Chereads / Kisah di SMA / Chapter 53 - 50. Arti Sahabat

Chapter 53 - 50. Arti Sahabat

[Savira's POV]

Waktu berjalan dengan cepat seiring dengan kondisiku yang cukup membaik. Masih belum sepenuhnya, tapi kurasa tidak terlalu buruk. Tentu saja aku harus berterima kasih pada mereka semua atas segala usaha mereka untuk menghiburku, terutama dua sahabatku dan juga Agatya.

Besok sudah saatnya untuk kembali menghadapi realita. Entah akan sanggup atau tidak diriku melihat mantan pacarku bermesraan dengan perempuan lain. Kurasa aku harus bersyukur karena tidak sekelas dengannya. Jangan-jangan memang ini tujuannya? Semesta, aku tidak tahu harus berterima kasih atau marah padamu.

Pintu kamarku diketuk perlahan, lalu terbuka lebar menampilkan dua perempuan yang sedang tersenyum lebar. Mereka masuk, salah satunya menutup pintu terlebih dahulu dan satunya langsung menghambur pada kasurku.

"Kebiasaan engga ngabarin mau ke sini. Kenapa?" Aku menatap gadis-gadis itu dengan sedikit perasaan jengkel.

"Engga kenapa. Cuma mau main. Besok udah masuk lagi dan bakal sibuk sama soal-soal. Sekalian memastikan sesuatu. Are you ready for tomorrow?" kata Sisi. Ia sudah merebahkan tubuhnya di atas ranjang dengan kedua kaki masih menyentuh lantai.

Yesi mengangguk-angguk. Ia duduk di kursi belajarku sambil membuka camilan yang dibawanya.

"Semoga aja siap," ucapku pasrah sambil mengedikkan bahu.

Pertanyaan yang tidak akan bisa kujawab hingga aku menghadapinya langsung. Selama liburan semester, aku sama sekali tidak menghubunginya ataupun melihat batang hidungnya. Tidak ada keberanian untuk bertemu lagi dengannya. Lagipula, untuk apa juga? Bukankah semuanya memang sudah berakhir sejak hari itu? Hari di mana ia mengatakan bahwa ia lebih memilih Gemini dibandingkan diriku. Ah, mengingat hal itu membuatku sedih lagi.

Menyadari perubahan wajahku, Yesi mengalihkan topik pembicaraan, masih dengan sisa kunyahan di mulutnya, "Daripada itu, Si, Sav, sebentar lagi kita kuliah. Kalian udah yakin mau ambil jurusan apa dan di mana nanti?"

Sisi mengerucutkan bibirnya, sebal. Ia bangkit dari kegiatan rebahannya dan menatap Yesi. "Aduh, Yes! Tujuan kita ke sini bukan untuk memusingkan hal itu. Kita pikirkan itu mulai besok, oke? Sekarang cuma boleh bersenang-senang."

Hari ini kami benar-benar bersenang-senang. Sisi dan Yesi ternyata tinggal untuk menginap sehari. Katanya, mereka harus selalu ada di sisiku besok. Mereka tidak mau mengulang kejadian di mana aku menghilang tanpa jejak karena patah hati. Jujur saja, mereka sedikit berlebihan, walau aku mengerti alasannya. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri tidak akan begitu lagi lain kali. Jadi, tidak perlu terlalu khawatir. Tetapi, kalau mereka setuju, justru akan menjadi aneh karena mereka tidak pernah mengulang kesalahan yang sama.

***

Hari yang gelap perlahan menerang dimulai dari bagian timur. Saat matahari sudah benar-benar menampakkan dirinya di langit, aku, Sisi, dan Yesi sudah sampai di sekolah. Kami sengaja berangkat pagi-pagi agar meminimalisir pertemuan dengan orang-orang yang tak diinginkan. Kelas masih sepi, hanya ada beberapa teman yang sudah datang. Seperti biasa, Sisi diam di kelasku hingga bel berbunyi.

Kamu bertiga sibuk dengan urusan masing-masing. Sisi dan Yesi sibuk dengan ponsel mereka, sedangkan aku sibuk menatap ke luar jendela. Tidak ada hal spesial atau mengejutkan, setidaknya hingga jam istirahat pertama tiba.

Aku, Sisi, dan Yesi pergi beriringan menuju kantin untuk mengisi perut. Karena kami berangkat pagi-pagi sekali, tidak ada yang sempat sarapan. Kantin penuh dengan cepat dan kami hampir tidak mendapatkan tempat duduk. Sebenarnya masih ada satu meja yang belum penuh, tapi ...

"Gapapa duduk sama mereka?" tanya Sisi.

Kami sedang menunggu pesanan batagor dan es teh manis di dekat penjualnya. Tidak jauh dari tempatku berdiri, ada dua sejoli duduk bersebelahan, sedang memakan bakso. Pandanganku tak lepas dari mereka. Masih menimbang-nimbang keputusanku.

"Ya, mau gimana lagi? Itu aja yang masih kosong. Kita juga udah pesen makan," ucapku akhirnya.

Setelah berdebat singkat dengan diriku sendiri, akhirnya aku setuju. Tidak ada salahnya menyapa mantan dengan pacar barunya, bukan? Lagipula, cepat atau lambat aku pasti akan berhadap-hadapan dengan mereka. Beruntung masih ada Sisi dan Yesi sekarang.

Kami segera menuju meja yang masih mampu memuat empat orang lagi. Sisi dan Yesi berjalan di depan, aku mengikuti di belakang dengan nampan yang kupegang erat.

