[Agatya's POV]
Malamnya, sebuah nomor tak dikenal menge-chatku. Tak perlu bertanya-tanya, aku sudah tahu bahwa nomor itu adalah milik Sisi---terlepas dari ia juga memperkenalkan dirinya. Tak ada basa-basi apa pun darinya, ia langsung meminta bertemu besok sepulang sekolah. Untuk tempatnya, aku yang menentukan.
Besok sorenya, kami bertemu di coffee shop milikku. Aku tidak memberi tahu kepada mereka (ternyata Yesi ikut) bahwa tempat itu milikku, jadi kami bertiga duduk di meja pelanggan.
"Sepenting itu sampai kalian masih pakai seragam? Mau bahas apa?"
"Sikap Leon ke Savira beda banget sama yang dulu. Kita ngira itu semua karena Gemini, murid baru di sekolah. Sedangkan, Savira enggak mau percaya itu. Kita juga enggak punya bukti, sih. Terus, waktu Savira pingsan di sekolah tiga hari yang lalu, Leon enggak mau antar pulang. Dia lebih milih untuk latihan dance. Dua hari yang lalu, Leon juga gitu. Belum lama jenguk Savira, dia pergi karena harus latihan dance. Padahal mereka udah lama enggak ngobrol karena ujian," jelas Sisi panjang lebar.
Aku terdiam mendengar penjelasannya di akhir. Aku baru mengingat sesuatu saat menemani adik sepupuku mencari buku. Dua hari yang lalu, aku jelas-jelas melihat Leon sedang bergandengan tangan dengan seorang perempuan di sebuah pusat perbelanjaan. Saat itu, kupikir perempuan itu Savira. Jadi, aku memilih untuk menghindar agar tidak perlu melihat mereka dan tidak berpikiran macam-macam. Sedangkan, Sisi mengatakan kalau Savira tetap diam di rumah.
"Sabtu kemarin, aku liat Leon di mal," kataku singkat dengan kepala sedikit menunduk.
"Di mal? Ngapain?" Yesi yang bertanya.
"Enggak tau. Aku cuma liat dia gandengan sama cewek."
"Kakak ada fotonya?"
Aku menggeleng. "Enggak. Waktu itu kukira ceweknya Savira."
Dalam hatiku, aku menggerutu. Padahal aku sudah mengatakan bahwa aku akan mengintai Leon. Namun, bisa-bisanya aku kecolongan. Sisi bertanya lagi apakah aku pernah melihat Leon selain saat itu. Aku mencoba mengingat, tetapi sepertinya tidak pernah yang mencurigakan. Pengintaianku selalu berakhir dengan hasil yang aman. Jadi, aku berhenti.
Setelah bertemu dengan Sisi dan Yesi beberapa hari lalu, aku kembali mengikuti gerak-gerik Leon. Aku tahu hal ini sebenarnya menyeramkan, bahkan bisa dibilang tindakan kriminal, tetapi aku harus melakukannya.
Setiap jam pulang di sekolah Savira, aku selalu diam di sekitar sana untuk melihat dengan siapa Leon pulang. Namun, sudah seminggu lewat, Leon tidak pernah pulang dengan Savira. Ia selalu pulang lebih terlambat dan bersama seorang perempuan yang sama. Mungkin perempuan itu yang namanya Gemini. Aku memfoto kejadian itu beberapa kali sebagai bukti. Sekali lagi, aku tahu ini ilegal, tapi ini yang harus dilakukan agar Savira bisa percaya.
***
Kepalaku terasa penuh sekali akhir-akhir ini. Tugas kuliahku semakin menumpuk dan sebentar lagi juga akan ada ujian. Jadi, aku memutuskan untuk pergi ke taman sendirian dengan kameraku malam ini. Cuacanya sedang bagus, sejuk dan menenangkan. Aku menaiki motorku menuju taman favoritku. Aku tidak pernah tahu namanya hingga aku memberinya sebuah nama. Taman Rasa. Memang tidak indah dan sangat sederhana, tapi aku menyukainya.
Saat sampai di sana, aku justru merasa bingung. Taman ini sedang ramai sekali, hampir semuanya berpasangan atau bersama keluarga. Aku segera mengecek hari di ponselku dan kusadari bahwa sekarang adalah malam minggu. Pantas saja. Malam minggu selalu menjadi waktu yang tepat untuk quality time bersama orang tersayang. Sedangkan, aku sendirian pergi ke taman ini. Ingin pulang, tetapi cuaca dan suasananya sedang sangat indah untuk diabadikan.
