[Savira's POV]
Sudah hampir seminggu aku dan Leon tidak pulang bareng. Kami berdua sama-sama disibukkan dengan persiapan ujian praktik minggu depan. Belum lagi, kumpul ekskul. Untungnya, masih bisa berangkat bareng dengannya, juga sesekali makan bersama di kantin ketika tidak ada tugas. Memang benar-benar sesibuk itu.
Oh, iya! Papa sudah tahu tentang hubunganku dan Leon. Saat itu, seperti akhir-akhir ini, Leon datang menjemputku langsung ke rumah. Kebetulan, papa belum berangkat. Jadi, mereka tidak sengaja bertemu. Mama yang mengenalkannya, aku hanya diam takut dimarahi. Ternyata tidak. Papa melunak, sama seperti mama, dan membiarkanku untuk tetap menjalani hubungan ini. Tetap dengan satu syarat, nilaiku harus tetap bagus.
Ketika ujian praktik dimulai, semuanya menjadi lebih jarang, hanya melalui chat, itu pun tidak bisa sesering sebelumnya. Kami tidak sempat bertemu di sekolah, di luar pun juga tidak. Leon memang kusuruh berhenti menjemput dan mengantarku selama minggu-minggu ujian ini karena akan banyak barang yang harus dibawa. Kalau berangkat bersama, justru merepotkan Leon. Aku tidak mau. Jadi, khusus minggu ini dan mungkin minggu depan juga, aku diantar papa ke sekolah.
Selama ujian praktik itu, Sisi tidak pernah berhenti melapor padaku tentang kedekatan Leon dan Gemini. Banyak sekali yang ia katakan dan cenderung berlebihan. Ia bahkan sampai berasumsi sendiri dan menuduh yang tidak-tidak.
Saat kubilang ia terlalu berlebihan, ia justru berkata begini, "Sejak kapan kamu jadi buta gini, Sav? Bukannya kamu liat sendiri tadi? Mereka di kantin, makan berdua aja. Harusnya dia nyari kamu."
"Mungkin aja yang lain lagi pesen makanan, kan? Udahlah, Si! Habis ini, ada praktik lagi, kan? Aku mau ke kelas sama Yesi nyiapin semuanya. Mending kamu juga ke kelas." Aku menarik tangan Yesi untuk segera ke kelas, juga agar ia tak ikut-ikutan dengan opini Sisi.
"Sisi bener, Sav. Kamu engga mau tanya langsung ke Leon?"
Percuma. Yesi sudah setuju dengan Sisi. Aku menatapnya dengan malas dan menjawab, "Buat apa, Yes? Leon engga mungkin gitu. Dia udah janji."
Yesi menghela napas panjang, lalu berkata, "Terserah kamu, deh, Sav! Aku sama Sisi udah ngasi tau kamu. Siapin aja hati kamu untuk kemungkinan terburuknya!"
Aku berhenti melangkah. Kulepas tangan Yesi yang sedari tadi masih kugenggam. "Aku engga mau ini berakhir, Yes. Kalaupun semuanya bener, aku lebih milih untuk engga tau. Jadi, please berhenti! Berhenti ngeruntuhin kepercayaan aku ke Leon!" Aku langsung meninggalkan Yesi ke kelas.
Kenapa mereka tidak mengerti? Kenapa selalu saja ada hal yang berusaha meruntuhkan rasa percayaku kepada Leon? Susah payah kutanamankan pemikiran bahwa mereka hanya berteman, tidak lebih. Namun, apa? Tidak bisa dan tidak akan bisa bertahan lama.
Aku hanya lelah. Memikirkan hal ini hanya akan membuatku menangis. Jadi, kumohon berhenti! Biarkan aku menghadapinya sendiri. Biarkan aku tahu sendiri nanti. Entah bagaimana nanti jadinya, aku tidak peduli. Yang terpenting adalah Leon masih baik padaku. Sikapnya masih tidak berubah dan itu semua sudah cukup bagiku.
Ya, tapi itu hanya kata-kata yang tidak bisa kuterapkan dalam pikiran dan hatiku. Bagaimana mungkin aku bisa berpura-pura tidak tahu apa-apa, tidak melihat apa-apa, dan tidak mendengar apa-apa saat semuanya memberitahuku, bahkan aku sendiri pun melihatnya. Meski begitu, aku masih berusaha melemparnya jauh dari pikiranku dengan belajar untuk persiapan ujian tertulis minggu depan.
***
Akhirnya, semuanya selesai. Hanya perlu menunggu hasilnya beberapa minggu lagi ketika mengambil rapot akhir semester.
"Sav, kamu yakin gapapa? Muka kamu pucet banget. Aku anter pulang, deh!" kata Yesi saat baru saja akan pulang. Kami masih di kelas. Sisi pun di sini, ia sama khawatirnya dengan Yesi.
"Engga usah. Aku bareng Leon aja, ya? Dia udah bilang mau anter pulang, sebentar lagi juga dia ke sini. Kalian duluan aja," kataku dengan kepala yang sedikit pusing.
Mereka berdua saling tatap sebelumnya akhirnya Sisi angkat suara, "Kita tungguin sampai Leon ke sini, deh!" Yesi mengangguk setuju.
