Chereads / Kisah di SMA / Chapter 52 - 49. Penghiburan

Chapter 52 - 49. Penghiburan

[Agatya's POV]

Minggu ini entah kenapa terasa cepat sekali. Mungkin kesibukan di kampus berhasil membuatku sedikit lupa tentang waktu. Belum lagi tentang perempuan itu yang semakin hari berganti terlihat semakin payah untuk menjalani hidup. Aku sama sekali tidak berniat mengejeknya lemah ataupun semacamnya. Asal kalian tahu saja, ia seperti tidak memiliki semangat hidup lagi.

Berkatnya juga aku sedikit tidak fokus dengan kegiatan kuliahku. Jadi hari ini, aku berniat mengajaknya berjalan-jalan sebentar, tentu saja setelah klub fotografi selesai. Mungkin sedikit refreshing bisa mengembalikan senyumnya, meski hanya untuk sementara. Aku sudah menghubunginya beberapa menit lalu dan sekarang aku akan pergi menjemputnya. Tunggu! Kenapa jantungku tiba-tiba berdebar? Bukankah ini sudah menjadi hal biasa?

***

Aku membuka pelan pagar di hadapanku. Kenapa aku berani? Aku sudah cukup sering ke sini—sejak beberapa minggu lalu—dan Mamanya berkata tidak apa-apa jika aku langsung masuk ke halaman tanpa salam.

Aku baru saja akan mengetuk saat Savira sudah membukanya terlebih dahulu dengan kondisi yang tidak begitu baik. Wajahnya sedikit pucat, tatapannya pun masih sering kosong. Aku tidak pernah bisa melihatnya dengan kondisi seperti ini. Jadi, aku hanya menyapanya sebentar, lalu mengalihkan pandangan. Untungnya, di belakang Savira sudah ada mamanya. Aku segera mendekat untuk meminta izin, meskipun mungkin Savira juga sudah izin.

"Iya. Ajak makan juga. Savira belum makan dari pagi," kata Tante dengan lembut. Wajahnya kentara khawatir melihat kondisi anaknya.

"Siap, Tante! Kalau gitu, Aga sama Savira pergi dulu," ujarku dengan sedikit nada bercanda agar beliau tidak terlalu khawatir.

Setelahnya, kami menuju motorku yang terparkir di luar. Aku menyerahkan helm yang kubawa kepada Savira. Ia menerima dengan tatapan kosong, membuat hatiku meringis. Sepenting itukah arti lelaki itu dalam hidupnya?

"Sav, please stop thinking about him! Ada aku yang selalu sama kamu." Rasanya aku akan menangis setelah mengatakannya. Belum lagi responnya yang hanya diam menatapku penuh luka dan sedikit perasaan tak suka.

Aku mengalihkan pandanganku, tak kuasa melihat matanya yang seakan menyuruhku untuk tidak ikut campur. Wajah yang dulunya selalu terlihat cerah dan bahagia seakan dunia tak pernah menyakitinya. Dan sekarang, dunia merenggut senyum itu. Aku memutuskan untuk menaiki motorku, lalu menyalakannya. Tak lama, Savira pun ikut naik. Setelahnya, langsung kulajukan sepeda motorku pada jalanan.

Enggan sekali sebenarnya untuk melirik pada spion kanan yang sedikit memperlihatkan wajah Savira. Tak ada senyum maupun pandangan berbinar dari matanya. Hanya ekspresi datar dan tatapan kosong penuh luka yang lagi-lagi kudapatkan.

"Sav, aku harus lakuin apa biar kamu senang lagi?" batinku sembari menggigit bibir. Susah payah kutahan air mataku agar tidak jatuh. Aku tidak boleh terlihat sedih di depan orang yang sedang sedih, bukan?

***

Mocaccino dan roti bakar yang kupesan tadi sama sekali tidak disentuh. Es krim coklat kesukaannya pun tidak mampu mengembalikan bulan sabit di bibirnya. Dan baru saja terjadi, ia menyeberang tanpa melihat kondisi jalan terlebih dahulu, membuatnya nyaris saja celaka jika aku tidak menariknya.

