Chereads / Kisah di SMA / Chapter 37 - 34. Semalaman

Chapter 37 - 34. Semalaman

Sekarang sudah Senin lagi. Seperti biasa harus pergi berangkat sekolah pagi-pagi, hari ini dijemput Leon di depan gang rumah karena akan sangat berisiko jika di depan rumah. Karena mama dan papaku masih belum kuberi tahu tentang hubunganku dengan Leon.

"Sav, nanti aku gak bisa antar kamu pulang. Gapapa?" katanya saat motor baru saja memasuki area sekolah.

"Kenapa?" tanyaku sambil turun dari motornya. Kami sudah sampai di parkiran.

Leon tidak langsung menjawab. Ia lebih dulu memarkirkan motornya. Setelah selesai, ia baru menjawab. "Aku ada latihan dance. Bulan depan ada lomba dance di mal. Gapapa?"

Aku mengangguk-angguk pelan. "Gapapa, kok. Santai, aku bisa pulang sendiri nanti."

Tidak baru kali ini Leon seperti itu. Di tahun-tahun sebelumnya kadang juga begitu, jadi aku sangat mengerti. Menjadi bagian dari ekskul modern dance pasti banyak sekali kegiatan lombanya. Apalagi di era K-Pop seperti saat ini, orang-orang akan berlomba-lomba untuk meng-cover tarian dari berbagai grup asal Korea.

"Hai, Yes! Tumben udah pegang buku," sapaku saat aku sampai di bangku.

Ia hanya ber-hmm sebentar tanpa melirikku. "Lagi ngapain, sih?" recokku penasaran.

"Savira, diem dulu! Katanya bakal ada remidi bahasa Indonesia nanti. Jadi, aku harus belajar. Kamu enak gak remidi, gak harus pusing belajar. Lagian, ya, kok aku bisa remidi, sih? Perasaan waktu ujian kemarin, lancar-lancar aja. Udah gitu, remidinya dikasi tau mendadak. Kebiasaan. Kenapa juga jam BI harus jam pertama?" ocehnya panjang lebar dengan tatapan masih pada buku.

Aku mencubit pipi kirinya. Ia mengaduh dan akhirnya menatapku juga. "Pagi, Yesi!" ucapku tak berdosa dengan suara yang sengaja kulembutkan.

"Pagi juga, Savira!" katanya malas, lalu kembali mengalihkan atensinya pada buku.

Aku hanya tertawa kecil melihatnya. Tadi Yesi bilang kalau aku tidak remidi. Jadi, aku bisa bebas melakukan apa saja pagi ini.

***

"Sav, soal yang ini kira-kira jawabannya apa?" kata Yesi menunjuk soal nomor ke sekian.

Masih tersisa 10 menit sebelum istirahat, tapi Bu Ita---guru Bahasa Indonesia---memilih untuk menyelesaikan pelajarannya. Sisa waktu itu digunakan Yesi untuk bertanya-tanya mengenai soal remidi tadi. Sedangkan, aku sudah bosan mendengar gumamannya sedari tadi. Serasa waktu berjalan lebih lambat.

"Yes, Gemini itu orangnya populer banget, ya? Anak-anak kelas kayaknya pada ngomongin dia semua." tanyaku setelah tidak sengaja mendengar gerombolan laki-laki yang membawa nama Gemini dalam obrolan mereka.

"Anak baru biasanya emang populer, sih. Nanti juga biasa lagi," jawabnya. Ia masih fokus pada kertas soal remidi tadi.

"Menurut kamu, Gemini itu cantik, gak?" tanyaku lagi.

"Cantik." Yesi menjawab singkat. "Akhirnya! Selesai juga." Ia lalu berteriak sambil menggebrak meja.

Ia memangku dagunya dengan tangan kanannya. "Apa?" tanyanya polos saat sadar bahwa seluruh penghuni kelas menatap dirinya, termasuk diriku.

Bel istirahat lebih dulu berbunyi sebelum siapapun sempat berkata lagi dan berhasil mengalihkan fokus semua temanku.

"Tepat waktu." Yesi berkata sambil menjentikkan jarinya. Kemudian, ia berdiri dan mengajakku ke kantin. Tidak lupa juga kami menghampiri Sisi ke kelasnya terlebih dahulu.

"Leon ke mana?" tanyaku pada Sisi karena tidak melihat keberadaan Leon di kelas.

"Dipanggil pembina ekskul tadi."

"Leon aja?"

"Sama Gemini dan Tio juga."

"Gemini juga? Kok bisa? Dia bukannya masih anak baru." Bukan aku yang bertanya, melainkan Yesi.

"Iya, dia juga. Gak tahu kenapa." Sisi menjawab. "Udah, gak penting! Buruan ke kantin, keburu penuh," paksanya sambil menarik tanganku dan Yesi.

Aneh. Setelah Gemini bersekolah di sini, ekskul dance baru mengadakan sekali pertemuan. Kalau Leon dan Tio---teman sekelasku di kelas 11---dipanggil oleh pembina mereka, itu hal yang sangat wajar karena mereka yang paling dominan dan dipercaya di antara anggota lainnya. Tapi, Gemini? Ia baru mengikuti ekskul dance sekali. Apa kemampuannya menari memang sehebat itu?

Saat di perjalanan menuju kantin, tak jarang juga kudengar bisik-bisik dengan membawa nama Gemini. Aku mencoba untuk tidak heran dan tidak mengacuhkannya.

***

Bel pulang yang dinanti akhirnya berbunyi nyaring. Dengan begitu, siksaan matematika ikut berakhir. Aku segera merapikan semua alat tulis serta buku-buku dan memasukkannya ke dalam tas. Entah kenapa hari ini benar-benar melelahkan, rasanya ingin cepat-cepat pulang saja.

