/Gemini's POV/
Aku mengetuk-ngetuk meja dengan telunjukku berulang kali sambil menatap pintu yang terbuka lebar. Menanti-nanti seorang lelaki yang kusukai muncul di sana. Kegelisahan semakin bertambah ketika orang yang kunanti tidak kunjung datang, padahal jam sebentar lagi menunjukkan pukul 7 pagi.
"Please, jangan telat!" Aku menggumamkan kata itu berulang kali sambil melihat jam dan pintu silih berganti.
Kurang 2 menit sebelum pukul 7 tepat, suara perempuan yang benar kukenal menyebut namanya, "Bye, Leon!" Lalu disusul dengan kemunculan Leon yang sedikit terengah-engah ketika memasuki kelas. Ia buru-buru menuju bangkunya dan mencari topi yang ada di dalam tasnya, lalu duduk untuk menetralkan napasnya yang tak beraturan.
Aku berinisiatif menghampirinya dan membawakan minum. Sekaligus melancarkan permintaan maafku.
"Le, mau minum?" Kusodorkan botol minumku padanya yang belum kuminum sama sekali.
Ia menoleh dan menegakkan tubuhnya, lalu tulus menjawab, "Engga usah, Gem. Gue bawa minum juga, kok."
Aku kembali mendekap botol minumku, namun tidak langsung meminta maaf. Sedangkan, Leon menungguku membuka mulut.
"Le, soal---" ucapanku terhenti karena bel lebih dulu berbunyi nyaring.
"Ngomongnya nanti aja, ya? Udah bel, harus ke lapangan, kan?"
Aku mengangguk, lalu ia keluar lebih dulu meninggalkanku yang masih mematung.
"Astaga, Gemini! Kenapa malah diem? Harus ke lapangan, terus minta maaf sama Leon," gumamku pada diriku sendiri.
Namun, aku tidak sempat berbicara lagi dengannya. Di kelas pun rasanya sulit karena aku duduk jauh darinya. Tapi, sepertinya Dewi Fortuna sedang bersamaku. Aku hampir lupa bahwa sekarang sudah mulai memasuki masa ujian, entah itu ujian tertulis atau praktik. Ketika jam terakhir, guru bahasa Indonesia kami menjelaskan tentang ujian praktik nanti. Kami disuruh mementaskan drama dengan tema fairy tale. Beruntungnya, aku sekelompok dengan Leon.
"Kelompoknya udah pas, ya? Sekarang kalian boleh diskusi mau mentasin apa nanti. Untuk kostum dramanya, disesuaikan aja. Kalau bisa nyewa, silakan sewa. Hari Kamis waktu pelajaran Ibu, kalian kumpulin naskah yang udah kalian buat ke Ibu. Jelas semuanya?"
"Jelas, Bu," jawab kami serempak.
"Ibu tinggal dulu, ya? Jangan terlalu ribut! Nanti kalau udah bel dan Ibu belum balik, kalian boleh langsung pulang. Ibu harap kalian serius ngerjainnya." Setelah itu, beliau langsung pergi dan kondisi kelas seketika ramai.
"Mau tentang apa, nih?" tanya Gia, salah satu teman kelasku.
"Gini banget kelompok terakhir, masa cowoknya cuma 3?" keluh Randy.
"Fairy tale yang terkenal apa, ya? Yang gampang diperanin dan kostumnya engga mahal-mahal amat," ujar Kirana, teman sekelompokku yang lain.
"Cinderella terkenal, tuh!" celetuk Randy.
Namun, Gia keberatan karena kostumnya pasti mahal dan ia tidak punya banyak uang. Empat orang lainnya, Deril, Shani, Zeira, dan Tama, pun ikut keberatan.
"Menurut kalian berdua gimana?" Shani mengalihkan pandangannya padaku dan Leon yang kebetulan duduk bersebelahan. Yang lain pun ikut menatap kami dan menunggu kami memberi pendapat.
"Terserah aja, sih! Kalau masalah biaya sewa kostum, aku bisa aja nanggung semuanya sendiri," ujarku yakin.
"Beneran gapapa?" tanya Gia memastikan. Aku mengangguk. "Oke, berarti semuanya setuju Cinderella, ya?" sambungnya lagi.
Tanpa perlu perdebatan panjang, kami semua langsung setuju. Namun, perdebatan baru muncul lagi, sekarang tentang pemeran. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku pusing.
"Kacau pasti, nih!" batinku sambil menutup mata.
Tiba-tiba, Leon berbisik kepadaku membuatku sedikit terlonjak. "Gem, beneran gapapa kita engga usah ikut bayar sewa kostum?"
Aku menoleh dan menjawab, "Gapapa. Orang tuaku engga akan masalah, kok. Santai!"
"Kalian, sih!" teriak Gia semangat hingga berdiri membuatku terkejut sekali lagi dan reflek menolehnya. Bukan hanya diriku, teman-teman di kelompok lain ikut menoleh ke arah kelompokku.
