Chereads / Kisah di SMA / Chapter 41 - 38. Rencana Pengintaian

Chapter 41 - 38. Rencana Pengintaian

Akhirnya tiba juga saat yang ditunggu-tunggu. MC kembali menaiki panggung dengan kertas---yang kemungkinan berisi nama pemenang---di tangannya. Ia menyapa kembali para peserta dan juga para pengunjung dengan bersemangat.

"Di tangan saya sudah ada nama sekolah yang akan menjadi juara dalam perlombaan kali ini. Bagi perwakilan juara yang disebutkan nanti, dipersilakan menaiki panggung. Tanpa berbasa-basi lagi, mari kita mulai dari juara 3 diraih oleh ..."

"Penyerahan piala dan hadiah akan dilakukan oleh dewan juri." Setelah sesi penyerahan itu selesai, MC kembali berbicara dan memberikan salam penutup. Dengan demikian, perlombaan kali ini usai sudah dengan sekolahku yang belum mendapat juara.

Aku takut menghampiri Leon, jadi aku memilih menunggu hingga dia yang menghampiriku. Bukannya Leon yang datang, justru Gemini berjalan ke arahku dengan wajah kesal.

"Liat, kan? Sekolah kita gak menang dan itu gara-gara kamu yang selalu nge-distract fokusnya Leon." Ia menunjuk-nunjukku dengan telunjuknya.

"Savira gak ada hubungannya sama kekalahan kita." Suara berat tiba-tiba terdengar.

Gemini cepat-cepat menoleh ke belakang dan mendapati Leon di sana. Tatapannya tidak lepas dari Leon yang masih berjalan menujuku hingga merangkulku. "Lawannya emang berat. Sekolah kita juga baru pertama kali ikut lomba kayak gini. Gue tau lo kecewa, tapi gak usah nyalahin Savira. Coach juga gak akan marah ke tim kita kalau kita kalah, mending lo pulang sekarang. Temen-temen yang lain udah pada bubar dan gue juga mau pulang. Yuk, Sav!" kata Leon panjang lebar demi membelaku.

Gemini hanya bisa bungkam, bahkan Leon tidak memberikannya kesempatan berbicara karena kami langsung pergi.

"Makasih, ya, udah selalu ngebela aku?"

"Pasti, sayangku. Kamu, kan, emang gak salah."

Kami tertawa bersama sambil membahas penampilan di atas panggung tadi. Bisakah hal ini ada untuk selamanya?

***

Minggu adalah jadwal klub fotografi. Itu artinya aku harus meminta maaf kepada mereka terkait kejadian kemarin.

Saat kumasuki ruangan, hanya ada dua orang yang sekarang sedang menatapku membuatku sedikit kikuk. Aku melihat jam di tangan kiriku. Aku tidak terlambat, juga tidak terlalu awal. Lalu, kenapa masih sepi? Apakah aku salah hari? Tidak mungkin, jelas-jelas kemarin adalah Sabtu. Jadi, hari ini pasti Minggu.

"Kenapa?"

Tubuhku menegang karena kaget. Aku buru-buru menjawab, "Engga, engga kenapa." Lalu, berjalan menuju kursi yang masih kosong.

Mereka berdua kembali melanjutkan pembicaraan, memilih tak acuh padaku. Daripada masih diam di sini yang terkesan seperti orang menguping, kurasa lebih baik aku pergi ke bawah untuk memesan kopi. Lalu, baru kembali ke atas setelah ada teman yang lain. Setelah menaruh tas yang kubawa dan mengambil dompet serta ponselku, aku langsung menuju pintu. Namun, gerakanku harus terhenti karena Kak Aga tiba-tiba bersuara.

"Mau ke mana?"

Aku berbalik perlahan, dengan gerakan patah-patah menunjuk pintu, aku berkata, "Ke bawah, beli kopi. Kakak lanjut ngobrol aja."

/Agatya's POV/

Savira sudah datang, tapi ia tidak duduk. Hanya meletakkan tas, mengambil ponsel dan dompetnya, lalu pergi ke arah pintu. Obrolanku dan Langit ikut pula berhenti ketika aku bertanya padanya.

Ia menjawab dengan kikuk. Setelah menjawab pun, ia masih berdiri di tempatnya. Aku melirik Langit, berusaha untuk mengisyaratkan dia untuk pergi meninggalkanku berdua dengan Savira. Seperti yang diharapkan, ia selalu paham.

Langit berdiri dari kursinya sambil berkata, "Lo mau kopi apa? Biar gue aja yang bikin ke bawah buat lo."

