[Gemini's POV]
Saat berbicara dengan Leon tadi, aku tidak sengaja melihat Savira yang masih menggendong tasnya berdiri di depan kelas. Ia jelas sekali menatap ke arah kami berdua dari jendela. Namun, ia langsung memalingkan muka dan pergi. Barusan pun begitu.
Saat jam istirahat, Savira dan satu orang temannya ke kelasku seperti hari-hari biasanya. Sisi dan Leon pun seketika menghampiri, masih normal seperti biasa. Namun, sekarang hanya Sisi yang pergi. Leon tetap tinggal di kelas karena memang akan melanjutkan tugas kelompok untuk persiapan ujian praktek mendatang. Aku yang sudah siap untuk mengerjakan tugas datang menghampiri mejanya, pun begitu dengan anggota kelompok kami yang lain.
Dalam hati, aku tersenyum puas melihat kekecewaan di wajah Savira. Aku juga yakin ia pasti sudah tahu bahwa aku sekelompok dengan pacar kesayangannya. Kentara sekali ia berusaha memaksakan senyumnya, bahkan sempat melirik sebentar ke arahku.
Aku rasa mereka juga sudah jarang menghabiskan waktu berdua. Apalagi di masa-masa ujian seperti ini. Mereka berdua pasti sibuk dengan tugas masing-masing, ditambah fakta bahwa mereka tidak sekelas semakin menyusahkan mereka untuk berkomunikasi langsung. Aku yang lebih sering bersama dengan Leon pasti bisa dengan mudah menarik perhatiannya untuk menjauh dari Savira selamanya.
[Savira's POV]
Jam istirahat adalah waktu yang tepat untuk sendirian di dalam toilet karena orang-orang lebih suka menggunakan toilet untuk bolos di jam pelajaran. Aku pun sebenarnya jarang menggunakan toilet di jam istirahat, tapi kali ini benar-benar tidak bisa kutahan. Lagi-lagi, aku duduk sendirian bersandar pada dinding sambil memeluk lutut. Sisi dan Yesi sengaja kusuruh untuk pergi ke kantin lebih dulu karena mataku sudah mulai berkaca-kaca tadi, dan sekarang aku menangis. Tanpa suara, hanya air mata yang mengalir di kedua pipi. Aku juga tidak tahu kenapa aku menangis. Sebenarnya tahu, hanya saja tidak yakin. Masa aku menangis hanya karena Leon lebih memilih mengerjakan tugas kelompoknya daripada makan bersamaku di kantin? Tidak masuk akal, bukan?
Sebelum keluar, tak lupa aku mencuci muka untuk menghindari kecurigaan dua temanku itu. Kupasang wajah pura-pura bahagia di hadapan mereka. Namun, sepertinya mereka tahu, hanya tidak membicarakannya. Setelah selesai makan, Sisi menyarankanku membelikan roti bakar untuk Leon makan.
"Kamu, kan, engga bisa makan bareng Leon, jadi kamu yang beliin dia makan. Sekalian panes-panesin cewek centil itu. Makin diliatin, makin engga tau batasan. Aku yang engga ada apa-apa sama Leon aja kesel, apalagi kamu, Sav. Aku ngerti banget seemosi apa kamu." Sisi terlihat gemas, seperti akan mencekik Gemini jika ia punya kesempatan. Aku mengiyakan saja.
Mereka ikut menemani. Namun, aku tidak mendapatkan roti bakar karena tokonya tutup. Jadi, hanya empat bungkus roti coklat berbentuk persegi dan cukup tebal. Sengaja kubeli banyak, siapa tahu ia lapar sekali.Tak lupa juga air mineral dengan ukuran tanggung. Setelahnya, menuju kelas Leon.
Sisi ikut masuk karena ini memang kelasnya, sedangkan Yesi menunggu di luar dan melihat dari jendela. Aku menghampiri Leon dengan roti juga air mineral di tangan. Ia sedang fokus bersama kelompoknya dan baru menoleh ketika aku memanggil namanya.
"Ini aku beliin roti sama minum. Dimakan sambil ngerjain tugas, ya? Sebentar lagi ujian, jangan sampai sakit!" kataku.