Akhirnya, kuputuskan untuk berkeliling dan mencari tempat yang sedikit sepi agar aku tak perlu melihat kemesraan orang-orang. Seperti dugaanku, tidak akan ada tempat yang sepi ketika malam minggu. Semua sudut taman ramai oleh orang-orang. Mau tidak mau, aku harus berusaha menikmatinya dalam situasi seperti ini.
Aku melakukan jepretan asal dengan kameraku dan mengecek hasilnya. Seseorang yang terasa familiar ada di hasil foto itu. Kuperhatikan lebih saksama foto itu, tetapi tak terlihat jelas karena hasil fotonya yang kabur. Lalu, aku menatap ke arah yang sama seperti di foto. Namun, tidak ada yang terlihat familiar. Entah kenapa, aku merasa harus mencari orang itu. Jadi, aku memperhatikan setiap orang yang berada di taman itu, sekiranya mungkin ada orang yang kukenal.
Aku mulai menyerah ketika tak kunjung terlihat orang itu, padahal aku merasa sudah mengamati setiap orang yang ada di sini. Setelah meminum air yang kubeli tadi pada pedagang yang memang berkeliling di area taman, aku duduk di salah satu bangku dan kembali melihat foto asal yang kuambil tadi. Memperhatikan pria yang memakai sweater gelap sambil berharap aku bisa mengenali wajahnya yang terlihat kabur. Karena tidak juga bisa kukenali, aku mencoba memikirkan kemungkinan lain.
"Apa karena burem makanya keliatan familiar?" gumamku dengan mengalihkan pandanganku dari kamera.
Tepat saat di ambang kepasrahanku, justru datang titik terang. Mataku menangkap sosok yang sama dengan seseorang di kameraku. Kukerjapkan mataku beberapa kali untuk memastikan bahwa aku sedang tidak berhalusinasi atau salah lihat. Pria dengan sweater gelap itu ternyata Leon. Ia sedang bersama perempuan yang sering kulihat dengan Leon akhir-akhir ini. Mereka berdiri berdampingan dengan membawa gula kapas di tangan mereka. Aku beruntung karena bisa memotret mereka dengan jelas. Lampu taman di dekat mereka cukup menjadi penerang. Mereka yang berdiri menyamping juga memperlihatkan wajah mereka dengan jelas.
***
Sampai di rumah, aku berniat untuk menge-chat Sisi. Namun, entah kenapa aku (lagi-lagi) ragu untuk memberitahunya. Kami tidak pernah berkomunikasi lagi sejak pertemuan kedua itu di coffee shop milikku. Padahal, aku sudah memiliki beberapa bukti yang cukup untuk Savira percayai, tetapi ada sesuatu yang menahanku untuk memberitahunya. Setelah berpikir semalaman, akhirnya aku mengirim pesan pada Sisi untuk bertemu di tempat yang sama seperti saat itu.
Kami bertemu besok paginya. Namun, tanpa diminta justru mereka yang bercerita, lebih tepatnya Sisi. Katanya, Savira menjauhi mereka karena terus menyuruhnya untuk putus dengan Leon.
"Sekarang mereka semakin jauh, kak. Savira sibuk sama kegiatan jurnalisnya dan Leon sibuk sama latihan dance. Kita enggak tau di belakangnya gimana, gatau deh mereka masih sering kontakan atau enggak."
"Tapi, Savira baik-baik aja, kan?" tanyaku yang langsung kusesali karena jawabannya pasti tidak.
"Enggaklah, kak! Gila! Mana mungkin dia baik-baik aja?"
Pada akhirnya, aku tetap tidak memberi tahu mereka tentang apa yang sudah kulihat minggu ini. Mereka pun tidak bertanya alasan aku meminta bertemu. Mungkin karena terlalu khawatir dengan Savira yang menghindari mereka. Pertemuan itu pun usai begitu saja.
Setelah mereka pulang, Langit tiba-tiba menghampiriku. Ia bertanya, "Kenapa, bro? Lo beda banget akhir-akhir ini."
Aku yang tadinya memijit keningku langsung menoleh ke arahnya yang duduk di depanku. Tidak kujawab. Aku balik bertanya langsung pada intinya, "Menurut lo, gue harus ngasi tau Savira kalau pacarnya selingkuh?"
Ia tertegun sebentar sebelum akhirnya menjawab, "Mendingan jangan ikut campur, deh, Ga. Bukan urusan lo." Langit memang benar, tetapi ia tidak memahami posisiku saat ini.