Suara motor terdengar mendekati rumahku, lalu hening. Disusul dengan suara gerbang terbuka. Aku segera bangkit dari sofa menuju pintu dan membukanya untuk melihat siapa yang datang. Itu Kak Agatya. Ia berdiri di dekat gerbang sambil tersenyum lebar. Tubuhnya yang lebih tinggi dariku memakai kemeja putih yang lengannya dilipat hingga pergelangan tangan dan dibaluti vest hitam rajut, ditambah dengan celana panjang hitam. Penampilannya yang seperti itu terlihat aneh di mataku. Bukan karena tidak cocok, tapi ini pertama kalinya aku melihat dirinya yang tidak memakai kemeja.
"Engga cocok, ya?" tanyanya sambil menggaruk tengkuk, salah tingkah.
Tanpa kusadari, aku melihat penampilannya dari atas ke bawah seperti mengintimidasi. Buru-buru aku menyangkal, "Cocok kok. Cuma keliatan beda aja."
Aku tidak berbohong. Kak Agatya yang seperti itu terlihat sangat tampan dan keren. Hanya saja, aku tidak terbiasa melihatnya.
"Tumben bukan pakai kemeja. Udah habis, ya?" candaku padanya sambil melangkah mendekat. Aku sudah izin pada mama tadi
"Bukan," Ia menggeleng, lalu lanjut bergumam, "hari ini, kan hari spesial."
Aku mendengar gumaman itu. Saat aku akan bertanya, Kak Agatya lebih dulu berbicara lagi, "Berangkat sekarang?" Aku mengangguk, memilih melupakan pertanyaan tidak penting itu.
Aku tidak tahu ke mana Agatya akan membawaku—tadi dia protes kupanggil dengan embel-embel 'kak'. Kemarin, ia hanya bilang ingin mengajakku jalan-jalan. Aku mengiyakan saja, daripada hanya diam di rumah seharian. Di sinilah kami, berdua di atas motor yang sedang bergerak menyusuri jalanan.
Semilir angin saat senja menyapa wajahku hangat. Anak-anak rambut terbang mengikuti perintahnya. Hingga akhirnya sampai di ladang penuh pasir yang langsung berhubungan dengan sang laut. Kami sudah tiba di pantai. Pantai yang sama ketika kami pergi bersama anggota klub fotografi lainnya. Pantai yang sama ketika Agatya menyatakan perasaannya.
Astaga! Jangan katakan bahwa hal itu akan terulang hari ini, sore ini di hadapan mentari terbenam. Sama persis seperti saat itu. Tidak mungkin, bukan? Aku segera membuang jauh-jauh pemikiran itu. Mungkin hanya kebetulan. Iya, pasti hanya kebetulan.
"Masih ada setengah jam sebelum matahari terbenam. Kamu mau makan dulu?" tanya Agatya saat kedua kaki kami sudah menyentuh pasir. Ia menunjuk salah satu warung bakso di dekat tempat kami berdiri.
"Boleh," jawabku sambil mengangguk. Apapun itu akan aku lakukan demi tidak melihat matahari terbenam di ujung sana.
Aku mengikuti langkahnya menuju warung bakso. Ia memesan dua mangkok bakso dan dua botol air mineral, lalu duduk di salah satu bangku yang masih kosong. Aku hanya diam, ikut duduk di sebelahnya dengan canggung.
Agatya menyadari hal itu dengan bertanya, "Kenapa? Kok kayak kaku gitu?"
Aku menoleh cepat padanya dan tertawa sumbang. "Kaku? Siapa? Aku? Engga kok. Biasa aja," jawabku salah tingkah, melambai-lambaikan tangan.
"Aku pikir kita bakal ke restoran atau ke mana gitu. Ternyata ke pantai," kataku beberapa menit setelahnya yang diakhiri tawa kecil. Pandanganku menyapu pantai yang tidak terlalu ramai ini.
"Kecewa, ya?"
Kembali kualihkan pandanganku padanya. "Engga. Habisnya pakaian kamu kayak gitu. Kayak bukan mau ke pantai," jawabku jujur.