"Terserah kalian, deh! Dipaksa pulang juga engga akan mau." Aku malas berdebat karena rasa pusing ini semakin menjadi.
Mereka pun duduk di kursi yang ada di depanku. Aku merebahkan kepalaku karena tidak kuat menahan pusingnya.
"Sav, pulang sekarang aja, ya? Biar bisa cepet istirahat di rumah. Kasihan kamunya. Masalah Leon nanti aja dipikirin," kata Sisi sambil menepuk pelan lenganku.
Aku menggeleng, masih dengan kepala direbahkan di meja. "Aku mau tunggu Leon, Si. Kamu, kan, tau sendiri gimana hubungan aku sama dia akhir-akhir ini? Aku kangen," lirihku.
"Kalau gitu, tunggu di UKS aja, ya? Istirahat sebentar di sana." Giliran Yesi yang membujuk.
Aku menggeleng lagi. "Engga mau. Palingan UKS udah dikunci. Leon sebentar lagi pasti dateng, kok," rengekku.
Beberapa menit kemudian, Leon muncul di depan pintu dengan napas terengah-engah juga keringat bercucuran di pelipisnya sambil meneriaki namaku. Aku mendongakkan kepala menatapnya sambil tersenyum tipis. Aku berdiri menghampirinya dengan lemas.
Setelah sampai di depannya, aku berkata lirih sekali sambil memaksakan senyum tipis, "Yuk, pulang!"
"Maaf, Sav! Aku engga bisa anter pulang. Aku lupa ngabarin ada latihan dance mendadak."
Senyumku seketika luntur. "Oh, gitu? Yaudah, deh! Kamu latihan aja, aku pulang sendiri."
"Sorry, ya? Kalau gitu, aku ke aula lagi." Leon hendak berbalik, tapi tidak jadi. Ia justru menyambungkan katanya tadi, "Si, Yes, jagain Savira, ya?"
Aku tidak tahu Sisi meneriakkan apa kepada Leon. Kepalaku terlalu pening sehingga aku fokus pada rasa sakitnya. Aku menyenderkan tubuhku pada pintu agar tidak terjatuh. Pandanganku kian-lama kian menghitam dan aku tidak mengingat apa-apa lagi.
[Sisi's POV]
"Woi! Leon bang---"
"Si!" Yesi memotong ucapanku yang nyaris saja mengumpat. Ia memegang erat lenganku dan menggeleng pelan.
Aku mengangguk, mengerti maksudnya. "Iya, iya. Enggak akan," kataku karena Yesi tak kunjung melepaskan lenganku.
Setelah begitu, barulah ia melepas genggamannya. Aku menghampiri dan menarik kerah baju Leon. "Lo tuh pacarnya bukan, sih? Punya mata engga? Savira lagi sakit, udah pucet banget dan lo dengan entengnya bilang enggak bisa nganter dia pulang? Seenggaknya lo anter pulang dulu, kek! Izin bentar apa susahnya?"
Belum sempat Leon menjawab, Yesi lebih dulu berteriak. "Sav, Sav! Bangun, Sav! Jangan pingsan dulu dong!"
Aku menoleh ke belakang dengan tangan masih mencengkeram kerah baju Leon. Savira sudah merosot nyaris bersimpuh dengan Yesi yang menggoyang-goyangkan tubuhnya untuk menyadarkannya kembali. Cengkeramanku seketika lepas dan menghampiri Savira yang tak sadarkan diri.
"Maaf, tapi aku enggak bisa anter Savira! Aku harus ke aula sekarang," Leon justru pergi tanpa memperlihatkan rasa empatinya.
Aku ingin menyusul dan memaksanya untuk mengantar Savira pulang. Bila perlu, aku akan menyeretnya kembali ke sini. Namun, Yesi lagi-lagi menahan lenganku.
"Biarin aja si Leon. Kita aja yang anter Savira pulang, ya?"
"Gimana caranya, Yes? Kita enggak mungkin kuat angkat dia."
"Pasti bisa. Rumah Savira dekat juga, kan? Kamu bawa tasnya, ya?" Yesi melepaskan tas ransel Savira dan memberikannya padaku.
Lalu, ia mulai berusaha menggendong Savira yang masih tidak sadarkan diri. Aku hanya diam memegang tas Savira karena sedang berusaha untuk meredam amarahku.
"Sisi, bantuin! Malah diam aja," rengek Yesi karena ia sedang kesusahan berdiri.
Aku berdecak dan berkata, "Sini aku aja. Kamu yang bawain tasnya."
Akhirnya, kami berdua yang mengantar Savira pulang. Aku menggendongnya sambil berjalan kaki hingga ke rumah Savira karena tidak memungkinkan naik motor. Sedangkan, Yesi mengendarai motornya ke rumah Savira. Lalu, kembali mengambil motorku dan membawanya kembali ke rumah Savira. Ribet memang, tapi mau bagaimana lagi? Kalau ditanya aku kuat atau tidak menggendong Savira sampai ke rumahnya, tentu saja tidak kuat. Kembali lagi, mau bagaimana lagi? Harus dikuatkan.