aku ikut basah. Aku pulang sendiri aja nanti kalau seragam kamu masih basah," kataku tanpa meliriknya sedikit pun.

Setelahnya tidak ada percakapan apa-apa lagi, hanya berdiri sambil menunggu hujan reda yang semakin lama semakin deras saja. Udara pun semakin dingin dan seragamku mulai semakin sering terciprat air hujan. Aku mengusap-usap kedua tanganku agar sedikit hangat, tapi percuma saja. Tiba-tiba Leon menggenggam pergelangan tanganku dan membawaku untuk duduk di dalam---ada bangku di sana.

"Dingin, ya? Maaf ya, harusnya sekarang aku bisa bikin kamu gak kedinginan lagi. Tapi, aku justru basah kuyup kayak gini." pelannya sambil masih menggenggam tangannku.

"Kamu juga dingin, kan? Habisnya udah tahu hujan masih juga main hujan, kayak anak kecil." ejekku.

"Ngeledek ceritanya, nih? Gak kasian sama pacarnya? Jahat banget." Bibirnya merengut dan terlihat seperti anak kecil membuatku terkekeh.

"Gitu dong! Ketawa, jangan cemberut terus!" Ia tersenyum kembali, lalu mencubit hidungku.

Kukira hujan di sini hanya bisa menambah memori buruk dalam hidupku. Mungkin sekarang sudah tidak lagi karena ada Leon di hidupku.