[Savira's POV]
Setelah aku sembuh, kegiatan jurnalistik langsung menyerbu. Aku tidak kaget karena sudah biasa. Pada akhir semester, anggota jurnalistik akan membuat majalah sekolah berisikan kegiatan khusus dan juga prestasi sekolah. Anak-anak jurnalistik juga bisa memasukkan karyanya—puisi, cerpen, atau karikatur—ke dalam majalah sekolah. Kadang pun juga ada tips atau ulasan mengenai sesuatu. Jadi, akhir semester akan selalu menjadi hari yang cukup sibuk untukku. Apalagi dengan jumlah anggota yang tidak banyak, kami benar-benar harus bekerja keras agar terselesaikan tepat waktu.
Meski aku tidak termasuk ke dalam struktur perangkat alias hanya anggota, tugasku cukup banyak. Ada dua wawancara yang harus kulakukan, membuat sebuah ulasan, dan juga sebuah cerita pendek. Kalau waktunya masih cukup, aku juga ingin menambahkan beberapa bait puisi. Sebenarnya, untuk cerita pendek dan puisi itu bukan hal yang wajib kubuat. Aku ingin saja membuatnya.
Biasanya, setiap melakukan hal apapun yang berkaitan dengan jurnalistik, selalu ada senyum gembira di wajahku. Namun, tidak untuk kali ini. Saat jam istirahat, dengan langkah berat, aku mendatangi kelas sebelah. Aku sudah membuat janji dengan orang yang akan kuwawancarai. Ya, mereka sudah menunggu di meja pojok belakang dan duduk bersebelahan. Aku mengulas senyum tipis, membalikkan kursi kosong agar menghadap meja mereka, lalu duduk.
"Apa kabar, Sav? Aku denger kamu sempat sakit, ya?" tanya perempuan itu yang menurutku sok ramah.
"Aku baik. Boleh langsung aku mulai aja wawancaranya?" kataku to the point. Mereka mengangguk dan segera kumulai wawancara itu yang seharusnya tidak memakan waktu lama
Aku tidak ingin berlama-lama melihat pacarku duduk bersebelahan dengan perempuan yang dirumori juga menjalin hubungan dengan Leon. Itu sebenarnya dugaan Sisi dan Yesi. Meski aku tidak percaya, bukan berarti aku baik-baik saja. Apalagi Leon seperti mulai menjaga jarak denganku.
Aku lupa memberitahu kalau ini adalah wawancara dengan anggota tim dance sekolah kami. Belum lama, mereka berhasil memenangkan juara pertama di universitas swasta yang masih sekota dengan sekolah kami. Kenapa harus aku? Alasannya karena ketua ekskul dance sekolah kami adalah pacarku. Memang se-simple itu. Lalu, kenapa bisa ada Gemini? Entahlah, Leon bilang Gemini juga berperan penting atas kemenangan mereka. Aku malas bertanya lebih lanjut karena hanya akan ada pertengkaran tidak berarti dan perasaan cemburu.
Setelah semua daftar pertanyaanku terjawab dan tercatat dengan baik di notes yang kubawa. Aku segera menyudahi wawancara itu dan pergi ke kelasku. Tentu saja aku pergi dengan baik-baik. Kalau tidak etikaku sebagai anggota redaksi sekolah akan tercoreng.
"Udah selesai wawancaranya?" tanya Sisi. Setiap jam istirahat, ia selalu mengungsi ke kelasku.
"Udah," jawabku singkat sambil sedikit melempar notesku ke meja.
"Sekarang kamu percaya?" Entah sudah berapa kali Sisi menanyakan hal itu minggu-minggu ini yang selalu tidak kujawab.
Saat aku kembali masuk sekolah, Sisi menyuruhku untuk putus dengan Leon—meski bukan untuk pertama kalinya. Namun, saat itu ia menjelaskan panjang lebar tentang kemungkinan bahwa Leon juga menjalin hubungan di belakangku. Itulah yang ia tanyakan. Apakah aku percaya bahwa Leon berpacaran dengan Gemini di belakangku? Aku sebenarnya bingung harus menjawab apa. Dengan segala sesuatu yang terjadi belakangan ini, kenyataan memang mengarah ke sana. Tetapi, aku tidak mau percaya.
"Udah, Si! Jangan ditanyain terus!" cegah Yesi saat Sisi akan membuka mulutnya lagi. Ia akhirnya mengatupkan mulutnya, urung berbicara.
Aku mengambil buku novel milikku, notes dan alat tulis yang baru saja kuletakkan kasar di meja. Tadinya, aku mau memaafkan mereka, tetapi tidak jadi. Sisi lebih dulu merusak suasana hatiku. Jadi, aku pergi ke bangku lain yang kosong karena ada yang tidak sekolah. Untungnya, letaknya cukup jauh dari mereka.