Sebelumnya, semua anak klub fotografi sudah disuruh untuk berpasangan mencari potret terbaik di luar. Aku sengaja memilih Savira agar bisa menjaganya lebih baik. Dengan kondisinya yang seperti zombie, ia tidak akan bisa fokus. Apalagi kegiatan ini dilakukan di luar. Berbahaya. Dan, aku benar. Ia hampir saja mencelakakan dirinya sendiri karena sibuk melamun.

"Maaf. Tadi aku engga fokus," katanya pelan dengan kepala menunduk.

Aku meraih dagunya, menegakkan kepalanya agar melihat diriku. Matanya mulai digenangi air mata, tinggal menunggu waktu meloloskannya. "Jangan mikirin dia lagi!" kataku yang tanpa sadar terdengar sedikit ketus.

Sedetik, rasa kaget tampak di wajahnya yang kemudian kembali datar. "Aku mau pulang." Nada suaranya tiba-tiba berubah dingin. Ia berlalu pergi begitu saja. Langkahnya sangat terburu-buru.

Aku mengejar dan menggapai pergelangan tangannya agar berhenti sejenak. Ia sedikit tersentak, padahal aku tidak menarik tangannya kasar. Air matanya sudah bercucuran. Tangannya yang tak kugenggam menghapus kasar aliran air asin itu dengan napas yang mulai sesenggukan. Entah dorongan dari mana, aku membawanya ke dalam dekapanku. Memeluknya, membiarkan ia menangis di sana. Meluapkan segala emosi yang belum tersalurkan.

Aku mengusap puncak kepalanya, berusaha mengirimkan sedikit ketenangan. Isakannya masih bisa kudengar jelas, meski sekarang kami sedang berada di tepi jalan yang ramai dengan kendaraan. Mengingat bahwa ia menangisi lelaki berengsek itu membuatku sedikit menahan kesal dan sesak. Andai saja aku tidak berhenti berusaha mendapatkan hati gadis dalam dekapanku ini, mungkin ia tidak akan sesedih sekarang.

Aku memeluk gadis ini lebih erat bersamaan dengan air mata yang ikut lolos dari mataku. Aku merasa gagal melindungi senyum orang yang kusayangi.

"Aga? I'm okay now. Boleh lepas?" ujar Savira masih dalam pelukanku.

Apakah aku memeluknya terlalu erat? Segera kulepas pelukan itu. Tangan kananku memegang leher, salah tingkah. Sepertinya aku memang memeluknya terlalu erat. Astaga, jantungku! Tidak bisakah kau tenang sedikit?

"Maaf. Aku engga maksud apa-apa. Cuma mau kamu lebih tenang." Aku berdeham setelah mengatakannya.

Savira yang sibuk menghapus jejak air matanya menggeleng pelan. Oh, iya, aku juga menangis tadi. Aku mengikuti Savira yang menyeka air mata.

"Kemeja kamu basah. Harusnya kamu engga main peluk aja." Ternyata Savira sudah menurunkan tangannya. Sekarang ia menunjuk kemejaku yang basah karena air matanya.

Aku melihat arah telunjuknya. Memang benar kemeja bagian dada kananku sedikit basah. Namun, tidak parah. "Gapapa. Nanti juga kering," kataku santai.

Hening di antara kami hingga akhirnya tawaku pecah karena mendengar gemuruh yang cukup kencang. Bukan, gemuruh itu tidak berasal dari langit, melainkan dari gadis di depanku yang kini menunduk.

"Yuk, kita makan sekarang!" kataku masih dengan sisa tawa. Aku menggamit tangan kanannya, kemudian berjalan menuju coffee shop.

Ia masih menunduk mengikuti langkahku sambil memegangi perutnya dengan tangan satunya. Iya, tadi itu suara perutnya yang keroncongan. Sesekali kulirik dirinya yang masih menunduk. Samar kulihat senyuman di bibirnya membuatku ikut tersenyum. Senyuman itulah yang sudah kutunggu selama ini.

