Ternyata tidak ada waktu untuk berpatah hati terlalu lama. Puluhan soal-soal persiapan ujian langsung mendatangi satu per satu. Fokusku benar-benar teralihkan nyaris seratus persen pada pelajaran. Patah hati? Lupakan saja dulu hal tidak penting itu. Otakku lebih lelah dibandingkan dengan hatiku.
Astaga, apakah ini juga rencana-Nya? Patah hatiku disembuhkan—entah bisa dibilang begitu atau tidak—oleh pelajaran sekolah. Iya, hal yang biasanya tidak menyenangkan itu justru menjadi tempat pelarian paling indah.
"Bisa gila aku lama-lama. Kok kamu tahan ngeliat semua angka itu, sih? Aku udah keburu mual," keluh Sisi.
Kami bertiga sedang berada di sebuah restoran cepat saji. Bukan makanan yang ada di atas meja, melainkan kertas-kertas berisikan angka, huruf, dan rumus beserta alat tulis.
"Ini cara terbaik menyembuhkan patah hati, Si." Aku menjawab acuh tak acuh, masih berkutat dengan soal-soal di hadapanku, mencorat-coret kertas untuk menghitung.
"Itu terus jawabannya." Sisi berkata malas.
Akhirnya, aku memutuskan behenti sebentar untuk melihat kondisi Sisi. Kedua tangannya dilipat dengan kepala ditelungkupkan di atas. Rambutnya sedikit berantakan, mungkin karena sering diacak-acak oleh dirinya sendiri ketika tidak berhasil memecahkan soal.
"Kamu juga ngeluh terus," balasku sambil terkekeh.
Sisi mengangkat wajah dan berkata, "Habisnya kamu engga berhenti-berhenti. Kamu yang belajar, aku yang capek liatnya," dumelnya.
"Beresin dulu, Sav! Kita makan dulu, nanti lanjut lagi." Yesi angkat suara.
Tangannya mulai merapikan kertas yang berserakan. Alat tulis miliknya sudah masuk ke dalam kotak pensil. Dalam sekejap, bagian meja di depannya bersih. Kemudian, ia menatap kami yang masih diam bergantian.
"Apa? Buruan beresin! Kalian mau makan apa? Aku yang pesan," katanya.
Sisi dengan ogah-ogahan membereskan semua miliknya sambil menyebutkan pesanannya. Aku pun melakukan hal yang sama, tetapi sengaja tidak kumasukkan ke dalam tas.
"Kamu mau makan apa, Sav?" tanya Yesi.
"Samain aja sama kamu, Yes."
Mataku masih menatap kertas yang bertumpuk menjadi satu. Membaca satu soal lagi dan lagi, lalu mulai menghitungnya. Dapat kudengar helaan napas Yesi, lalu disusul deritan kursi. Aku tidak mendongak.
"Kamu tau, Sav? Kamu engga akan bisa melupakan sesuatu atau seseorang. Kalau tujuan kamu belajar mati-matian untuk melupakan, engga akan ada gunanya. Kamu bakal ingat lagi kalau ada yang ingetin," kata Sisi pelan.
Aku terdiam. Tanganku berhenti menulis jawaban. Kepalaku masih menunduk, tetapi aku sempat melirik sekilas Sisi yang bertopang dagu. Aku dapat melihat tatapannya yang serius. Apa maksudnya? Aku tidak sedang berusaha melupakan apapun atau siapa pun. Aku belajar mati-matian untuk masa depanku. Untuk diriku sendiri. Tapi, entah kenapa, mataku terasa perih dan ingin menangis.
Aku buru-buru berdiri sambil bergumam, "Aku ke kamar mandi dulu." Aku nyaris berlari, sengaja menghindari tatapan Sisi, juga Yesi yang baru datang membawa makanan.
"Mau ke mana, Sav?" tanya Yesi ketika aku melewatinya. Aku tidak menjawab ataupun menoleh karena air mataku sudah jatuh lebih dulu.
Astaga, Savira! Kenapa? Kenapa harus menangis? Aku memasuki toilet perempuan dengan sedikit membanting pintu. Untungnya, tidak ada seorang pun di dalamnya. Aku berdiri di depan wastafel, menatap cermin yang memantulkan wajahku. Kedua tanganku memegang pinggiran wastafel erat-erat. Napasku sedikit tak beraturan, kakiku serasa tidak kuat menopang tubuhku lagi. Gelombang emosi yang mendadak ini tidak siap kuhadapi
Ternyata aku belum bisa. Dan, mungkin tidak akan pernah bisa. Kepalaku tiba-tiba terasa pening. Mataku terasa berat dan perlahan mulai menggelap. Ah, jika diingat-ingat, aku belum makan sejak kemarin siang, dan sekarang sudah sore.
***
[Agatya's POV]
Aku sedang mengerjakan tugas kuliah bersama teman-teman kampusku di salah satu restoran cepat saji. Kami baru saja selesai makan dan memutuskan untuk istirahat sebentar dan aku pamit ke toilet sebentar.
Ada hal tak terduga yang terjadi setelah aku keluar dari toilet. Ketika melewati toilet perempuan—yang pintunya sedikit terbuka—aku melihat seseorang terjatuh begitu saja seperti orang pingsan. Semakin kaget karena perempuan itu adalah Savira. Tanpa pikir panjang, aku memasuki toilet dan mengangkat tubuh Savira yang sudah lemas. Dengan langkah terburu-buru, aku langsung menuju pintu keluar. Lupa bahwa aku sedang mengerjakan tugas bersama teman. Di pikiranku hanya tertuju pada Savira. Aku harus membawanya ke klinik.