"Boleh gabung? Meja lain udah penuh soalnya," tanya Yesi seolah tidak pernah mengenal mereka.

Mereka berdua mendongak. Sempat terbaca mimik kaget di mata Leon dan senyum sinis di bibir Gemini, tetapi segera kembali normal layaknya bukan masalah besar. "Duduk aja." Gemini yang menjawab. Ia tersenyum lebar dan ramah. Aku tahu itu adalah ekspresi mengejek akan keberhasilannya.

Kami bertiga duduk bersebelahan dengan Sisi yang berada di tengah. Aku tidak langsung melahap batagorku. Pandanganku masih tertuju pada mereka berdua yang juga masih menatap kami. Sisi dan Yesi sudah mulai sibuk dengan batagor mereka, tidak memedulikan dua orang di depannya.

Gemini mengalihkan pandangannya padaku dan melontarkan pertanyaan, "Apa kabar, Sav? Udah lama kita engga ketemu lagi." Ia menyunggingkan senyum, tidak merasa bersalah.

"Baik. Lo sendiri gimana? Udah ngerasa bersalah belum? Kayaknya engga, ya? Pelakor mah seneng udah berhasil ngerebut pacar orang."

Tidak. Bukan aku yang menjawab. Itu adalah suara ketus Sisi. Tatapannya masih jatuh kepada batagor, tidak melirik Gemini sama sekali. Wajahnya pun terlihat sangat santai, bahkan menantang.

Perempuan yang disebut pelakor itu menoleh kesal ke arah Sisi. "Gue bukan pelakor." Suara Gemini penuh dengan penekanan di setiap katanya.

"Terus apa? Lo jelas-jelas tau kalau Leon udah punya pacar. Masih aja kegatelan. Apa dong namanya kalau bukan pelakor? Pelacur?" Sisi baru mendongakkan kepalanya ketika mengucapkan kata 'pelacur'.

Emosi Gemini seketika memuncak. Ia langsung menggebrak meja dan berdiri dari kursinya. Sisi masih duduk dengan tenangnya, menatap Gemini santai. "Apa? Ucapan gue salah?" Sisi kembali memancing emosi perempuan di depannya.

Aku buru-buru menyentuh pundak Sisi dan berkata, "Jangan mancing emosi, Si. Kita lagi di kantin," bisikku padanya. Mata orang-orang mulai menatap penasaran ke arah kami.

"Terus kenapa, Sav? Biarin aja. Biar orang-orang tau kalau cewek yang pintar di sekolah ini juga pintar ngerebut pacar orang." Sisi menjawab santai pertanyaanku. Beruntung volume suaranya masih normal, jadi orang yang tidak berkepentingan belum tentu mendengar.

"Duduk, Gem!" titah Leon dengan nada dingin sebelum Gemini sempat membalas ucapan Sisi.

Gemini awalnya keberatan dan hendak membantah. Namun, demi mendengar suara Leon yang sama dinginnya untuk kedua kalinya, ia akhirnya menurut. Gemini memutuskan untuk sibuk dengan makanannya. Begitupun dengan Sisi. Obrolan singkat yang panas itu usai begitu saja. Perhatian orang-orang di kantin juga mulai buyar, memilih fokus pada kegiatan mereka masing-masing. Hanya aku yang masih sedikit kaku menyendok batagor ke mulutku.

Meja kami hening cukup lama hingga semua piring di atas meja tandas. Aku terus menatap piringku yang sudah kosong dengan sedikit sisa bumbu kacang. Entah kenapa, belum ada yang mau pergi.

"Lain kali, ajarin sahabat lo sopan santun. Bukan langsung ngatain hal engga jelas kayak tadi." Suara berat itu tiba-tiba mengisi keheningan di antara kami membuatku reflek menatapnya—yang ternyata juga sedang menatapku.

Setelahnya, ia langsung berdiri menggenggam tangan Gemini, lalu menjauh dari area kantin. Aku terpaku menatap punggung mereka yang perlahan menghilang di antara banyak orang. Otakku masih berusaha mencerna kata-kata yang keluar dari mulut lelaki itu.

Sedangkan, Sisi sudah berteriak garang, "Bela aja terus selingkuhan lo itu! Cowok bego emang pantes sama cewek gatel."

"Lo yang perlu diajarin sopan santun, Berengsek!" Tak kusangka, Yesi juga ikut mengata-ngatai orang itu.

"Bisa-bisanya dulu gue dukung lo sama cowok bangsat kayak gitu. Lo engga kena pelet, kan?" Sisi kini beralih melihatku. Ia misuh-misuh sendiri. "Astaga! Gara-gara mereka aku ikut-ikutan pake 'gue-lo'."

"Tenang, Sav! Engga usah sedih. Cowok kayak dia engga perlu ditangisin. He's not worth for you," hibur Yesi.

Aku tersenyum tulus pada mereka. Mataku mulai berkaca-kaca. Mereka membelaku sampai harus mengucapkan kata-kata kasar. Mungkin terdengar tidak sopan, tetapi itu sangat mengharukan. Mereka benar. Untuk apa aku menangisi lelaki itu lagi? Aku sudah memiliki dua orang yang berpuluh atau bahkan beratus kali lipat lebih baik darinya, yang selalu ada bersamaku. Tanpanya pun, aku bisa hidup dengan baik. Ya, akan aku buktikan bahwa aku baik-baik saja tanpa dirinya.