/Gemini's POV/
Selasa. Semua guru yang mengajar hari ini sudah memberitahukan ujian praktik yang akan dilakukan dua minggu lagi. Kebetulan semuanya harus berkelompok dan aku selalu sekelompok dengan Leon. Sebuah keberuntungan yang langka, terjadi berkali-kali pula.
Kawan sebangkuku mengguman pada dirinya sendiri, "Dua minggu lagi ujian praktik, minggu depan langsung ujian teori. Mampus, nih, otak gue! Yang kuat diriku."
Aku menjawab ucapannya, "Lebay banget. Segitu aja gampang, kok."
"Gue kan bukan lo yang pinter sejak lahir," katanya kesal.
Aku tertawa dan mengibaskan tangan di depan wajahnya. "Engga gitu juga lah."
Ia tidak menjawab lagi, langsung menyusul teman sepergaulannya. Sedangkan, aku masih membereskan beberapa buku terakhir dan memasukkannya ke dalam tas. Tepat saat menggendong tas ransel, seseorang menyapa.
"Gem, kamu free, kan? Kalau kita langsung buat tugas bahasa Inggris, gimana?"
Aku setuju saja, asalkan anggota kelompok lain juga bisa. Lagipula, mempersiapkan ujian praktik berarti bersama dengan Leon.
***
Sambil pura-pura berpikir, aku melirik-lirik Leon yang kebetulan duduk di depanku. Kami sedang mengerjakan narasi, hal yang akan dijelaskan nanti, sesuai dengan pembagian yang sudah disepakati sebelumnya. Aku dan Leon hanya terpisahkan oleh meja kayu dengan lebar 80 cm. Kalau saja dua orang temanku ini tidak ada, aku pasti sudah berbincang ria dengan Leon.
Kertas di depanku masih putih bersih tanpa coretan tinta, hanya garis-garis lurus yang memang sudah ada di sana sejak keluar dari percetakan. Meski sebuah pensil ada di tanganku, namun pikiran dan mataku selalu mengarah kepada orang di hadapanku ini yang sedang sibuk menulis dan membaca artikel di layar ponselnya silih berganti. Ah, kenapa daya tariknya semakin menguat ketika sedang serius begini! Aku tidak bisa fokus pada tugasku.
Aku menaikkan tangan kiriku ke meja dengan telapak tangan yang memegang dahi, berusaha menutupi pandanganku sendiri ke Leon agar aku bisa lebih fokus dengan tugasku. Tangan kananku juga sudah memegang pensil dan bersiap menuliskan kata pertama, tapi hanya mematung di atas kertas. Mata dan pikiranku tetap lebih tertarik melihat Leon. Tiba-tiba, Shani yang duduk di sebelahku menyiku tangan kiriku hingga terjatuh ke meja mengakibatkan debuman yang tidak terlalu keras, namun mampu mengalihkan atensi orang yang berseberangan denganku.
"Eh, sorry! Padahal tadi niatnya pelan doang, habisnya kertas lo masih kosong, tuh! Lo melamun, ya?" Aku menatap kertasku yang memang masih kosong.
"Lo bingung sama tugasnya?" tanya Leon.
Aku mendongak dan menggeleng. "Ngerti, kok. Gue bingung aja mau nulis apa, tiba-tiba nge-blank," alibiku.
Mereka bertiga saling menatap, lalu Shani mengambil keputusan. "Kalau gitu sampai sini aja dulu, lagian ini bisa dikerjain sendiri-sendiri. Nanti kita bahas lagi di grup. Ini juga udah sore, kan?" Aku tidak menjawab.
Mereka pun membereskan peralatan tulis mereka dan menggendong tas masing-masing. Aku mengantarkan mereka ke gerbang dan kembali masuk ke dalam setelah jejak mereka menghilang. Aku menepuk-nepuk dahiku beberapa kali sambil mengatai bodoh setelah kembali ke kamarku.
"Kenapa harus malu-maluin depan Leon, sih? Kalau gini, gimana mau ngalahin Savira? Pokoknya gue harus bisa lebih dari Savira. Harus bisa, Gemini!" gumamku sendirian.
Aku duduk di kursi tadi, mengambil pensil yang tergeletak begitu saja di meja, dan mulai berpikir. Lima menit berlalu, kertas itu masih kosong. Otakku terasa macet, namun aku masih berusaha. Lima menit berlalu lagi, masih kosong. Aku menyerah. Sedikit membanting pensil yang kupegang, lalu memilih tiduran di kasurku sambil bermain ponsel.
Hanya satu hal yang sering kulakukan akhir-akhir ini, yaitu membuka media sosial dan menge-stalk laman media sosial Leon. Tidak banyak foto yang ia bagikan, hanya 10 foto. Kutekan postingan terakhirnya, menatapinya bermenit-menit, lalu melihat postingan di bawahnya. Terus begitu, hingga foto yang menampilkan seorang perempuan dengan rambut tergerai sepunggung. Ia memakai kaus putih oversized yang dimasukkan ke dalam celana kulot putihnya dengan tas selempang berukuran sedang. Sedang mengambil salah satu buku yang terpajang di rak toko buku.