Bakso kami sudah ada di atas meja. Baru saja diantar. Masih jelas terlihat asap mengepul menandakan bahwa masih panas. Meski begitu, tetap kuraih sendok dan garpu yang sudah disediakan dan mulai mengaduk-aduk bakso itu. Aku mengambil kecap, menuangkannya sedikit, lalu kembali mengaduk-aduk hingga kuah yang bening mulai menggelap. Aku bukan pecinta pedas, jadi kecap saja sudah cukup untukku.
Mulai kulahap perlahan bakso di hadapanku sambil sesekali meniup kuahnya agar tidak terlalu panas. Tak kusadari, lelaki di sebelahku ini membiarkan makanan di hadapannya dan memilih menatap lekat diriku. Aku baru menyadarinya ketika ingin mengajaknya mengobrol. Ia tersenyum melihatku. Tubuhnya sengaja menyerong ke arahku dengan siku kiri di atas meja dan telapak tangan menopang kepalanya.
"Apa lihat-lihat?" kataku pura-pura ketus.
"Engga apa-apa." Ia menjawab sambil membenarkan posisi tubuhnya. Mengambil sendok dan garpu, lalu mulai menyedok bakso dan memakannya seolah tidak terjadi apa-apa—walaupun memang tidak ada apa-apa.
Aku sering bertanya-tanya tentang hal ini. Apakah seorang lelaki memang suka melihat perempuan makan? Tidak hanya sekali-dua kali aku menemui lelaki yang seperti itu. Dan sampai sekarang, aku masih belum menemukan jawaban yang masuk akal. Tapi, mungkin Agatya bisa menjawabnya.
"Aga, kenapa cowok suka banget ngeliatin cewek makan? Yang kayak kamu tadi itu," tanyaku pelan. Aku menghentikan kegiatan makanku sebentar dan menoleh ke arahnya.
Ia ikut melakukan hal yang sama, lalu kembali menyerongkan tubuhnya menghadapku. "Menurut kamu sendiri kenapa?" Bukannya menjawab, ia malah balik bertanya.
Aku hanya mengangkat bahu, tidak tahu. Tidak ada ide apapun yang muncul dalam pikiranku. Yang menyebalkannya, Agatya pun ikut mengangkat bahu dan memilih mengabaikan pertanyaanku.
"Kok engga dijawab?" tanyaku kesal.
"Makan dulu. Nanti sunset-nya kelewat," jawab Agatya santai. Ia kembali memakan bakso di hadapannya dengan lahap.
Aku mendengus. Lelaki ini tidak biasa begini. Biasanya, ia akan selalu menjawab pertanyaan apa pun yang aku lontarkan, tepat pada saat itu juga. Apakah pakaian seseorang juga bisa memengaruhi pikirannya?
Aku melahap bakso itu perlahan agar tidak cepat habis. Cukup hingga matahari sudah menghilang dan langit mulai menggelap. Namun sepertinya, semesta sedang berpihak pada Agatya. Bakso milikku sudah habis tepat saat matahari mulai tenggelam. Mau tidak mau, aku harus menuruti kemauan Agatya untuk mendekat ke pinggir pantai.
Ia menggenggam erat tanganku dan membawa kakiku melangkah hingga tersentuh oleh ombak yang semakin menyusut setiap kali berusaha mendekat ke daratan. Di hadapan kami, bola oranye terus bergerak turun dari tahta kekuasaannya. Sejenak, aku melupakan kegelisahanku dan membiarkan Agatya terus menggenggam tanganku.
"Savira," ucap Agatya lirih yang mampu membuat diriku merinding. Aku menoleh ke arahnya, mengabaikan lukisan indah di hadapanku.
"Engga semua laki-laki suka ngelihat perempuan makan, kecuali kalau perempuan itu adalah pujaan hatinya. Jangankan makan, seorang lelaki akan selalu suka dan senang ngelihat pujaan hatinya melakukan apa pun itu. Dan aku, selalu suka ngelihat kamu." Agatya mengatakan hal itu dengan sangat lembut.
