Chereads / Kisah di SMA / Chapter 46 - 43. Kecewa

Chapter 46 - 43. Kecewa

[Sisi's POV]

Savira sudah berada di kamarnya. Sedangkan, aku dan Yesi sedang diinterogasi oleh mamanya.

"Kenapa Savira bisa sampai pingsan gitu? Terus, Leon ke mana? Kok bukan dia yang nganterin pulang?" kata Mama Savira sembari mendekat dengan membawa tiga cangkir teh di atas nampan.

Kami berdua saling melirik dan berbicara melalui mata. Akhirnya, Yesi yang menjawab, "Waktu mau pulang, udah pusing katanya, tan. Terus, waktu Savira pingsan, Leon enggak bisa dihubungin. Jadi, daripada kelamaan di sekolah, kita yang antar pulang."

"Kalau udah pusing, kok dia enggak langsung pulang aja? Malah pulang telat kayak gini."

Yesi terus diam beberapa saat. Aku menoleh ke arahnya dan samar kulihat ia menggeleng. Artinya, giliranku yang memutar otak. Harus cepat karena tante sudah terlihat curiga.

"Katanya tunggu pusingnya redaan, tante. Tapi, malah pingsan jadinya." Untung saja otakku sedang berjalan sekarang.

Mama Savira menghela napas. Beliau menunduk dan menggumamkan sesuatu, entah apa. Namun seketika, ia kembali menatapku dan Yesi.

"Kalian mau temani Savira di atas?" Kami berdua mengangguk. "Kalau gitu, tehnya dibawa. Suruh Savira minum tehnya kalau udah bangun," sambung beliau. Beliau hanya tetap duduk diam, terlihat sedang berpikir.

Yesi sigap mengambil nampan tersebut dan berdiri. Aku mengikutinya sambil pamit kepada Mama Savira. Di dalam kamar, Savira masih mengatupkan matanya. Wajahnya sudah tidak sepucat sebelumnya, meski masih tetap pucat. Yesi meletakkan cangkir teh beserta nampannya di atas meja kecil yang berada tepat di sebelah tempat tidur. Lalu, kami berdua duduk berhadapan di lantai yang dialasi karpet beludru, di samping tempat tidur.

Yesi melirik Savira yang masih tak sadarkan diri, aku mengikuti arah lirikannya dan kembali menatapnya.

"Kenapa?"

"Jangan kasi tahu kalau kita yang antar dia pulang! Intinya, jangan sampai dia tahu kejadian di sekolah tadi!" katanya serius dengan suara dipelankan.

Aku keberatan. Menurutku, Savira harus tahu hal yang sebenar-benarnya. "Masa kita bohong? Dia harus tahulah!" kataku sama pelannya.

Yesi menggeleng cepat, "Kamu mau dia sakit terus? Aku yakin dia pasti belajar mati-matian itu juga biar dia enggak kepikiran tentang Leon dan Gemini. Setidaknya, sampai dia baikan aja."

Kuhela napas panjang dan berpikir. Kenapa pula Savira harus terjebak dengan Leon? Aku tahu, aku termasuk salah satu orang yang meyakinkan dirinya untuk menjalin hubungan bersama Leon. Namun, kalau aku tahu akhirnya akan seperti ini, lebih baik tidak usah saja.

Ia tahu atau tidak, keduanya memiliki risiko yang sama-sama merugikan Savira. Akhirnya, aku mengangguk.

[Savira's POV]

Saat aku membuka mata seketika terlihat langit-langit kamarku. Aku mengerjap beberapa kali untuk menetralisir pandangan sembari mengingat apa yang sebelumnya terjadi. Benar, tadi aku masih di sekolah dan ada Leon di sana. Seketika aku terduduk dan menoleh ke sekitarku, mencari keberadaan Leon. Nihil, tidak ada siapa pun di sini. Hanya aku.

Pandanganku tak sengaja menangkap tiga cangkir teh, dua cangkirnya sudah kosong. "Kenapa ada tiga?" gumamku.

Tiba-tiba saja ada kepala yang timbul dari sisi kasur membuatku sedikit terlonjak dan berteriak.

"Hai!" katanya polos sambil melambaikan tangan pelan.

Itu ternyata Sisi, lalu menyusul Yesi yang ikut muncul di sebelahnya. Aku masih menetralkan detak jantungku agar kembali normal ketika Sisi dan Yesi beralih duduk di tepi tempat tidur.

