/Leon's POV/
Sudah dua minggu kegiatan sehabis pulang sekolahku selalu sama. Ke luar kelas, menuju aula, istirahat sebentar, latihan dance, lalu pulang. Begitu pun di hari ini. Sekarang, aku sedang mengantar Gemini ke rumahnya seperti dua minggu terakhir ini, kebetulan searah denganku. Setelah mengantarnya, aku melajukan motorku menuju rumah. Tubuhku terasa pegal dan lengket karena hampir seharian berada di sekolah untuk belajar dan persiapan lomba. Meski bukan yang pertama kali seperti ini, tetap saja rasanya melelahkan.
Akhirnya, sampai juga di kamarku tercinta. Aku melepaskan tasku begitu saja hingga tergeletak sembarang di lantai. Aku berjalan dengan malas menuju ranjangku, lalu merobohkan diri ketika kumpulan kapuk itu tepat di hadapanku. Rasanya rindu sekali pada tempat tidurku yang empuk ini. Dengan posisi tengkurap, aku mengelus-elus permukaannya dengan kedua tanganku yang kurentangkan sambil memejamkan mata juga membiarkan sabit kecil terbit di bibir. Tiba-tiba terdengar dering telepon, namun tidak begitu besar, seperti teredam sesuatu. Aku merubah posisiku menjadi duduk dan mencari sumber nada dering itu. Ternyata masih ada di dalam tas. Dengan sumpah serapah yang ke luar dari mulut, aku bangun dan mengambil ponsel yang masih setia berbunyi lantang. Omelanku seketika berubah menjadi senyum ketika melihat nama penelepon, Savira. Aku berdehem sebentar, lalu mengangkatnya.
"Hai, sayang! Kenapa? Kangen, ya?" kataku lembut.
"Kamu lagi sibuk? Kalau lagi sibuk, nanti aku telpon lagi."
"Enggak, kok. Ini baru nyampe rumah. Kamu lagi ngapain?" Aku mengatakannya sambil kembali duduk pada tempat tidurku.
"Lagi belajar, nih! Kamu pasti belum mandi, kan? Mandi dulu sana, terus makan malam. Kalau udah, baru telponan lagi."
"Siap, sayang! Aku mandi sama makan dulu. Kamu semangat belajarnya. Aku tutup, ya? Love you," ucapku mengakhiri telepon.
Aku segera melakukan semua yang disuruh oleh Savira. Setelah makan, aku harus video call dengannya.
/Savira's POV/
"Kok gak jadi nanya, sih?" ucap Sisi frustasi.
"Kasian, Si. Dia baru pulang habis latihan. Masa langsung tanya gitu? Yang ada berantem lagi." Aku mencoba membela diri.
"Kalau dia gak mau berantem, harusnya izin ke kamu dong! Ini udah bukan sekali atau dua kali lagi, Sav. Tapi, hampir setiap hari dan itu baru yang aku liat," Sisi tetap mengomel.
"Lagian apa salahnya, sih, nganterin Gemini pulang? Mereka juga habis latihan bareng, wajar aja kali." Aku melirik Yesi yang hanya menyimak dari tadi, meminta bantuannya. Namun, ia hanya mengangkat bahu.
"Wajar gimana? Nganterin pulang setiap hari kamu bilang wajar? Gila kamu, Sav? Jelas gak wajar lah ..."
Sisi dan Yesi sedang berada di kamarku sekarang. Mereka akan menginap di sini sampai Senin tiba untuk menemaniku di rumah karena Mama dan Papaku harus pergi ke luar kota merawat nenek untuk seminggu ke depan. Aku tidak ikut karena masih harus sekolah, meski besok tidak sekolah. Jadilah, Sisi dan Yesi menawarkan diri untuk menginap. Untung besok dan Minggu libur katanya.
"Udahlah, Si. Jangan ngomel terus! Nanti Savira pasti tanyain ke Leon. Kamu juga gak mau, kan, kalau Leon marah-marah lagi ke Savira karena hal kayak gini? Mending tunggu moodnya baik, terus bicarain baik-baik." Yesi akhirnya angkat suara.
Sisi langsung mendengus dan berkata, "Oke, oke. Nanti kalau dia telpon lagi, langsung speaker. Aku mau denger jawabannya."
Aku mengangguk. Akhirnya, Sisi bisa tenang juga. Untung orang tuaku tidak sedang di rumah, jika ada, mereka pasti sudah tahu tentang hubunganku dengan Leon. Ia sekarang rebahan di kasurku sambil bermain ponsel. Aku mendekati Yesi untuk bertanya tentang kronologis kejadian tadi dengan berbisik-bisik. Ia pun bercerita, ikut berbisik.