Ia tersenyum menatapku dan berkata, "Iya. Makasih, ya? Nanti kuantar pulang."
"Kalau kamu engga sibuk. Aku ke kelas, ya? Bye!" Leon mengangguk dan aku menjauh darinya. Sebelum benar-benar keluar kelas, aku mengucapkan kata perpisahan sesaat kepada Sisi. Lalu, kembali ke kelas bersama Yesi.
"Gitu aja? Engga seru banget. Padahal aku nunggu, loh!" ucap Yesi dengan raut kecewa.
"Nunggu apa? Adu mulut sama Gemini? Capek, Yes. Engga enak juga rusuh di kelas orang. Adu mulutnya kapan-kapan aja. Mending kita fokus sama ujian nanti aja," kataku sambil merangkul pundak Yesi.
"Tapi, Gemini itu harus dikasi tau, Sav. Anaknya engga bisa dipercaya. Kamu, kan, denger sendiri dari Sisi anaknya gimana?" Yesi tetap kukuh dengan pendiriannya.
"Gemini mungkin engga bisa dipercaya, tapi Leon bisa. Jangan nethink terus! Aku ikut kepikiran yang engga-engga, terus malah jadi masalah. Yuk, bisa positive thinking!" Aku terkekeh setelah mengatakannya.
Meski, kenyataannya tidak sepenuhnya seperti itu. Tanpa Yesi bilang begitu pun, aku sudah berpikir macam-macam tentang Leon. Sekali lagi, aku percaya dengan Leon. Maka dari itu, aku berusaha untuk positive thinking dan memilih fokus pada ujian nanti.
Pulang sekolah, sesuai perkataannya tadi, ia mengantarku pulang. Sekarang, sampai di depan rumah karena kubilang akan memberi tahu mama tentang hubunganku dan dia. Kenapa tiba-tiba? Aku pengin saja memberi tahu mama sekarang, sebelum terlambat.
"Kamu yakin, Sav? Mama sama papa kamu engga akan marah? Kalau nanti marah, mending jangan dulu, deh! Kasihan kamu, Sav!" Kami masih berada di depan gerbang rumahku. Ia bahkan belum turun dari motornya.
Aneh. Bukankah dia yang ingin diakui sebagai pacar di depan orang tuaku? Kenapa sekarang justru takut? Aku tertawa dan berusaha meyakinkannya, "Engga, mamaku pasti ngerti, kok. Kalau papaku, bisa dibicarakan."
"Tuh, kan! Nanti papa kamu marah."
"Papa engga ada di rumah jam segini, masih kerja. Udah, gapapa. Masalah papa, nanti aku sama mama yang atasin."
Akhirnya, Leon setuju. Ia berjalan di belakangku menuju halaman. Saat akan membuka pintu, ia menahan tanganku dan berbisik, "Beneran gapapa? Aku takut."
Astaga! Ia benar-benar membuat jantungku berhenti sejenak, lalu berdebar kencang. Wajahku bahkan sampai terasa panas karenanya. Bayangkan saja! Ia berdiri di belakangku, menahan tanganku, dan berbisik di dekat telingaku. Aku nyaris merinding tadi.
"Sav, kok diem? Beneran gapapa, kan? Jangan bikin makin takut!"
Justru kamu yang membuatku begitu, batinku. "Gapapa," jawabku singkat karena aku berusaha setengah mati menahan kegugupanku.
Aku memanggil mama ketika kulihat ruang tamu kosong. Namun, tidak ada sautan. Apakah mama sedang pergi? Tidak mungkin, motor mama masih ada.
"Tunggu di sini dulu, Le! Duduk aja. Aku ke atas dulu, mungkin mama di atas." Setelahnya, aku pergi ke atas. Lebih tepatnya ke kamar mama dan papa dan tetap tidak ada mama di sana.
"Sore, tante! Tante apa kabar?" Aku segera turun ke bawah saat kudengar Leon berucap begitu.
Mama seketika melirikku yang baru sampai di bawah tangga. "Ma, darimana?" Aku mendekati mama perlahan, raut wajah beliau sedang tidak baik.
"Kamu dianter Leon pulang?" ucap mama datar. Aku mengangguk pelan.