"Hehe, sorry! Kaget, ya?"

Dengan tangan memegang dada, aku mengomel, "Kalian ngapain, sih? Bikin orang kaget aja. Aku hampir pingsan lagi tadi."

Mereka cengengesan. "Tadi lagi main game. Habisnya kamu lama banget bangunnya, bosen. Untung enggak ketiduran."

Aku hanya menatap kesal mereka. Lalu, aku teringat hal tadi dan langsung kutanyakan saja. "Leon di mana?"

Yesi dan Sisi tidak langsung menjawab. Mereka saling melirik terlebih dulu beberapa saat. Aku menaikkan sebelah alisku.

"Tadi dia bilang ada latihan dance mendadak, kan?" Sisi balik bertanya.

"Dia enggak jadi antar aku pulang?" kataku dengan nada sedih juga kecewa.

"Jadi," Yesi menjawab cepat. "Cuma ..." Ia menggantung ucapannya sambil melirik Sisi, meninggalkan tanda tanya di kepalaku.

"Cuma dia enggak bisa nungguin kamu sampai bangun. Padahal dia mau banget, tapi dia enggak bisa ninggalin latihan dance-nya. Penting katanya. Apalagi dia ketuanya, kan?" Sisi menyambungkan ucapan Yesi.

"Padahal aku kangen," gumamku dengan kepala menunduk.

"Udah, besok juga dia jenguk lagi. Karena kamu udah bangun, kita pulang, ya? Jangan lupa tehnya diminum." Sisi menunjuk ke arah meja kecil di sebelah tempat tidur. Aku mengangguk pelan.

Mereka pun turun ke bawah berdua. Aku disuruh untuk tetap di kamar dan istirahat saja. Sebab malas berdebat dengan kepala yang masih sedikit sakit, aku mengiyakan. Kembali kubaringkan tubuhku sambil sedikit memijat kepalaku.

Mama datang tak lama kemudian. "Masih pusing?" tanya mama saat sudah sampai di tepi ranjangku. Mama duduk di sana.

Aku mengangguk dengan mata tertutup. Lalu, kudengar helaan napas mama.

"Kamu kenapa, sih? Tumben kamu sampai pingsan gitu. Ada masalah di sekolah?" Mama mengelus lembut rambutku.

"Enggak kenapa kok, ma. Mungkin kecapekan aja habis ujian. Besok juga baikan." Mataku masih tertutup.

Lagi-lagi mama menghela napas. "Mama tahu kamu ada masalah di sekolah. Tapi kalau kamu belum mau cerita, ya udah. Intinya, apa pun masalah kamu sekarang, jangan dipikirin dulu. Kesehatan kamu lebih penting." Aku hanya diam mendengarnya.

"Mama udah masak bubur. Makan di bawah, ya?"

Aku pun ke luar dari kamar dengan mama yang memegangi kedua bahuku dari samping. Ia takut aku jatuh ketika menuruni tangga.

***

Untung saja sekolahku libur saat Sabtu dan Minggu sehingga aku tidak perlu menitip absen karena sekarang aku justru demam. Saat bangun pagi tadi, tubuhku terasa panas sekali dan sangat tidak nyaman. Sekarang, aku sendirian di kamar setelah makan dan minum obat. Mama menyuruh aku tidur, tetapi aku tidak mengantuk. Aku meraih benda pipih yang tergeletak di meja sebelahku dan menelepon seseorang yang benar-benar kurindukan.

"Iya, Sav? Kenapa?" Mendengar suaranya saja langsung membuatku merasa lebih baik.

"Kamu enggak mau ke sini? Aku kangen," kataku blak-blakan.

"Kamu sakit, ya? Suara kamu beda gitu. Ya udah, aku ke sana sekarang. Mau dibawain apa? Bubur?"

Muncul bulan sabit di bibirku. "Aku udah makan tadi. Kamu ke sini aja, enggak usah bawa apa-apa."

Setelah beberapa kalimat terakhir, aku mengakhiri panggilan itu. Guling yang kuanggurkan di sisiku langsung kupeluk erat, sekaligus kugunakan untuk menahan teriakanku. Aku bergerak heboh, menggoyangkan tubuhku ke kanan dan ke kiri karena terlalu senang. Namun, segera kuhentikan hal itu karena kepalaku menjadi pusing. Aku lupa kalau aku masih sakit dan aku menertawai kebodohanku itu.

