Chereads / Kisah di SMA / Chapter 39 - 36. Menuju Lomba

Chapter 39 - 36. Menuju Lomba

Setelah menangis semalam yang ditemani Sisi dan Yesi, pagi ini Leon datang ke rumahku dengan membawa bunga juga sebatang coklat. Entah apa yang dipikirkannya, ia dengan beraninya mengucap salam. Jika saja orang tuaku ada di rumah, tamat sudah riwayatku. Aku menghampirinya yang berdiri di depan gerbang menampilkan deretan giginya. Sengaja tidak kubukakan gerbang, aku masih ngambek perihal semalam.

"Masih marah soal kemarin, ya? Udah aku duga. Makanya, aku ke sini bawa bunga dan coklat buat kamu. Mau?" tanyanya sambil menyodorkan bunga dan coklatnya di atas pagar yang tingginya hanya sedadaku.

Aku mengambilnya dengan wajah datar, lalu berkata sama datarnya, "Makasih."

Kemudian, aku membalikkan badan berniat masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Leon di luar. Belum sampai setengah jalan, Leon sudah memanggilku lagi, lebih terdengar seperti merengek.

"Sav, gak dibukain gerbang? Aku gak dikasi masuk? Sogokannya kurang? Kalau kurang, nanti kubeliin lagi, deh! Tapi, aku boleh masuk, ya?"

"Enggak boleh. Orang tuaku ada di rumah," bohongku.

"Masa? Tadi aku tanya Sisi katanya kamu sendiri di rumah bareng Sisi sama Yesi."

Aku berdecak kesal. Kenapa Sisi ember sekali? Mau tidak mau, aku membukakan gerbang dan mempersilakan Leon masuk dengan wajah cemberut. Sedangkan, dia tersenyum lebar padaku. Merasa menang mungkin.

Di dalam, Sisi dan Yesi menyambut Leon dengan ramah. Padahal kemarin, Sisi baru saja mengamuk kepada Leon. Mereka sibuk mempersilakan Leon duduk dan menawarinya camilan atau minuman seolah-olah merekalah tuan rumahnya. Setelah berbasa-basi sedikit, akhirnya mereka pergi ke dapur. Menyiapkan camilan dan minuman katanya. Sebenarnya ini rumah siapa, sih? Seenaknya saja. Aku masih berdiri dengan tangan membawa buket bunga serta sebatang coklat, mengomel dalam hati.

"Kamu enggak capek berdiri? Sini duduk!" Leon menepuk sofa tepat di sebelahnya.

Aku menghampirinya, tapi tidak duduk di sebelahnya. Aku memilih duduk di sofa hadapannya yang terpisahkan oleh meja. Buket bunga dan coklat itu kuletakkan begitu saja di meja persegi panjang itu.

"Ngapain ke sini? Enggak ada jadwal latihan?" tanyaku dengan nada dingin.

"Ada, cuma nanti siang. Makanya pagi-pagi aku ke sini dulu. Aku mau minta maaf langsung ke kamu soal Gemini." Ia menghela napas berat, lalu melanjutkan kata-katanya. "Maaf. Selanjutnya aku gak akan kayak gitu. Aku harusnya tau kalau kamu bakal cemburu karena aku pernah di posisi kamu sekarang. Jangan lama-lama ngambeknya, ya?" Raut wajahnya terlihat benar-benar menyesal.

Aku luluh dan memilih mengakhiri acara ngambek ini. "Gapapa, it's okay. By the way, lombanya minggu depan, kan? Jam berapa? Aku pengen nonton kamu ngedance lagi," kataku mengalihkan topik pembicaraan. Aku hanya tidak mau terus kepikiran dan sedih karena hal itu.

Wajah Leon yang tadinya menyesal kembali berbinar seperti sebelumnya. Ia berkata, "Iya, jam 1 siang udah mulai. Nanti aku jemput kamu, jadi kita bisa berangkat bareng. Aku udah minta izin ke coachnya, kok. Katanya gapapa. Mau, kan? Ah, aku gak terima penolakan, sih!" Ia melipat kedua tangannya di depan dada.

"Aku aja yang ke tempat kamu. Dari tempat kamu, baru kita ke lokasi lombanya. Hari Sabtu, mama sama papa biasanya ada di rumah. Gapapa, ya?"

"Gapapa. Tapi, sampai kapan kita mau backsreet dari mama sama papa kamu?"

Aku terdiam. Leon pasti merasa sedih karena tidak bisa beramah-tamah dengan keluargaku. Sedangkan, aku sudah dikenalkan dengan keluarganya. "Aku enggak tau. Aku cuma takut mama papa marah sama kamu. Kalau waktunya pas, aku bakal kasi tau mereka. Kamu sabar, ya?"

Selepas pembicaraan itu, Sisi dan Yesi datang bersama nampan-nampan di tangan mereka. Ada empat cangkir teh hangat dan biskuit. Kami berempat bersenda gurau hingga cangkir itu kosong dan matahari semakin naik ke puncaknya.

Leon beranjak dari duduknya dan berkata, "Udah mau siang, nih! Aku ada latihan. Aku balik dulu, ya?"

Aku ikut berdiri diikuti Sisi dan Yesi. Kami mengantar Leon ke depan. Sisi dan Yesi hanya sampai pintu depan, sedangkan aku sampai gerbang. "Makasih udah nyempetin ke sini buat ngasi bunga sama cokelat."

