Kurasakan mama menyentuh dahi dan juga pipiku. Lalu, kurasakan tubuhku yang sangat panas dan semakin tidak nyaman.
"Panas kamu naik lagi. Bangun sebentar, ya? Makan dulu, habis itu minum obat," ucap mama.
Aku menggeleng pelan. "Enggak laper."
"Dipaksa. Mama suapin."
Mama mengambil mangkok berisi bubur yang ditaruh di meja kecil sana. Ia mengaduk-aduknya sedikit, lalu ditiup. Aku masih berbaring, menatap mama sayu.
"Ayo, dong! Duduk sandaran biar bisa makan." Mama berkata tidak sabaran, tetapi aku dapat menangkap raut cemas di wajahnya.
Akhirnya dengan terpaksa, aku mengubah posisiku. Aku duduk di atas ranjang dan bersandar pada kepala ranjang. Kepalaku menoleh kepada mama dengan lesu. Aku makan dengan sangat lambat karena memang tidak nafsu. Itu pun tidak ada setengahnya, aku sudah mulai merasa mual.
Mama menyudahkan dan memberiku segelas air hangat. Lalu menyiapkan obat dan memberikannya padaku. Tidak langsung kuminum, hanya kutatap saja.
"Kenapa?" tanya mama lembut.
Aku menggeleng. Kemudian, kuminum tablet obat itu bersama air setelahnya. Segera kuserahkan gelas yang sudah kosong itu kepada mama. Mama menerimanya dan menyuruhku untuk istirahat lagi. Aku mengangguk saja.
Seharian ini, aku benar-benar diam di kamar. Tidak ada tamu yang datang ke rumah ini, kecuali Leon tadi pagi. Hanya mama dan papa (juga Leon) yang masuk ke kamar ini, sekadar melihat kondisiku. Hampir tak ada senyum yang terbit dari bibirku setelah pagi tadi. Ponselku belum kuhidupkan lagi. Yang kulakukan hanya makan, minum obat, tidur, dan melamun.
Esok paginya, tubuhku memang merasa lebih baik, tapi tidak dengan kondisi hatiku. Meski begitu, aku tetap menyalakan ponselku setelah minum obat. Aku sudah mengubah pola pikirku. Karena sekarang hatiku sedang tidak baik-baik saja, maka tubuhku harus baik-baik saja.
Puluhan. Tidak, ratusan pesan kuterima dari Sisi dan Yesi. Entah dari grup atau personal chat. Isinya lebih banyak spam karena tidak kunjung kubalas.
[Kalian ke sini, ya? Aku mau cerita] ketikku singkat, lalu langsung kukirimkan di grup.
Hanya lewat semenit, Sisi dan Yesi sudah membalas.
Sisi : [Segera meluncur]
Yesi : [Ke mana aja? Sekarang kita ke sana]
Setelah itu, aku beralih pada pesan-pesan yang lain. Namun, tak ada satu pun pesan yang masuk dari Leon. Baru saja aku mau menutup aplikasi chat, tiba-tiba ada pesan terbaru dari seseorang. Aku harap itu Leon, tapi tentu saja bukan. Itu dari Kak Agatya.
Kak Agatya : [Hari ini kamu izin lagi? Bukannya ujiannya udah selesai?]
Ah, iya! Sekarang hari Minggu, jadwal klub fotografi. Karena beberapa minggu tidak ikut, aku benar-benar jadi lupa.
[Iya, kak. Aku lagi sakit]
Untuk kalian yang bertanya bagaimana hubunganku dengannya, langsung kusampaikan saja. Jangan terlalu banyak berharap! Kami hanya teman dan tidak sering berkomunikasi. Aku juga yakin ia sudah tidak menyukaiku lagi, jika dilihat dari sikapnya. Jadi, jangan mengharapkan apa pun dari Kak Agatya.
Kak Agatya : [Sakit apa? Nanti kalau udah selesai, aku ke sana sama yang lain jenguk kamu]
[Udah mendingan kok. Enggak usah, nanti ngerepotin]
Kak Agatya : [Enggak repot kok. Nanti kita ke rumah kamu]
[Terserah kakak aja deh]
Lalu kumatikan layar ponselku dan menatap ke luar jendela. Di luar sudah terang sekali dan sejam lagi matahari sudah akan menempati puncaknya. Sisi dan Yesi pasti sedang dalam perjalanan dan aku belum mandi. Menurutku, ini adalah hal yang wajar bagi orang sakit jika belum mandi pagi. Setelah mandi, aku memutuskan untuk menunggu di bawah.
***
[Agatya's POV]
Aku berdiri di depan pagar rumah Savira, ragu-ragu untuk masuk. Habisnya, aku merasa konyol dengan membawa parcel buah besar. Padahal hanya menjenguk seseorang yang sedang sakit. Aku baru menyesali sikap berlebihanku ini, tapi sayang kalau tidak masuk karena sudah sampai. Akhirnya, aku memutuskan untuk membunyikan lonceng yang tergantung di pagar itu.
Sesosok pria paruh baya terlihat menampakkan diri dan menatapku. Aku tersenyum canggung dan memperkenalkan diri. Beliau mengangguk-angguk dan menyuruhku untuk masuk.
Di ruang tamu hanya ada mama Savira. Aku kembali memperkenalkan diri kepadanya, juga memberikan parcel buah itu. Sedangkan papa Savira sudah duduk di sofa untuk menonton televisi.
"Makasih, ya. Padahal enggak usah juga. Sendiri aja? Savira lagi ada temennya di atas. Tante panggil anaknya dulu, ya? Kamu duduk aja dulu."
Aku hanya tersenyum dan mengangguk sopan. Kakiku tidak bergerak ke arah sofa, melainkan hanya diam mematung menatap seorang pria yang sedang asik menonton.
