Chereads / Kisah di SMA / Chapter 50 - 47. Sudah Berakhir

Chapter 50 - 47. Sudah Berakhir

Saat itu, Agatya langsung menceritakan segalanya kepadaku. Dari nada suaranya, aku tahu ia juga merasa berat untuk mengatakannya. Ia menghembuskan napas berat setelah ceritanya usai. Pandanganku masih tertuju pada dunia luar yang terlihat berisik. Aku tak bergerak sedikit pun, menoleh pun tidak. Hanya telingaku yang masih mendengar.

"Kamu bakal tetep pertahanin hubungan kayak gitu?" tanya Aga karena aku tak kunjung bicara.

Aku menoleh, menatapnya dengan perasaan kosong. "Leon cuma bosen aja, kan? Dia bakal lupa sama Gemini dan balik ke aku," kataku dengan sedikit ragu.

"Kamu sendiri bahkan engga yakin sama kata-kata kamu," skakmat Agatya.

Ternyata, ia bisa merasakan nada keraguan dalam suaraku. "Kalaupun memang Leon bosen, dia tetap engga boleh kayak gitu. Pilihannya cuma dua, Sav. Putusin Leon atau kamu yang terus makan hati," sambungnya.

"Aku engga mau Leon pergi." Aku menjawab pelan.

"Kalau kalian terus begini, ujungnya juga bakal sama, kan? Cepat atau lambat, Leon akan mutusin kamu." Agatya terlihat frustasi, mungkin karena ia kesal denganku yang plin-plan. "Kalau dia yang mulai hubungan itu, berarti kamu yang harus mengakhiri saat semuanya udah engga benar. Apalagi, dalam kasus kamu, Leon yang salah," sambungnya dengan suara membujuk.

Kata-kata Agatya benar-benar mendesakku untuk mengambil keputusan secepatnya. Seharusnya memang tidak perlu waktu lama karena hanya ada satu jawaban masuk akal. Selingkuh adalah hal yang salah dan sebagai korban, aku berhak memutuskan hubunganku dengannya. Tetapi, kenapa rasanya sangat sulit?

Akhirnya, aku pergi tanpa memberikan jawaban apa pun pada Agatya. Bahkan, aku pergi tanpa meminum sedikit pun moccacino yang terletak di meja. Pikiranku sekarang sama rumitnya dengan keadaan jalan yang berisik dan ramai.

Agatya mengantarku sampai rumah. Selama perjalanan, kami hanya diam. Begitu pun saat sudah sampai, aku hanya mengucapkan 'hati-hati' lalu masuk ke dalam. Ternyata, hubungan ini memang sudah tidak bisa diselamatkan. Aku langsung menangis di kamar ketika aku menyadari bahwa mama benar. Mama benar tentang lelaki yang akan selalu membuat perempuannya menangis jika ia sudah pernah melakukannya sekali.

Tiba-tiba saja, mama masuk ke kamarku tanpa ketukan pintu atau salam apa pun. Mama biasanya jarang melakukan hal itu, sekalipun pintu tidak terkunci. Mungkin beliau tahu bahwa anak perempuan semata wayangnya sedang tidak baik-baik saja. Kata orang, insting seorang ibu itu kuat.

"Kenapa, Sav? Ada masalah? Mama udah lama engga liat kamu bareng Leon. Lagi berantem?" tanya mama langsung pada intinya. Mungkin karena ia juga sudah melihat diriku yang menangis.

"Mama bener tentang Leon, dan juga tentang cowok," jawabku getir karena separuh diriku tidak mau mengakui kebenarannya.

"Leon kenapa?" tanya Mama lembut sambil mengelus kepalaku pelan. Ia sudah duduk di tepi ranjang, menghadapku yang sedang tengkurap.

Lidahku kelu, tak kuasa menjawab pertanyaan itu. "Dia selingkuh," kataku akhirnya. Meski hanya dua kata, butuh kekuatan yang besar untuk mengatakannya.

Mendengar itu, mama hanya menghela napas, lalu berkata, "Jadi gimana? Udah kamu putusin?" Reaksi yang sama sekali tidak ada dalam bayanganku.

Aku menggeleng, "Engga segampang itu, Ma. Aku sayang sama Leon. Aku engga mau dia pergi."

"Tapi dia udah pergi, kan? Mama tahu kamu sayang sama Leon. Justru karena kamu sayang, kamu harus putusin dia. Cinta itu engga harus memiliki. Memang kamu engga salah. Tapi, kalau cuma kamu yang pertahanin hubungan itu, emang bakal bisa? Ujungnya juga bakal sama, kan? Kalau bukan kamu yang putusin, berarti Leon. Akhirnya, kamu juga yang sakit."

Astaga! Ucapan mama mirip sekali dengan kata-kata Agatya. Akhir dari hubunganku dan Leon akan sama, bukan? Kandas. Ternyata, memang tak ada cara untuk mengembalikan semuanya seperti semula.

***

Esoknya, aku mendatangi Leon ke kelas saat bel pulang sekolah berbunyi. Hatiku semakin tertikam melihat Leon yang menunggui Gemini yang masih merapikan alat tulis dan bukunya, tapi aku tidak boleh menangis. Setidaknya jangan dulu saat aku belum mendengarkan apa-apa dari mulutnya sendiri. Entahlah. Rasanya semua bukti tidak pernah cukup meyakinkan, selain dari mulut Leon sendiri.

"Leon, bisa bicara sebentar? Berdua?" tanyaku padanya saat aku sudah berhadap-hadapan dengan Leon juga Gemini.