Aku berjalan beriringan bersama Yesi menuju kelas Sisi. Yesi berniat untuk menemui Sisi dan aku berniat untuk menemui Leon (juga Sisi). Kami berpapasan dengan Sisi di jalan.

"Baru mau nyamperin. Yuk, pulang!" ajak Yesi.

"Kalian duluan aja. Aku sama Leon," tolakku.

"Gimana, sih, Yes? Masa ngajakin orang udah punya pacar? Gak bakal mau, mending sama pacar." Sisi terkikik bersama Yesi. "Yaudah, kita duluan! Leon ada di kelas tadi, kok," sambungnya, lalu bergegas menarik tangan Yesi untuk menjauh. Ia hanya melambai.

Aku meneruskan langkahku menuju kelas Leon. Dari jendela, kelasnya sudah tak terlihat ada orang. Namun, pintu kelasnya masih terbuka. Ternyata memang masih ada orang. Kami berpapasan di ambang pintu. Leon dan ... Gemini. Iya, Gemini. Mereka hanya berdua.

"Hai!" sapaku pada Gemini agak canggung. Ia membalas sama canggungnya.

"Savira." Aku mengulurkan tangan, meminta untuk dijabat.

"Gemini." Ia hanya menyebutkan namanya, membuatku salah tingkah.

"Ini pacarku. Dia di kelas XII IPA 5." Leon menjelaskan. "Kenapa, Sav?"

"Eh, kamu mau ke mana?" Aku balik bertanya.

"Ke aula, ada latihan dance. Kamu mau nonton biar bisa pulang bareng?" tanyanya sambil menaik-turunkan alisnya. Kentara sekali ia berniat menggodaku.

Aku mengelak. "Enggak, kok. Aku cuma lupa kamu ada latihan. Yaudah, aku pulang dulu." Aku beralasan, walaupun sebenarnya aku memang lupa.

Aku hendak pergi dari mereka, tetapi Leon menahan tanganku. "Maaf, ya, gak bisa pulang bareng," Sikapnya yang menggoda tadi berubah menjadi ucapan tulus dengan sorot mata teduh yang selalu berhasil membuatku semakin jatuh padanya.

"Gapapa. Aku ngerti, kok." Aku merentangkan tangan, meminta untuk dipeluk.

Leon ternyata peka. Ia langsung memelukku dan aku membalas pelukannya. Beberapa detik kemudian, kudengar deheman dari seseorang. Gemini. Bisa-bisanya aku lupa bahwa ia masih ada di sini. Spontan kulepas pelukanku begitu pun dengan Leon. Rasa canggung seketika menyelimutiku.

"Kalau gitu, aku pulang dulu. Bye, Leon!" kataku berusaha santai. "Bye, Gemini!" sambungku canggung, berusaha melambaikan tangan agar tak terlalu canggung.

Aku segera lari menjauh. Wajahku terasa panas, mungkin sekarang sudah semerah tomat. Malu sekali. Rasanya ingin bersembunyi ke ruangan paling gelap atau sekalian menghilang saja.

"Bisa-bisanya, Sav! Bisa-bisanya kamu kayak gitu. Astaga! Kalau ngebucin tahu tempat, dong!" gumamku sambil terus berlari menuju rumahku.

***

Ponselku tiba-tiba saja berdering saat aku baru saja ke luar dari kamar mandi. Kulirik jam dinding yang terletak di dinding hadapanku, tepatnya di atas meja belajarku. Jarum jamnya menunjuk pada angka 7 lebih sedikit. Kuraih ponselku yang terletak sembarang di ranjang. Ternyata Leon yang menelepon. Senyumku seketika mengembang.

"Halo, Leon!" Aku langsung menyapanya dengan bersemangat sebelum ia sempat berbicara.

Aku bisa mendengar tawa kecilnya. "Kenapa ketawa?" tanyaku.

"Engga, habisnya kamu semangat banget. Udah kangen aku, nih?"

"Gimana, ya? Kayaknya bukan aku, sih, yang kangen. Mungkin yang nelpon kali." Aku berkata sembari duduk di pinggir ranjangku, masih dengan senyum yang menghiasi wajahku.

"Iya lagi. Tau aja kalau aku kangen. Kamu lagi apa?"

"Engga ngapa-ngapain. Kamu gimana tadi latihan dancenya? Susah? Siapa aja tadi yang ikut latihan?"

"Dancenya susah, sih. Tapi, karena aku jago, jadi aku udah bisa." Ia berkata dengan nada sombong. "Tumben nanya siapa aja yang ikut. Takut aku dideketin cewek lain, ya?"

"Ih, apaan! Enggak, ya! Mana ada kamu dideketin cewek lain. Kamu kali yang godain cewek di sana."

Ia tertawa lagi di seberang sana. "Enggak mungkinlah. Aku, kan, sayang sama kamu. Jadi, gak usah khawatir. Kita juga udah janji, kan? Untuk selalu bersama selamanya. Inget?" Aku mengangguk seolah-olah Leon bisa melihatnya.

"Inget, gak? Ditanya malah diem aja. Lupa, ya?" Ia terdengar sedikit meledek.

"Inget, kok. Mana mungkin aku lupa janji sepenting itu."

Sisa malamku dihabiskan dengan berbincang dengan Leon. Membahas berbagai hal, dari yang penting sampai tidak penting. Dari yang hanya via suara berubah menjadi video call. Dari duduk di pinggir ranjang sampai tiduran di atasnya. Dari mata yang masih segar hingga mulai ingin menutup karena kantuk sudah menyerang dan malam semakin larut. Bersamanya, waktu selalu berjalan cepat.