Sambil menunggu Leon, aku berandai-andai apa yang kira-kira akan terjadi nanti. Membayangkannya saja sudah membuatku senyum sendiri dan salah tingkah. Tak lama, Leon pun datang. Aku mendengar Leon menyapa mama, lalu menyusul suara langkah kaki yang menginjak anak tangga. Aku menatap pintu kamar dengan jantung berdebar. Semakin berdebar ketika terdengar pelan ketukan pintu.

"Masuk!" Aku mengatakannya dengan suara sedikit bergetar.

Pintu perlahan terbuka menampakkan sesosok pria dengan balutan kaus putih polos yang ditutupi kemeja flanel, juga celana ripped jeans hitam semakin membuatnya tampak menawan. Outfit sederhana darinya yang selalu menjadi favoritku.

"Leon!" rengekku dari tempat tidur sambil merentangkan tangan, berniat memeluknya.

Ia segera menghampiri dan memelukku erat. "Kangen, ya? Baru juga ketemu, udah sakit aja."

"Hehe, sakit disiksa rindu," jawabku dengan nada bercanda.

"Masa masih sakit, sih? Itu udah bisa bercanda," katanya sambil melepas pelukan, lalu mencolek pelan hidungku.

Tak ada hal lain yang kami lakukan selain berbincang untuk melepas kerinduan. Sekaligus, melepas keraguanku terkait berita tidak mengenakkan itu. Selama berbicara dengan Leon, aku merasa lebih tenang.

"Makasih, ya, udah antar aku pulang kemarin. Pasti susah, ya? Apalagi aku pingsan kemarin," celetukku dengan senyuman ketika kami sudah kehabisan bahan obrolan.

Bukannya menjawab, Leon mengerutkan keningnya. Lalu, ia menaikkan kedua alisnya seperti meminta penjelasan.

"Kamu, kan yang antar aku pulang kemarin?" Aku bertanya memastikan, masih mempertahankan senyumku.

Leon menggeleng pelan, "Bukannya terakhir kamu sama Sisi dan Yesi?" Ia justru balik bertanya.

Senyumku seketika memudar. Ternyata bukan Leon. Itu berarti, Sisi dan Yesi sudah berbohong kepadaku. Suasana di antara kami seketika menjadi hening. Namun, keheningan itu seketika dipecah oleh nada dering dari ponsel Leon.

"Sebentar, ya? Aku angkat telepon dulu," ucapnya, lalu segera ke luar dari kamarku.

Aku tidak sempat menjawab apa pun. Melirik siapa yang menelepon Leon pun tidak. Kabar yang baru saja kudapati tadi lebih menyita isi pikiranku. Bukan Leon. Padahal, aku yakin ia tahu bahwa aku pingsan tepat di hadapannya. Meskipun sebelumnya ia memang mengatakan tidak bisa mengantarku pulang, tetapi apa kata tidak bisa itu masih tetap sama ketika tahu aku pingsan?

Pintu kembali terbuka. Ia menghampiriku hanya untuk berkata bahwa ia harus pergi. Ada latihan dance, katanya. Aku hanya menatap matanya dengan raut kecewa. Namun, sepertinya ia tidak peduli karena ia langsung pergi begitu saja setelah mengucapkan selamat tinggal. Mataku seketika berair.

Denting notifikasi membuyarkan tangisku sejenak. Aku meraih ponsel, itu dari grupku (Sisi, Yesi, dan aku).

Yesi : [Kita ke sana, ya, Sav?]

[Jangan sekarang. Besok aja]

Langsung kumatikan ponselku agar tak ada yang bisa mengganggu kesedihanku ini. Aku merebahkan tubuhku dan membiarkan air mata ini terus mengalir. Hingga hari siang, aku hanya berdiam diri di ranjang. Air mataku sudah mengering, aku lelah menangis.

"Savira, makan lagi, yuk! Udah siang, waktunya kamu minum obat lagi." Mama masuk ke kamar.

Aku memanfaatkan posisiku yang dari awal sudah membelakangi pintu dengan pura-pura tidur. Nafsu makanku hilang. Aku sakit saja Leon tidak peduli, apalagi kalau aku baik-baik saja.

"Tidur, ya? Yah, terpaksa tunggu bangun dulu."

Sepertinya mama langsung ke luar setelah mengatakan itu. Entahlah. Aku memilih merapatkan selimutku dan benar-benar tidur.