Kirana yang berada di sebelah Gia memukul pelan lengannya, menyuruhnya duduk dan jangan terlalu berisik. Gia hanya menyengir tanpa dosa sambil meminta maaf dengan suara pelan. Setelah suasana kembali normal, Gia menjelaskan maksud kata-katanya tadi.
"Kalian cocok banget, sih jadi pemeran utamanya! Gemini jadi Cinderella, Leon jadi pangerannya. Aku jadi Ibu Perinya." Lalu, ia terkikik sendiri.
Jadi Cinderella? Pangerannya Leon? Dewi Fortuna benar-benar berpihak kepadaku. Kuberusaha untuk tetap memasang wajah bingung, meski bibirku rasanya ingin tertarik lebar sekali. Ternyata aku tidak perlu menahan senyuman dengan susah payah karena ada yang bersedia menghilangkannya, meski tanpa maksud begitu.
"Tapi gapapa? Maksudku, Leon udah punya pacar, kan?" Zeira bertanya dengan hati-hati.
Tanpa kendali, mulutku mengeluarkan kata-kata yang jelas sekali menandakan ketidaksukaanku. "Ini, kan, tugas? Kalau emang ngerti, pasti gapapa. Kita acting dengan profesional tanpa perasaan, dan ini untuk tugas." Untungnya, mereka tidak sadar. Sebaliknya, justru menyetujui pemikiranku. Leon pun membenarkan pernyataanku dan mengatakan tidak keberatan sama sekali.
Setelah semuanya mendapat peranan, saatnya menulis naskah.
"Yang mau tulis naskahnya siapa? Di sini ada yang jago dalam nyusun kata? Atau yang ikut ekskul jurnal?" Semuanya menggeleng, kecuali diriku yang tidak menjawab apa-apa.
Saatnya untuk menunjukkan keahlian menulisku, meski aku tidak mengikuti ekskul jurnalistik. "Aku aja yang nulis naskahnya," kataku mengajukan diri.
"Aku engga ikut jurnal dan belum pernah nulis naskah, sih! Tapi, daripada engga ada yang mau nulis?" Aku berkata lagi karena melihat wajah tidak percaya dari 6 temanku yang lain.
Bukannya menerima, Deril justru membawa orang yang sama sekali tak ada sangkut-pautnya. "Suruh pacar lo aja, Le. Nanti kita bayar. Siapa namanya? Savira?"
Aku seketika menyuarakan keberatanku. "Ini kan tugas kita, kenapa malah orang lain yang buat? Lo engga percaya gue bisa bikin naskahnya dengan bagus? Lebih bagus dari Savira?" Nada suaraku semakin meninggi hingga akhir kalimat.
"Gemini bener. Ini kan tugas kita, jadi kita juga yang harus buat. Lagian gue engga mau ngerepotin Savira, dia pasti juga ada tugas drama," kata Leon setuju.
Akhirnya, naskah itu ditulis olehku. Tentu saja dengan bantuan teman yang lain, kami mendiskusikan bersama dan saling memberi ide. Namun, itu tidak bertahan lama. Seiring waktu berjalan, seiring berkurang juga yang ingin membantu.
"Lo aja deh yang buat. Gue engga terlalu ngerti begituan." Begitu kata mereka.
Sebagian besar naskah itu dikerjakan olehku, juga Leon. Hanya dia yang mau membantu. Yang lain mulai sibuk dengan ponsel mereka atau berbincang dengan kelompok lain. Ditambah dengan suasana kelas yang juga ikut ramai, kejengkelanku pun bertambah. Untung saja Leon masih mau membantu. Jadi, aku bisa berbicara berdua saja dengannya. Semakin lancar lagi usahaku untuk mendekatinya.
"Bahasanya engga terlalu jelek. Kenapa engga ikut jurnalis juga kayak Savira?" puji Leon.
Bibirku yang tadinya siap membentuk sabit seketika urung setelah mendengar nama Savira. Dengan menahan nada jengkel, aku menjawab, "Engga minat aja."
Leon hanya mengangguk-angguk, ia sedang membaca ulang naskah yang baru setengah jadi. Namun, jam sudah menunjukkan waktu pulang. Bel pun menyusul berdering.
"Naskahnya udah selesai belum?" tanya Gia dengan enteng.
"Belum, baru setengah," kataku ketus.
"Lanjutin besok aja lagi. Atau sekarang mau langsung kerpok?" usul Leon.
"Aku aja yang lanjutin sendiri. Nanti malam, aku buat grup terus kukirim di sana." Aku memutuskan sendiri. Leon terlihat keberatan dan ingin bersuara lagi, tapi aku meyakinkan lebih dulu. "Kan aku yang minta nulis naskahnya. Tapi nanti kalau udah jadi, aku engga terima keluhan."