"Belum baikan juga?" tanya Beril padaku. Temanku yang tidak sekolah itu sebangku dengan Beril. Sudah beberapa hari terakhir ini, setiap jam istirahat, aku selalu duduk dengannya mengerjakan tugas jurnalistikku atau sekadar membaca novel.
Aku tidak menjawab, melirik pun tidak. Beril tidak lanjut bertanya dan kembali mengobrol dengan temannya yang duduk di belakang. Sedangkan, aku hanya menatap kosong pada catatan yang berisikan hasil wawancara tadi. Tidak berniat menyusunnya menjadi sebuah teks yang baik. Buku novel yang baru setengah kubaca itu pun juga tidak menarik perhatianku. Semangatku benar-benar meluruh hari ini.
Sisa hari berjalan dengan buruk. Suasana hatiku akan terus seperti ini bahkan hingga esok harinya. Tidak seperti biasanya, saat pulang sekolah aku langsung menuju gerbang. Tidak menghampiri kelas Leon, malas. Lagipula, jawabannya akan selalu sama.
"Maaf! Aku ada urusan sama Gemini." Selalu begitu.
Ingin sekali aku berteriak begini, "Terus aja urusin Gemini! Urusin tuh selingkuhanmu. Inget, ya! Kamu yang mau hubungan ini ada. Kamu yang mau kita pacaran. Kamu!"
Namun, tak ada gunanya, bukan? Hanya buang-buang waktu dan tenaga. Ah, sepertinya aku mulai percaya kalau Leon memang selingkuh! Dengan langkah pelan menuju gerbang, juga air mata yang turun tanpa diinginkan, aku mengakui kekalahanku.
Lalu, tiba-tiba saja seseorang mencekal pergelangan tanganku. Aku pikir itu Sisi dan Yesi, jadi aku berteriak kesal, "Apalagi sih, Si, Yes? Iya, aku percaya. Puas?" Namun, ternyata bukan mereka.
"Sorry! Tapi, bisa ngobrol sebentar? Kita ke coffee shop-ku, ya? Sebentar aja," katanya sambil perlahan melepas cekalannya.
"Maaf," lirihku. Aku merasa bersalah karena sudah meneriakinya. "Tapi, bisa di sini aja?" sambungku dengan kepala menunduk. Aku tidak mau pergi ke mana-mana. Satu-satunya tujuan pulangku adalah rumahku, kamarku.
"Please! Ada hal penting yang mau aku bilang. Biar kamu lebih tenang juga." Ia masih membujuk dan akhirnya aku mengangguk.
Kak Agatya menuntunku ke tempat motornya berada. Kami segera berangkat setelah dengan ragu aku menaiki motornya. Di perjalanan, aku hanya diam. Menatap kosong pada jalanan yang tidak terlalu ramai. Ia pun begitu, memilih fokus mengendarai sepeda motornya.
Sampai di coffee shop, aku disuruh untuk langsung menaiki tangga menuju lantai dua, tempat biasanya klub fotografi diadakan. Sedangkan, ia entahlah mau apa. Bukan urusanku. Pikiranku terlalu mumet untuk sekadar menyimak penjelasannya yang singkat.
Aku menduduki sofa dekat balkon agar aku bisa melihat suasana di luar. Entah berapa lama, tiba-tiba saja gelombang suara lelaki sampai pada gendang telingaku. Asalnya dari pintu di seberang tempatku duduk. Aku menoleh dan menatap lelaki itu datar.
"Maaf lama, aku pesan moccacino kesukaan kamu. Kamu minum dulu, baru aku kasi tahu yang mau aku omongin. Oh iya, untuk seterusnya langsung panggil nama aja, ya?" katanya. Ia menaruh secangkir kopi itu di meja panjang dan duduk di sisi yang agak jauh dariku.
Aku menggeleng dan berkata, "Langsung aja. Aku gapapa." Kembali kualihkan pandanganku ke luar.
"Kamu yakin? Ini bukan berita baik." Ia bertanya memastikan.
"Tentang apa?" tanyaku tanpa menolehnya.
Agatya tidak langsung menjawab. Ia membiarkan hening menyergap sejenak sebelum akhirnya berkata, "Leon dan ..." Ia menggantung ucapannya.
"Gemini?" sambungku dengan nada bertanya bersamaan dengan tolehan kepalaku. Ia mengangguk pelan.
Aku menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan, berusaha menenangkan gejolak emosi dalam hatiku. "Bilang aja!" titahku setelahnya sembari memalingkan muka.
Meski sudah tahu apa yang akan Agatya katakan, hati dan telingaku masih tidak siap mendengarnya. Meski dua sahabatku sudah mengatakannya berkali-kali, aku tetap tidak pernah terbiasa. Meski sudah mengetahui kenyataannya, aku ingin tetap mempertahankannya.