Kemudian, ia menghadapkan tubuhnya ke arahku, meraih tanganku yang lain yang membuatku harus ikut menghadap ke arahnya. Kini, kedua tanganku sudah digenggam erat olehnya. Matanya menatap dalam ke mataku, menunjukkan keseriusan dirinya akan setiap kata-kata yang ke luar dari mulutnya.
Aku hanya mampu diam. Tubuhku bak terkunci. Bola mataku bahkan tak sanggup berpaling dari dirinya. Jantungku berdegup dengan kencang. Dalam hati, aku terus mengulangkan kata-kata yang sama. Tidak, jangan katakan itu! Aku tidak mau menyakiti hatimu. Tidak dengan segala hal baik yang sudah kamu lakukan kepadaku.
"Untuk kedua kalinya, di tempat dan waktu yang sama, dengan perasaan yang masih sama, bahkan lebih dalam. Aku masih menyukai kamu dan sayang sama kamu. Will you be mine?"
Waktu terasa berhenti. Riuhnya suara orang-orang tak dapat lagi kudengar. Tidak, aku tidak berani menjawabnya. Tidak juga berani menatap matanya yang penuh harapan. Aku menunduk, menggigit bibir. Apakah aku harus jujur? Punyakah aku keberanian mengatakannya? Tapi, kalau bukan sekarang, aku akan menambah harapannya.
"Sav, engga perlu dijawab sekarang. Take your time."
Aku menggeleng dengan kepala menunduk. Tidak. Jangan menambah harapan seseorang, Savira! Kamu tahu betul rasa sakitnya. Akhirnya, aku mendongak. Kuberanikan diriku menatap langsung ke matanya.
"It's okay. Take your time. Aku engga maksa harus dijawab sekarang," Aga mengulang perkataannya.
Aku lagi-lagi menggeleng. "Maaf, aku engga bisa terima."
Tatapannya berubah menjadi sorot kecewa. "Masih belum bisa juga, ya?" Ia menunduk sambil bergumam.
"Maaf," Aku ikut bergumam dan menunduk.
Ia tertawa hambar dan berkata, "Engga. Jangan minta maaf."
Aku tidak mengatakan apa-apa lagi. Kata-kata apa pun tidak akan bisa meredakan rasa kecewanya, bukan? Ia pun juga diam. Genggaman tangan itu sudah lepas sedari tadi. Matahari pun sudah terbenam sejak beberapa menit yang lalu. Langit menggelap. Ombak laut masih sesekali membasahi telapak kaki. Hanya desiran angin yang masih terdengar dan terasa. Kami saling diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing, walau berdiri berhadapan.
"Aku engga bermaksud ngasih harapan palsu. Apalagi menjadikan kamu alat untuk ngelupaiin Leon. Aku cuma belum siap menjalani hubungan baru lagi. Aku engga mau terima kamu saat aku sendiri belum selesai sama masa laluku.
"Aku selalu senang bareng kamu. Aku sangat berterima kasih atas semua usaha kamu untuk ngehibur aku. Kamu bahkan sudah seperti teman, sahabat, bahkan saudara bagiku. Kamu itu orang baik, Aga. Orang kayak kamu harus dapat yang lebih baik lagi dari aku.
"Jangan merasa bersalah kalau nanti kamu milih untuk pergi. Berjuang sendirian pasti engga mudah, apalagi tanpa kepastian. Lebih baik kamu berhenti. Terus menyukaiku cuma bikin kamu sakit sendiri, dan aku engga mau menyakiti orang yang udah ngasi banyak kesenangan buatku."
Kata-kata sepanjang itu keluar begitu saja dari mulutku. Namun, Agatya memilih untuk tidak meresponnya. Ia hanya mengajakku pulang karena hari sudah malam. Kami tidak berbicara apa pun lagi selama di perjalanan. Aku memakluminya. Penolakan tidak pernah menjadi hal mudah. Agatya pasti memerlukan waktu untuk menenangkan dirinya dan berpikir lagi mengenai perasaannya.