Hari sudah mulai gelap. Aku belum juga pulang ke rumah. Ponselku sengaja kumatikan. Untuk saat ini saja, aku tidak mau diganggu dengan panggilan telepon atau pun spam chat. Bisa dipastikan, tidak akan ada yang bisa menemukanku di sini. Bahkan, aku sendiri baru sekali ke mari. Sengaja tidak kulangkahkan kakiku menuju Taman Rasa—taman yang selalu menjadi tempatku melarikan diri dari kenyataan. Ke sana hanya membuatku melanglang buana ke masa lalu, tepatnya saat aku dan lelaki itu berada di sana. Setiap sudut taman sudah pernah kujelajahi bersamanya, meninggalkan kenangan tak terlupakan yang akan selalu terbayang jika aku pergi ke sana. Dengan kondisi sekarang, aku tidak mungkin menenangkan diri di sana.
Akhirnya, aku sampai juga. Bukan, bukan sampai rumah. Tempat ini cukup jauh dari rumahku dan sangat ramai. Aku memang tidak mencari keheningan, melainkan kehangatan. Mungkin atmosfer kebahagiaan yang selalu tercipta di sini dapat menghibur relung hatiku, sebentar pun tak apa.
Sengaja kupilih kursi yang dekat dengan jendela agar aku bisa melihat keriuhan jalanan yang semakin ramai saat malam. Pesanan moccacino hangat sudah sampai ke mejaku.
"Makasih, Kak," ucapku sambil tersenyum tipis sekali. Lalu, barista itu pergi untuk mengantarkan pesanan yang lain.
Pandanganku kembali teralih ke luar ruangan. Aku memangku dagu dengan telapak tangan. Air mata kembali turun ke pipiku. Kubiarkan bulir-bulir air terus berjatuhan, tanpa berniat menyekanya sedikit pun. Pikiranku masih melayang pada kejadian berjam-jam yang lalu.
"Permisi, aku boleh duduk di sini?" kata seorang perempuan dengan laptop di tangan.
Aku menoleh dan mengangguk. Buru-buru kuseka jejak air mata yang masih tersisa. Mana mungkin aku menunjukkan tangisanku pada orang asing? Dengan gerak kikuk, aku meraih cangkir kopiku yang ternyata sudah dingin. Entah berapa lama aku melamun menatap jalanan luar. Kusesap perlahan, meski tak berminat.
"Aku ganggu, ya?" tanya perempuan itu lagi. Sekarang, ia sudah menyalakan laptop miliknya.
Aku menggeleng pelan. Justru aku merasa bersyukur karena mendapat pengalihan. Meski sebenarnya, aku masih belum mau mengobrol dengan siapa pun.
"Habis putus, ya? Engga mau pulang ke rumah dulu? Itu masih pake seragam gitu." Perempuan itu menebak dengan tepat.
Aku hanya bisa tersenyum tipis, bingung harus merespon apa. "Jangan sampai engga pulang! Orang tua kamu pasti khawatir. Jangan mikirin orang yang engga mikirin kamu! Apalagi udah bikin sakit. Masih ada banyak orang yang sayang sama kamu," ceramahnya dengan suara lembut.
Aku tertegun. Kenapa ia seakan paham sekali dengan kondisiku sekarang? Aku bahkan sama sekali tidak bersuara. Apa kondisi dan ekspresiku se-mengenaskan itu? Aku pamit ke toilet sebentar untuk melihat sekaligus membenarkan penampilanku.
Di cermin, mataku sembap. Terlihat sekali aku menangis hampir seharian. Rambutku juga berantakan akibat tertiup angin sepanjang perjalanan. Wajahku kusam akibat debu, minyak dan aliran asin yang sudah mengering di pipi. Ditambah lagi dengan seragam putih-abu yang masih melekat di tubuh. Sangat wajar jika ada seseorang yang bisa menebak kejadian yang kualami dengan kondisi seperti ini.
Baiklah. Aku tidak mungkin pulang dengan kondisi seburuk ini. Mereka sudah cukup khawatir dengan kehilanganku. Setidaknya, aku harus kembali dengan perasaan yang lebih baik. Aku membasuh wajahku dengan air, lalu mengeringkannya dengan tisu. Kulepas juga ikatan rambutku dan menyisirnya sedikit dengan tangan, lalu kembali mengikatnya. Aku juga menyalakan ponselku kembali dan ratusan notif langsung kudapatkan. Oh, dan satu panggilan yang baru saja masuk. Dari Agatya.
"Kamu di mana? Shareloc sekarang! Aku jemput." Suara Agatya seketika terdengar cemas ketika aku memutuskan untuk mengangkatnya.
"Engga usah. Aku bisa cari ojol," tolakku.
"Engga, Sav. Udah malem. Aku ke sana. Bilang kamu di mana? Kalau aku engga jemput, kamu engga akan pulang." Agatya masih memaksa.
Aku menghela napas panjang dan akhirnya mengiyakan, "Aku di WarunKosong," jawabku singkat dan pelan.
"Oke. Aku ke sana sekarang. Jangan kemana-mana!" Sambungan telepon segera terputus setelahnya.
Aku hanya bisa menghela napas kasar. Mengapa Agatya masih saja baik dengannya? Bukankah ia tidak pernah membalas perasaan lelaki itu? Tidakkah hati lelaki itu sama hancurnya dengan hatiku saat ini? Bagaimana ia bisa tahan untuk tetap dekat denganku?