"Apapun untuk tuan putriku. Aku pergi latihan dulu, ya?" Ia lalu mengusap puncak kepalaku, lalu mencium keningku. "Bye, sayang!" sambungnya sambil melajukan motornya menjauh dari rumahku.

Aku tidak membalas perkataannya. Tubuhku terasa kaku karena perlakuannya tadi. Wajahku sudah pasti ikut memerah. Leon tidak pernah berbuat begitu sebelumnya. Aku segera masuk ke rumah, berniat menetralkan debar jantungku. Sayangnya aku lupa masih ada orang lain di rumah ini. Mereka memperagakan kejadian di gerbang tadi tepat saat aku memasuki ruang tamu. Betapa memalukannya.

"Apapun untuk tuan putriku. Aku pergi duluan, ya?" Sisi mengusap puncak kepala Yesi dan mencium keningnya. Sedangkan, Yesi terlihat malu-malu yang kentara sekali dibuat-buat. Sesekali mereka melirik ke tempatku berdiri.

Sial, wajahku kembali memanas. Aku mendekat ke sofa dan mengambil bantal yang ada di sana. Lalu, kulemparkan bantal itu satu per satu ke arah Sisi dan Yesi. Mereka dengan lihai menghindar sehingga tidak ada satu pun bantal mengenai mereka. Justru bantal-bantal itu berbalik terlempar mengenaiku. Aku meneriaki nama mereka yang berakhir dengan perang bantal di antara kami bertiga.

***

Minggu ini latihan mereka lebih longgar agar tidak terlalu kelelahan saat hari-H. Setelah minggu-minggu kemarin latihan dengan sungguh-sungguh, akhirnya hari berlomba tiba juga. Seperti janjiku, sebelum jam 12 aku berangkat ke rumah Leon. Aku bilang pada orang tuaku ingin menonton lomba dance dengan teman-temanku. Tidak sepenuhnya bohong, bukan?

Sesampainya di rumah Leon, ia sudah siap dengan kostum dancenya. Bukan kostum yang terlalu mewah, sederhana saja. Jaket denim hitam yang dipadukan kaos putih polos dengan bawahan celana kain bewarna hitam. Outfit sederhana seperti itu saja bisa membuatku terpaku sekian detik. Kami langsung berangkat agar bisa sampai lebih awal. Tidak lupa pamit dengan calon mertua. Perjalanan kami memakan waktu kurang lebih dua puluh menit. Masih banyak waktu tersisa sebelum lomba dimulai.

Lantai dua langsung menjadi incaran kami di mana sudah nampak anggota dance yang lain di sana. Leon menghampiri mereka dan aku disuruh menunggu. Aku berdiri tidak jauh dari tempat tim Leon berkumpul. Dapat kulihat bahwa Gemini melirikku beberapa kali yang kubalas dengan senyuman tipis, tapi ia langsung membuang muka. Terus begitu beberapa kali yang membuatku risih sendiri sehingga kuputuskan untuk berjalan-jalan di sekitar lokasi lomba, sekalian cari camilan atau minuman.

"Harusnya aku juga ajak Sisi sama Yesi ke sini. Biar gak sendiri banget. Apa aku telpon aja, ya? Jangan, deh! Mereka juga gak begitu suka nontonin orang ngedance," batinku dalam hati.

Akhirnya, aku memilih untuk singgah ke toko es krim. Sudah lama juga aku tidak makan es krim. Setelah pesananku jadi, aku kembali ke tempat tadi. Menunggu sembari memakan es krim.

/Agatya's POV/

Hari ini akhir pekan dan tiba-tiba saja Resya dan Gauri mengajakku dan Langit untuk pergi ke sini, ke mal. Kami memang berteman baik, tapi jarang sekali pergi berempat. Lebih tepatnya, jarang sekali mengajak pergi berempat. Karena kebetulan sedang gabut, aku mengiyakan saja. Kalau Langit, dia ikut-ikut saja---asalkan aku juga ikut.

"Kan gak lucu Ga kalau gue sendiri cowok di antara ciwi-ciwi." Begitu katanya.

Kami sekarang berada di lantai dua, Resya dan Gauri sedang membeli takoyaki. Aku dan Langit hanya menunggu saja, tidak ikut mengantre. Setelah mereka kembali, Resya langsung berkata dengan santainya sambil melahap takoyaki yang dibeli tadi, "Kira-kira Savira ngapain ke sini, ya?"

"Savira?" tanyaku bingung.

"Iya. Itu dia." Gauri menunjuk ke suatu arah dan mataku mengikuti arah tunjuknya.

Benar, itu adalah Savira. Ia sedang sendirian membeli es krim. Lalu, pergi mendekat ke arah panggung setelah mendapat es krim pesanannya. Tak lama, seorang lelaki menghampirinya. Mereka terlihat berbincang sebentar, lalu si lelaki membuka lebar-lebar mulutnya dan Savira menyuapinya sesendok es krim. Siapa lagi lelaki itu kalau bukan pacarnya? Pasti pacarnya, bukan? Perjalanan move-on ini ternyata masih sulit. Aku belum bisa benar-benar merelakannya.

Langit tiba-tiba angkat suara, "Mau disamperin? Cowoknya udah pergi lagi, tuh."

Resya dan Gauri mengangguk-angguk saja. Sehingga, tatapan mereka bertiga tertuju padaku. Aku masih tidak menjawab.