Padahal sudah berkali-kali aku melihat foto ini. Namun, rasa kesal dan marah masih saja datang ketika tak sengaja melihatnya. Ditambah lagi dengan caption "She is my princess!" yang semakin memuakkan diriku. Kalau sudah begini, aku akan beralih ke laman media sosial perempuan itu dengan menekan akun yg ditag oleh Leon di foto itu. Hanya tiga postingan dan ketiganya menampilkan foto langit. Profilnya pun kurang lebih sama, siluet seseorang---mungkin dirinya---bersama langit sore.
"Sok estetik banget, deh! Paling juga nyomot di pinterest." Aku membanting ponselku ke kasur tanpa menutup laman perempuan itu. "Apa coba yang spesial dari Savira? Perasaan gue lebih cantik daripada dia. Kayaknya juga pinteran gue. Gue juga engga lemah dan manja kayak dia. Dilihat dari mana-mana juga lebih perfect gue. Gimana pun caranya, gue harus bisa dapatin Leon!"
***
/Savira's POV/
Aku tidak bisa tidur, padahal biasanya aku sudah terlelap. Pikiranku selalu mengarah pada kata-kata Sisi di chat tadi. Sisi bilang, Gemini selalu mendapat kelompok yang sama dengan Leon sejauh ini. Ia juga bilang bahwa Gemini terlihat sangat ingin dekat dengan Leon, sedangkan Leon sama sekali tidak menunjukkan kerisihan. Aku bingung apakah aku harus marah atau tidak, karena aku percaya pada Leon. Namun, rasa cemburu ini tidak bisa hilang begitu saja. Maksudnya, aku percaya pada Leon bahwa ia akan setia padaku. Namun, aku takut ia tidak bisa menjaga hatinya. Apa artinya aku tidak sepenuhnya percaya pada Leon?
"Jangan dipikirin, Savira! Leon engga akan selingkuh. Engga mungkin. Jadi, tenang! Ayo, bisa positive thingking!" sugestiku sambil menutup mata, berusaha untuk tidur.
Lalu entah bagaimana, hari seketika berubah terang. Aku berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi semalam sambil mengumpulkan kesadaranku dan seketika terkejut. Semalam aku ketiduran dan sekarang aku kesiangan (lagi). Sebentar lagi Leon pasti sudah menunggu di warung depan gang. Aku segera bersiap-siap dengan kecepatan kilat agar Leon tidak lama menunggu di sana.
Dengan terburu-buru, aku menuruni tangga sambil melihat layar ponsel yang menampilkan waktu saat ini. Sepuluh menit lagi sudah bel masuk dan aku tidak mungkin sempat sarapan.
"Kesiangan, ya? Ini mama buatin sandwich, mau kamu makan di jalan?" ucap mama santai.
"Mama kok engga bangunin, sih?" Aku protes, lalu meminum segelas air.
"Sengaja, biar sekali-sekali kamu bangun sendiri. Udah, engga usah protes. Nih, makan di jalan! Nanti kamu telat. Ini botol minumnya." Mama menyodorkan sepotong sandwich dan botol minum.
Dengan wajah masam, aku mengambilnya. Lalu, pamit pada mama---papa sudah berangkat lebih awal. Sambil memakan sandwich, aku berjalan dengan cepat hingga ke luar gang. Tempat di mana Leon biasa menunggu, tapi ia tidak terlihat. Aku tidak sempat memikirkan alasannya. Ini sudah hampir telat, aku tidak punya waktu untuk itu.
Beruntung jarak dari rumah ke sekolah terbilang dekat sehingga tidak butuh waktu lama untuk sampai. Sandwich yang kumakan sembari berjalan cepat ke sini juga sudah habis tak bersisa. Aku segera berlari ke kelas sebelum bel benar-benar berbunyi. Namun, langkahku memelan ketika kulihat Leon duduk di kelasnya dengan santai dan Gemini di sebelahnya. Mereka terlihat membahas sesuatu. Sedetik kemudian, Gemini melirik ke arahku, tapi aku seketika memalingkan muka dan melanjutkan langkahku yang sempat terhenti. Pura-pura tidak melihat.
"Yes, menurut kamu, hubunganku sama Leon bertahan lama engga?" tanyaku setelah duduk di bangku.
Yesi yang memang sudah menatapku mengerutkan keningnya, "Kenapa? Ada masalah lagi?"
Aku tidak tahu ini masalah atau bukan. Entah aku yang terlalu cemburuan atau memang sudah tidak wajar. Masalahnya, Leon tidak berkata apapun padaku semalam. Tidak apa jika ia tidak bisa menjemputku, tapi aku butuh alasan. Dan Leon tidak memberikannya pagi ini. Awalnya kukira ia mungkin sakit, tapi ternyata ia ada di sini, di kelasnya. Berbincang dengan Gemini. Lupa? Ia selalu menjemputku setiap hari dan mengantarku pulang ketika sedang tidak sibuk. Selingkuh? Apa secepat itu ia melupakanku? Tidak, Leon tidak akan begitu. Aku percaya padanya, tapi ini sakit.