Tanpa kusadari, teman-temanku melihat kepergianku. Mereka pergi mengikutiku setelah buru-buru memasukkan laptop. Sisi dan Yesi juga ada di sana—aku baru tahu nanti saat sudah di klinik.
"Woi! Mau lo apain tuh cewek?" tanya temanku dari belakang.
"Klinik. Kita harus ke klinik sekarang. Mobil lo, mana mobil lo?" ucapku kalap.
Aku yakin mereka bingung, tapi tak ada waktu untuk menjelaskannya sekarang. Kami buru-buru menuju parkiran. Temanku dengan sigap menyalakan mesin mobilnya, lalu melaju ke jalan raya menuju klinik terdekat. Aku duduk di kursi bagian tengah dengan Savira di sebelahku, masih dalam keadaan tidak sadar.
"Cepetan, Fir!" kataku mendesak. Temanku, Firly yang berada di balik kemudi semakin dalam menancap gas. Ia berhasil menyelip di antara ramainya jalanan.
Hanya kami bertiga yang berada di dalam mobil, temanku yang lain menyusul dengan motor. Aku sibuk mencari minyak kayu putih atau apa pun itu yang bisa membangunkan Savira. Nihil. Firly tidak menyiapkan hal-hal seperti itu di dalam mobilnya. Aku hanya bisa menggenggam tangan Savira, merebahkan kepalanya ke pundakku sambil berharap klinik sudah dekat. Entahlah, diriku benar-benar panik.
***
Infus masih menancap di tangan kanan Savira, tetapi ia sudah siuman. Wajahnya pucat dan masih lemas. Yesi sedang menyuapi Savira bubur yang Sisi beli tadi. Teman-temanku sudah pamit lebih dulu. Motor milikku sudah dibawa mereka ketika menuju ke sini. Ternyata mereka juga mengendarai motorku.
Oh, iya, tentang Sisi dan Yesi, mereka melihatku mengangkat tubuh Savira dan membawa pergi. Salah satunya langsung menghubungiku untuk memastikan yang baru bisa kujawab saat Savira sudah ditangani. Setelah kuberi tahu alamatnya, mereka datang ke sini.
"Aku bilang apa, Sav? Jangan belajar terus! Apalagi sampai lupa makan. Kamu mau mati, hah?" dumel Sisi ketika Savira meletakkan kembali gelasnya yang dibantu Yesi. Ia berdiri di samping Yesi, melipat kedua tangannya di depan dada.
"Jangan bilang karena cowok itu? Kamu kayak gini karena cowok itu? Aku harus apa biar kamu lupa? Yesi harus apa? Kak Aga harus apa?" sambungnya.
Aku tertegun mendengar namaku ikut disebut, tidak menyangka. Namun, aku segera mengangguk, setuju dengan Sisi. Aku harus apa lagi? Tidakkah semua yang aku lakukan cukup untuk membuat gadis itu melirikku? Sedikit saja, berikan aku kesempatan.
Savira hanya tersenyum miris. Ia tidak lagi menatap kami. Pandangannya beralih ke langit-langit ruangan. Tak lama kemudian, air mata jatuh dari sudut matanya. Ia menangis dalam diam dan menggigit bibirnya. Membiarkan orang-orang di sekitarnya melihat kerapuhannya.
Sisi dan Yesi seketika panik. Mereka berdua buru-buru menenangkan Savira yang kini sudah mulai terisak. Sedangkan, aku hanya diam mematung. Aku tak kuasa menahan sakit di dadaku, akhirnya aku keluar dari sana tanpa disadari siapa pun. Napasku mendadak sesak melihat Savira yang terisak. Aku berdiri sendirian di koridor sambil berusaha menenangkan diriku sendiri.
***
[Savira's POV]
Tiga bulan telah berlalu. Segala jenis ujian sudah tertinggal di belakang, termasuk pengumuman SNMPTN. Beruntungnya, aku, Sisi, dan Yesi diterima kuliah melalui jalur itu. Tentu saja dengan jurusan yang berbeda. Tinggal menunggu pengumuman selanjutnya.
"Sav, jalan-jalan, yuk! Kita ke pantai," ajak Yesi melalui sambungan telepon. Suaranya terdengar sangat ceria.
"Maaf, Yes! Kalau sekarang aku engga bisa. Udah ada janji," kataku menyesal. Tangan kananku yang tidak menggenggam ponsel mengambil tas selempang kecil yang tergantung di sudut kamarku.
"Sama siapa?" tanyanya, "Ah, pasti sama Kak Agatya, ya?" Ia langsung menjawab pertanyaannya sendiri dengan nada menggoda.
"Iya. Ini lagi nunggu jemputan."
"Yaudah, deh! Good luck kencannya!" Yesi terkekeh di akhir kalimatnya, lalu segera memutus sambungan.
Aku hanya mendengus. Sudah cukup terbiasa dengan sikap Yesi—juga Sisi—yang kerap menggoda dan mengaitkanku dengan lelaki berkacamata itu. Harus kuakui, aku memang menjadi lebih dekat dengan Kak Agatya belakangan ini. Namun, entahlah. Aku belum tertarik untuk menjalin hubungan lagi.