Ia tidak langsung menjawab, lebih dulu melirik perempuan di sebelahnya seakan meminta izin darinya. Siapa sebenarnya Gemini bagimu, Leon? Kamu lupa janjimu kepadaku?

Gemini hanya tersenyum tipis sebagai respon. Lalu, Leon kembali mengarahkan pandangannya kepadaku. Ia menganggukkan kepalanya. Aku langsung berjalan lebih dulu, disusul dengan Leon. Aku pergi ke lorong kosong di belakang kelas agar sepi dan dekat. Leon hanya diam mengikuti.

Sampai di sana, aku menghadapkan diriku dengan Leon dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Tanpa basa-basi, aku langsung bertanya.

"Kamu udah lama dekat sama Gemini?" tanyaku, meski aku sudah mengetahui jawabannya.

"Hm? Perasaan biasa aja, engga terlalu dekat. Aku masih sayang kamu, kok." Leon mengatakannya sambil mengelus rambutku.

Aku menepis tangannya dan berkata, "Bohong!" Mataku sudah mulai berkaca-kaca. Sudah begini saja, ia masih bisa berbohong. Tidak sadarkah ia atas kerenggangan yang terjadi di antara kami?

"Aku engga bohong, sayang. Aku sama Gemini engga dekat." Setelah ia menarik tangannya, kini ia meraih dan menggenggam tangan kananku.

"Kalau engga dekat, kenapa kamu tungguin dia di kelas tadi? Kenapa juga kamu tadi engga langsung jawab pertanyaanku dan justru noleh ke Gemini? Kamu sembunyiin apa dari aku?" Intonasi suaraku kian meninggi.

"Aku ada kerja kelompok sama dia sekarang," jawabnya acuh tak acuh

Aku menghela napas panjang sebelum kembali berkata. "Kerja kelompok apalagi? Bukannya semua ujian udah selesai? Udah engga ada lomba dance lagi juga, kan?" Suaraku yang tadi tinggi menjadi pelan seketika. Setidaknya, kalau ia ingin berbohong, katakan alasan yang lebih masuk akal.

"Terus kenapa harus janjian ke mal waktu aku lagi sakit? Sekarang kamu juga lebih pilih antar-jemput dia dibandingkan aku? Kamu anggap aku apa, sih? Jangan lupa kamu yang mulai semuanya! Kamu yang janji bakal terus sama aku." Aku meninggikan suaraku di akhir kalimat.

Tak kusangka, Leon mengakhiri sandiwaranya lebih cepat. Ia akhirnya mengaku dengan wajah tak bersalah. Bahkan, ia masih sempat terkekeh pelan. "Oke, aku ngaku. Aku emang dekat sama Gemini, ke mall bareng, antar-jemput dia. Iya, aku lebih pilih dia daripada kamu. Puas?"

Tubuhku terpaku mendengar penuturan panjang Leon. Mataku sudah jelas menyiratkan kekecewaan yang mendalam hingga air mataku berhasil meloloskan diri. Aku tidak langsung menjawab. Aku hanya menatap matanya dalam, berharap ada tanda kebohongan di sana. Berharap kalau semua itu tidak sungguhan. Sebaliknya, mata Leon balik menantang. Ia merasa menang.

"Aku engga nyuruh kamu untuk percaya sama semua kata-kata aku. Mungkin emang aku yang mulai hubungan ini, tapi ini juga dimulai karena kamu juga setuju," sambungnya. Bukannya meminta maaf atau sekadar merasa bersalah, ia justru balik menyalahkanku.

"Aku setuju bukan untuk akhir yang kayak gini," gumamku pelan dengan kepala menunduk. Lelaki di hadapanku ini siapa? Leon? Aku tidak mengenal Leon yang di hadapanku ini. Hanya setahun. Tidak, belum setahun. Ia sudah berubah banyak.

"Kamu yang janji sama aku. Kamu yang bikin hubungan ini ada. Terus, kamu juga yang mau hubungan ini berakhir? Semudah itu kamu lupa?Kamu bahkan engga merasa bersalah." Aku bergetar mengucapkannya.

"Aku engga peduli, Savira. Sama kamu, semuanya terasa biasa aja. Kamu terlalu serius tentang hidup. Sedangkan, Gemini beda. Dia bisa bikin aku ngerasain kegilaan dunia yang engga pernah aku temuin di kamu." Begitu katanya.

Ah, itukah alasannya? Aku terlalu serius dan tidak seru . Mungkin, ia tidak mendapatkan sensasi kupu-kupu berterbangan dalam perutnya ketika bersamaku. Tiba-tiba, aku merasa bersalah dan sedih. Aku baru sadar kalau aku bukan pacar yang baik.

"Maaf soal itu. Aku bukan pacar yang baik, ya? Kamu memang lebih cocok sama Gemini." Aku mengatakannya sambil menunduk dan menggigit bibir bawahku. "Kita putus, ya? Maaf ganggu waktu kamu."

Berat sekali mengatakannya. Aku bahkan tak bisa menatap matanya lagi atau sekadar berdiri di hadapannya. Maka, aku langsung pergi dari sana selepas mengatakannya. Aku tidak tahu apa yang Leon lakukan karena aku terus menunduk. Bulir air mata pun jatuh satu per satu dengan derasnya. Tidak ada siapa-siapa selain diriku. Sisi dan Yesi sudah kusuruh pulang lebih dulu. Keputusan yang sekarang kusesali. Nyatanya, aku tidak pernah bisa baik-baik saja setelah mengetahuinya. Sudah berapa kali aku membohongi diri sendiri?