Setelah itu, aku keluar dari toilet, menuju kursiku tadi. Perempuan itu pun masih duduk di sana, sibuk mengetik sesuatu di laptopnya. Aku duduk di hadapannya, tempatku tadi. Kembali kuraih cangkir yang masih sedikit menyisakan mocaccino.
"Masih belum mau pulang?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.
Aku melihatnya dan menjawab pelan, "Temanku mau jemput."
Hening. Tak ada percakapan lagi di antara kami. Hanya terdengar suara ketikan yang tak berkurang kecepatannya. Ikut tak peduli, aku menatap ke luar. Kopiku sudah habis tak bersisa saat aku melihat sosok lelaki yang kukenali memarkirkan motornya dan segera masuk ke dalam. Pandangannya menyapu sekeliling dan berhenti padaku. Raut wajah yang awalnya cemas menjadi penuh kelegaan. Ia menghampiriku.
"Akhirnya ketemu. Aku kira kamu bakal bohong lagi. Mau pulang sekarang?"
Aku mengangguk. Kulirik sekilas perempuan di depanku yang masih asik mengetik. Dengan ragu, aku berkata padanya, "Aku pulang dulu, Kak." Ia tak menjawab ataupun menoleh. Telinganya seakan tuli, padahal ia sedang tidak menggunakan earphone.
Meski begitu, aku tetap beranjak dari kursi. Mengikuti langkah Agatya yang berjalan di depanku sambil menggenggam lembut pergelangan tanganku.
***
Mama langsung memelukku erat sambil menangis. Raut wajah papa pun tak elak dari kecemasan. Sisi dan Yesi juga terlihat berdiri tak jauh dariku, sama khawatirnya. Iya, aku sudah sampai rumah. Agatya masih berdiri di belakangku. Lalu aku? Aku hanya berdiri diam, balas memeluk mama yang masih menangis.
"Tante, kita masuk ke dalam dulu, yuk!" ucap Agatya lembut. Pasalnya, kami memang masih berada di ambang pintu.
Mama melepas pelukannya, lalu mengangguk. Ia menuntunku masuk ke ruang tamu, diikuti yang lain. Aku duduk di sofa, di sebelah mama yang sedang mengusap lembut pipiku. Sedangkan, Papa baru kembali dari dapur dengan segelas air yang langsung diserahkan padaku. Aku menerimanya, tapi tidak kuminum. Justru aku meletakkan gelas itu pada meja, lalu menyenderkan kepalaku pada bahu mama.
"Maaf udah bikin khawatir," kataku pelan.
"Gapapa, mama ngerti," balas mama sambil mengelus puncak kepalaku.
Hari itu berakhir begitu saja. Mereka sama sekali tidak meminta penjelasan atau alasan apa pun kepadaku. Mungkin mereka sudah tahu alasannya. Bagaimanapun juga, rasa sakit tidak bisa seketika lenyap seperti bintang saat siang. Benar-benar seperti bintang ketika langit terang. Ia masih di sana, hanya saja tidak terlihat.
Melamun hingga menangis sudah menjadi kebiasaan baruku sejak hari itu. Buku dan musik tidak lagi menjadi tempat bersenang-senang. Semuanya sudah menjadi tempat kenangan yang tak aku inginkan. Membaca buku dan mendengar musik hanya selalu membawaku padanya. Sisi dan Yesi pun sudah susah payah menghibur dan mengalihkan perhatianku, tapi mereka selalu gagal. Melamun lagi-lagi menjadi hal favorit untuk kulakukan.
***
Sudah dua minggu berlalu. Ketidaksibukan ketika libur pergantian semester semakin memperparah kondisiku. Tidak berselera makan, lebih sering melamun, menangis di malam hari, terus begitu.
Agatya
Kamu mau izin lagi hari ini?
Mendingan ikut, ya? Biar engga melamun terus. Aku jemput, ya?
Savira
Terserah
Agatya
Aku jemput. Kamu siap-siap, oke?
Selain keluarga dan dua sahabatku, ada Agatya juga yang kadang menemaniku. Minggu-minggu sebelumnya, aku sama sekali tidak berselera mengikuti klub fotografi lagi. Agatya pun tak pernah memaksa. Baru kali ini ia begitu.
Dengan langkah lesu, aku tetap bersiap-siap dan mengambil kamera yang sudah cukup berdebu karena tak pernah kusentuh lagi. Setelah itu turun ke bawah dan duduk di sofa, menunggu Agatya datang.
"Mau ke mana? Ada yang jemput?" tanya Mama. Aku tidak menoleh, hanya mengangguk.
"Makan dulu, ya?" ujarnya lagi yang langsung kujawab dengan gelengan kepala.
Mama menyerah. Ia tahu betul bahwa tidak ada seorang pun yang bisa memaksaku. Jika ia tetap melakukannya, hanya akan semakin memperburuk keadaan.
Tak lama, suara pagar terbuka terdengar. Aku berdiri dari sofa dan berjalan ke pintu dengan langkah gontai. Saat kubuka, sudah ada Agatya dengan pakaian rapinya.
"Hai! Udah siap?" Aku mengangguk.
"Aku izin ke mama kamu dulu," katanya. Ia mengarahkan pandangan ke belakangku, tempat mama berdiri. "Aga ajak Savira ke klub foto, ya, Tan? Sekalian Aga ajak jalan-jalan sebentar." Agatya menyalim tangan Mama.
"Iya. Ajak makan juga. Savira belum makan dari pagi."
"Siap, Tante! Kalau gitu, Aga sama Savira pergi dulu." Setelahnya, kami segera berangkat