"Waktu aku dan Sisi ke sini, gak sengaja papasan sama Leon. Awalnya aku gak liat Leon, sih. Gara-gara Sisi heboh nepuk pundakku sambil nyebut nama Leon terus, aku berhentiin motor. Dia nunjuk ke salah satu motor gitu, nyuruh mastiin Leon atau bukan. Ternyata emang beneran Leon dan dia bonceng cewek. Cuman aku gak jelas liat ceweknya siapa, tapi Sisi yakin banget bilang kalau itu Gemini. Terus dia minta biar dia yang ngendarain motornya dan kita ngebut ke rumahmu. Terus, seperti yang kamu liat tadi." Yesi mengakhiri ceritanya sambil menunjuk ke arah Sisi yang masih sibuk dengan ponselnya.
Aku hanya mengangguk-angguk saja menanggapi ceritanya. Aku tidak tahu harus khawatir atau tidak.
"Kalau itu beneran Leon dan Gemini, kamu gapapa?" Yesi bertanya sambil mengunyah camilan yang sedari tadi dipegangnya.
"Harusnya gapapa kalau alasannya masih masuk akal," gumamku.
"Sav, gapapa?" Yesi bertanya lagi.
"Gapapa. Cuma nganterin apa salahnya." Aku mengeraskan suara, sedikit ragu dengan jawabanku.
Setengah jam kemudian, Leon pun akhirnya menelepon, lebih tepatnya video call. Sebelum menjawab, aku menyuruh Sisi dan Yesi untuk diam dan tidak berada di belakangku.
Leon menyapa lebih dulu, "Hai, sayang! Maaf lama nelponnya. Tadi Mama suruh bantu sebentar di dapur."
"Gapapa. Tadi latihannya gimana?"
"Seperti biasa, capek. Gara-gara latihan juga aku gak bisa nganterin kamu pulang. Maaf, ya? Nanti kalau lombanya udah selesai, aku pasti nganterin kamu pulang. Kamu jangan lupa nonton aku lomba, ya? Kalau mungkin, kita berangkat bareng."
"Ngomongin tentang nganterin pulang, Sisi bilang kamu bareng Gemini, ya?"
Leon terdiam sebentar, lalu menjawab, "Iya, kamu pasti cemburu. Aku cuma nganterin aja, kok. Dia gak bawa motor. Temen-temen gak ada yang searah sama dia, selain aku. Jadi, mau gak mau aku anter dia pulang. Kamu marah?" Leon menatapku dengan tatapan mata anak anjing, seperti memohon pengampunan.
Belum sempat aku menjawab, Sisi muncul di dekatku dan berkata, "Kenapa gak izin ke Savira dulu? Dia modus ke kamu, Le. Kenapa kamu anter pulang, sih? Emang gak bisa suruh dia pesen ojol? Atau kamu naksir sama dia? Mau selingkuh dari Savira?" Suaranya sedikit membentak.
Leon terlihat kaget. Entah karena kemunculan Sisi yang tiba-tiba atau perkataannya. Aku berkata pada Sisi, "Si, udah aku bilang diem dulu."
"Gak bisa, Savira. Leon harus ngejelasin sejelas-jelasnya." Ia terlihat menahan amarahnya, lalu menatap Leon yang masih diam. "Hei! Dijawab pertanyaanku! Kenapa gak bilang ke Savira?" Sisi berkata tidak sabaran.
"Maaf, Sav! Aku terpaksa nganter Gemini pulang karena Pak Tiro yang nyuruh." Leon menunduk sehabis mengatakannya. Sisi hendak marah lagi, namun Yesi lebih dulu mencegahnya.
Aku berusaha tersenyum dan berkata, "Gitu? Lain kali bilang ke aku, ya? Semenyakitkan apapun, tetep bilang ke aku. Aku mau denger langsung dari kamu, bukan dari orang lain. Kalau gitu, kamu istirahat sana. Pasti masih capek, kan?"
"Kamu marah, ya? Aku bener-bener minta maaf. Selanjutnya, aku akan selalu bilang ke kamu, apapun itu. Maafin aku, ya?" Aku dapat melihat jelas rasa bersalah di wajahnya.
"Aku gak marah kok dan aku udah maafin. Aku tutup, ya? Good night!" Aku langsung menghentikan video call itu secara sepihak tanpa mempersilakan Leon berbicara lagi.
Aku berusaha untuk menahan tangis dan menutupinya dengan senyum, meski mataku yang sudah berkaca-kaca tidak akan bisa berbohong. Yesi mendekat dan mengusap-usap punggungku tanpa berbicara sepatah kata pun. Sedangkan, Sisi sudah mencak-mencak. Ia mondar-mandir di depanku untuk melampiaskan kekesalannya.
"Jangan ditahan, Sav. Keluarin aja gapapa." Yesi berbisik.
Air mataku yang kutahan sedari tadi akhirnya berhasil lolos dari kedua mataku. Isakku pun akhirnya terdengar yang membuat Sisi segera menghampiriku dan memelukku dari samping. Aku kira aku tidak akan menangis begini. Ayolah, Savira! Leon hanya mengantar Gemini pulang dan itu disuruh pembina ekskul mereka. Tapi, kenapa rasanya tetap sakit begini?