Tiba-tiba, yang kutatap bersuara, "Kenapa? Ayo, duduk sini!"
Dengan gerak patah-patah, aku berjalan ke arah sofa dan duduk. Canggung sekali rasanya, meski beliau melakukan sedikit basa-basi denganku.
Saat Savira dan tante sudah turun, aku spontan berdiri. Entah kenapa, om langsung mematikan televisi dan pamit mau ke kamar. Lalu, Savira duduk di sofa dan tante pergi ke dapur.
"Aku kira kakak bareng yang lain," katanya.
Aku lupa bilang kalau aku ke sini sendirian. Bukan sengaja, tapi yang lain sudah ada urusan dan janji. Langit sebenarnya bisa saja, tetapi ia bilang tidak mau. Kadang aku jadi bingung apakah ia mendukungku untuk move-on atau tidak. "Yang lain udah ada janji lain katanya. Jadi, sendirian. Gapapa, kan?" Savira hanya mengangguk-angguk.
"Kamu masih sakit?" kataku setelah beberapa saat hening.
"Udah mendingan, kak."
Singkat sekali jawabannya. Aku kembali memutar otak dan ekor mataku tak sengaja melihat sesuatu. "Mereka teman kamu?" kataku menghadap arah atas tangga.
Savira ikut menatap ke arah yang sama dan terlihat pasrah. Sedangkan, dua perempuan yang tadi berdiri di atas segera turun sambil cekikikan. Lalu segera duduk menghimpit Savira.
"Parah banget kita engga dikenalin. Siapa? Ganteng banget. Selingkuhan?" ujar salah satunya. Detik selanjutnya, ia mengaduh karena dicubit oleh Savira.
"Gapapa tau kalau selingkuhanmu begini! Sekalian putusin aja pacar enggak bertanggungjawabmu itu." Ia membela diri sambil mengelus lengan tangan yang dicubit tadi.
"Si, mamaku di dapur." Savira menekankan ucapannya. Lalu, perempuan yang dipanggil Si itu menutup mulutnya dan melirik ke arah dapur.
Karena merasa heran, aku bertanya, "Leon enggak bertanggung jawab gimana?" Mereka bertiga sontak menoleh kaget ke arahku.
"Kakak tau pacarnya?" teriak kedua temannya. Kulihat Savira hanya menggeleng-gelengkan kepala.
"Jangan teriak-teriak gitu! Nanti diamuk tetangga karena diganggu tidurnya." Tante muncul dari dapur dengan nada candanya. Beliau membawa beberapa cangkir minuman dengan nampan dan menaruhnya di meja. "Maaf, ya, lagi enggak ada camilan. Jadi, minum aja. Tante langsung ke kamar, ya? Kalian jangan teriak-teriak dan temenin Savira dulu."
Kami mengangguk serempak. Setelah tante sudah pergi ke lantai atas, dua perempuan itu kembali bertanya. Kali ini dengan suara normal.
"Kakak tau pacarnya Savira?"
Aku mengangguk. "By the way, nama kalian siapa? Aku Agatya," kataku kemudian menjulurkan tangan. Dua perempuan itu balas menjabat bergiliran dengan menyebut kedua nama mereka. Sisi dan Yesi.
"Leon kenapa? Savira ada masalah lagi sama Leon?"
"Kakak tau masalah mereka?" tanya mereka serempak, lagi-lagi dengan wajah kaget.
"Enggak. Cuma beberapa kali liat mereka berantem."
"Jadi, dua hari yang lalu Savira pingsan di sekolah waktu udah jam pulang. Pada-"
"Ngapain cerita ke dia, sih? Enggak ada hubungannya," Savira memotong ucapan Sisi membuatnya tidak jadi melanjutkan ucapannya.
Tiba-tiba ponsel yang dibawa Savira berbunyi. Ia langsung permisi sebentar dan pergi ke atas untuk menerima telepon. Aku terus memperhatikan langkahnya yang menaiki tangga pelan-pelan, rambutnya yang bergoyang ke kanan-kiri, dan suara sapanya kepada seseorang di seberang sana. Perempuan se-sempurna dirinya justru sedang bermasalah dalam kisah cintanya.
"Kakak naksir Savira, ya?" Pertanyaan itu tiba-tiba saja terdengar oleh telingaku.
Spontan aku mengalihkan pandangan kepada mereka berdua. Aku berdeham untuk menetralisir rasa kaget dan gugupku. Namun, setelahnya tidak kujawab. Aku kembali melontarkan pertanyaan dan membiarkan pertanyaan itu mengambang tanpa jawaban. "Kenapa tiba-tiba nanya gitu?"
"Terserah kakak, deh mau ngaku atau enggak! Aku minta nomor kakak, jaga-jaga kalau ada yang mau aku bahas tentang Leon," ucapnya blak-blakan. Kemudian, menyerahkan ponselnya.
Aku menerima ponselnya dan mulai menekan nomorku. Walaupun, aku sebenarnya tidak paham ke mana arah ucapannya. Namun, melihat ekspresinya yang sedang serius, aku yakin ia tidak main-main dengan ucapannya.
"Aku dukung kakak bareng Savira daripada sama Leon," katanya setelah menerima kembali ponselnya.
Aku tidak menjawab dan temannya langsung memprotes ucapan itu. Meski, ia tidak mengatakan apa pun. Tolehan spontan dan tatapan matanya yang seperti meminta penjelasan mengatakan semuanya.
Saat Savira sudah kembali turun, aku langsung izin pulang. Titip salam sama om dan tante, kataku. Kemudian, aku pergi menjauh dari rumah itu dengan motorku. Perasaanku menjadi tidak enak.