"Terus? Kenapa dia masih di sini?"
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Kulirik Leon yang masih berdiri dekat sofa, ia setengah menunduk. Mama pun ikut menatap Leon. Hening.
Tak lama, Leon pun mendongak. "Kalau gitu, saya pamit pulang, tan. Sav, aku langsung pulang aja, ya? Pamit, tan."
Leon sudah hampir sampai pada pintu keluar. Sedangkan, aku masih sibuk mengumpulkan keberanian untuk memberi tahu yang sebenarnya. Mama hanya diam menatap Leon dengan ekspresi datar. Entah darimana, keberanianku seketika muncul.
"Tunggu, Le! Aku belum bilang apa-apa ke mama." Aku menghampiri Leon yang sudah membalikkan tubuhnya menghadap ruang tamu. "Mama masih inget Leon, kan? Sekaerang, dia pacar aku, ma," ucapku tanpa terbata-bata sambil memegang lengan Leon. Tatapanku hanya tertuju pada mama.
Ekspresi mama yang datar seketika berubah pasrah. Beliau juga menghela napas panjang setelahnya. "Mama tau. Tapi, dengerin mama, Savira. Sekali lelaki bikin perempuannya nangis, itu akan selalu terjadi. Dia pernah bikin kamu nangis dan itu engga cuma sekali dua kali." Mama memegang kedua bahuku, berusaha membuatku untuk mengerti.
Aku mengerti maksud mama. Sangat mengerti. Aku tahu mama tidak mau anaknya mengalami hal serupa dengan dirinya. Tapi, aku tidak mau mama selalu memiliki trauma seperti itu. Aku ingin mama percaya bahwa Leon akan berbeda dengan mantan mama.
"Ma, Leon engga akan sama kayak yang mama pikirin. Aku yakin dan percaya sama Leon. Mama juga berusaha percaya, ya?" kataku lembut.
"Iya, tante. Saya minta maaf karena udah buat Savira nangis. Selanjutnya, saya janji akan selalu buat Savira bahagia. Tante bisa pegang janji saya," timpal Leon dengan yakin.
Aku bisa melihat keseriusan di matanya. Mendengar perkataannya, rasanya aku bisa tenang dengan segala kejadian di sekolah tadi.
Mama beralih kepada Leon, matanya sudah berkaca-kaca. "Iya, tante coba untuk percaya. Kamu jaga Savira baik-baik, ya? Jangan bikin dia nangis lagi!" Air mata mama seketika meleleh usai mengucapkan kata-kata itu, namun segera disekanya.
"Pasti, tante. Tante engga usah khawatir. Kalau gitu saya pamit, ya, tan, Sav?"
Mama dan aku mengangguk, tapi hanya aku yang mengantar Leon sampai gerbang. Mama bilang ingin langsung ke kamar saja.
Di depan gerbang, sebelum Leon menaiki motornya, aku mengatakan sesuatu, "Makasih, ya? Aku percaya sama kata-kata kamu tadi."
"Makasih juga udah mau ngasi tau mama kamu tentang hubungan kita. Aku senang." Ia tersenyum dan aku ikut tersenyum. "Aku pulang, ya? Maaf tadi pagi engga bisa jemput dan lupa ngabarin. Papa kamu tadi diam di warung dan ngeliatin aku terus, kayaknya papa kamu udah curiga, deh!"
Aku membulatkan mata, lalu berkata, "Beneran? Tapi kamu engga diapa-apain, kan?"
"Engga, kok. Besok pagi kujemput, ya? Jangan kesiangan kayak tadi!" Ia terkekeh dan mengacak rambut di puncak kepalaku, sedangkan aku merengut. "Jangan cemberut! Ya udah, aku pulang, ya?" sambungnya.
Aku mengangguk, "Hati-hati!" Kini, ia yang mengangguk.
Begitulah. Mama tidak membicarakan apa pun tentang tadi sampai hari sudah malam. Papa pun sepertinya masih tidak tahu-menahu. Tidak apa, mama sudah tahu pun, itu cukup. Cepat atau lambat, papa pasti akan tahu, entah dari mama atau dariku langsung.