***

Kami berdua izin pulang lebih dulu—yang tentu saja diizinkan—untuk mencari makan. Pasalnya, di coffee shopku ini tidak menjual makanan berat. Jadi, kami mencari makanan di luar.

"Mau makan apa?" tanyaku di parkiran. Tanganku menyerahkan helm pada Savira yang langsung disambut olehnya.

Matanya sudah tidak kosong lagi, membuat penampilannya lebih baik daripada saat aku menjemputnya. Ia sedang berpikir, lalu menjawab, "McDonald's?"

"Here we go!"

Kami memesan dua paket nasi dan dua kentang goreng. Sembari menunggu pesanan datang, aku mencoba membuka percakapan.

"Lebih baik?"

"Iya, begitulah. Makasih," ucapnya pelan dengan pandangan tulus, juga senyum kecil yang natural di bibirnya.

Aku balas tersenyum lebar. "Aku senang akhirnya mata kamu udah engga kosong lagi. Kamu terasa lebih hidup."

Ia tertawa hambar, "Semenyedihkan itu? Aku engga tahu caranya berhenti mikirin dia. I try so hard, but I can't." Helaan napas keluar dari mulutnya.

"Lihat aku. Ada aku di sini sama kamu. Nungguin kamu," jawabku. Aku meraih tangannya yang terletak di meja, kemudian kugenggam erat.

"Kak, aku baru putus. Aku belum siap untuk ngerasain sakit hati lagi." Ia menarik tangannya lepas dari genggaman tanganku.

Panggilannya yang berubah menandakan ia kembali membangun batasan yang ada. "Aku tahu. Aku engga maksa untuk cepat-cepat. Aku cuma mau kamu tahu kalau aku akan nunggu kamu selama apa pun itu."

Ia tidak menjawab lagi, juga membuang muka. Suasana yang tadinya cair kembali membeku. Canggung. Untung saja pelayan segera datang mengantarkan pesanan kami. Setidaknya, kami bisa saling diam dan fokus pada makanan masing-masing.

Saat makanan kami sudah habis pun, Savira masih enggan menatapku. Aku menghela napas pelan. Baiklah, mungkin aku harus menyogoknya dengan Mcflurry oreo—favorit banyak orang—agar gadis ini mau bicara lagi padaku. Aku beranjak dari kursiku menuju kasir untuk memesan satu Mcflurry oreo sekaligus membayar makanan kami. Savira sempat melirik sebentar, tetapi ia tak mengatakan apa pun. Tak lama, aku kembali membawa Mcflurry oreo yang langsung kuserahkan padanya.

Akhirnya, ia mau melihatku lagi, tetapi sekarang dengan satu alis terangkat. "Mcflurry oreo buat kamu," jawabku sebelum ia bertanya.

"Kenapa?"

"Gapapa. Kamu suka es krim, kan? Orang bilang es krim itu makanan yang cocok untuk cewek yang lagi badmood." Aku menjawab sambil mengedikkan bahu.

Savira membuka Mcflurry di hadapannya dengan ragu, lalu menyuapi dirinya sendiri. Ekspresinya berubah, terlihat senang dan takjub. "Enak banget. Pantas aja orang-orang banyak yang suka," gumamnya yang masih dapat kudengar, kemudian kembali mengambil satu suap untuk mulutnya.

Aku tersenyum kecil. "Pelan-pelan makannya. Kayak engga pernah makan es krim aja." Kekehan kecil lolos dari mulutku.

Savira kembali menatapku dengan kepalanya yang dimiringkan ke kanan. "Emang belum pernah makan ini," ucapnya polos.

Ah, sial! Ia terlihat menggemaskan sekali! Aku reflek memalingkan muka, salah tingkah. Dengan kedua tangan yang bersedekap di dada, aku bertanya sambil menahan salting, "Habis ini mau langsung pulang?" Kali ini, ia hanya mengangguk. Aku kembali memalingkan muka. Kenapa tiba-tiba ia terlihat imut? Rasanya jantungku bisa meledak kalau terus melihatnya.