Savira menolak, "Engga usah, kak. Kak Langit lanjut ngobrol aja sama Kak Aga. Aku bisa pesen sendiri, kok."

Langit masih kukuh dengan kata-katanya. "Gue aja yang buatin langsung. Moccacino, right? Lagian dia juga udah engga mau ngobrol sama gue lagi. Lo tunggu sini aja, nanti gua bawa ke atas."

"Jadi engga enak, kak. Beneran gapapa?"

"Engga apa. Ini juga kerjaan gue, kan? Kalau gitu gue ke bawah dulu. Ga, lo engga mau kopi juga? Oh, iya, lo engga suka kopi! Cookies and cream mungkin?" Aku menggeleng.

"Berarti moccacino aja?" Langit kembali menatap Savira.

"Iya, kak. Makasih, ya."

Setelah Langit menghilang di balik pintu, Savira baru beranjak kembali ke tempat duduknya.

"Ka---Lo gapapa?"

"Gapapa. Emang mukaku keliatan pucat, ya?"

"Engga, bukan itu. Lo gapapa selama pacaran sama Leon?"

"Maksud kakak?"

"Are you really happy have a relationship with Leon? It's not getting toxic, right?"

"Leon itu engga toxic, kak. Dia memang agak protektif, but I'm happy with my relationship."

"Kalau hubungan kamu sama dia bikin kamu engga nyaman, putusin, ya? Ada aku. Kapanpun kamu butuh aku, aku akan berusaha untuk ada. Just call me, if you need help."

"Thanks, kak. But, I can handle it myself."

Aku bisa merasakan Savira kembali membangun benteng yang lebih tinggi dan tentu saja semakin tidak memperbolehkanku untuk masuk. Dia benar-benar ingin menjaga jarak.

***

"Lo tuh sebenarnya niat move-on engga, sih? Kalau beneran niat, engga usah peduli lagi sama Savira. Mau dia berantem, putus, atau baik-baik aja sama pacarnya, itu bukan urusan lo, Ga. Gue jadi dia juga risih sama lo. Kesannya, lo kayak memaksakan kemauan lo ke dia. Maksain mau lo ke orang yang belum punya pacar aja salah, apalagi yang udah punya." Langit mengomel panjang lebar.

Klub fotografi sudah selesai sejam yang lalu. Sekarang, Langit sedang bekerja dan aku mengajaknya mengobrol sambil ia bekerja.

"Engga semudah ngomong doang, Lang. Gue mana bisa ngeliat dia nangis disakitin cowoknya. Lo, kan, tau dia udah berkali-kali berantem sama cowoknya."

"Yang namanya hubungan, engga mungkin adem terus. Kebetulan aja kita ngeliat yang buruk-buruknya aja." Langit berhenti mengoceh karena ada pelanggan yang memesan.

Sedangkan, aku sibuk mengaduk-aduk cookies and cream dengan sedotan dan mata melihat ke Langit yang masih melayani pelanggan. Kenapa sesusah ini untuk move-on? Hasilnya sudah jelas, bukan? Jawabannya tidak. Aku jelas-jelas tidak digantung di sini, tapi aku merasa ditahan.

Setelah pelanggan tadi menuju tempat duduk, Langit menoleh padaku dan melanjutkan kata-katanya, "Kalau lo masih berharap dia putus dan balik ke lo, itu artinya lo engga niat move-on."

Kata-katanya seketika menusukku. Benarkah begitu? Benarkah aku berharap ia putus dengan Leon, lalu memilihku? Tidak. Tidak mungkin, kan?

"Gue engga bisa terima cowok itu kasar ke Savira. Kalau cowoknya memperlakukan dia dengan baik, gue yakin gue engga masalah." Kata-kata itu meluncur ke luar tanpa kuduga. Terdengar tegas dan penuh keyakinan.

Seketika muncul sebuah rencana pengintaian dalam pikiranku. Haus seketika menyergap kerongkonganku membuatku reflek meminum cookies and cream yang sedari tadi tidak tersentuh.

"Ngapain senyum-senyum sendiri? Ngerencanain apa lo? Lo engga ada niat sengaja ngerusak hubungan mereka, kan?"

"Engga, lah, Lang! Gue engga sejahat itu juga. Gue cuma mau ngintai cowoknya. Gue engga mau dia ada main di belakang Savira. Gue mau buktiin ke diri gue kalau emang Leon worth untuk Savira."

Langit hanya mengangguk-angguk dengan ekspresi wajah meremehkan. Mungkin ia mengira aku bercanda dengan ucapanku. Terserah dia mau percaya atau tidak, tapi aku akan tetap melakukan rencanaku.