/Agatya's POV/
Kacau. Semuanya benar-benar kacau. Aku datang ke coffee shop milikku, berlari menaiki tangga, dan hampir membanting pintu jika saja Langit terlambat menahannya.
"Kenapa? Lo habis dari mana basah-basahan kayak gitu?"
Aku memilih untuk tidak menjawabnya, lalu mendudukkan diriku di kursi terdekat. Aku dapat mendengar Langit yang berdecak sebal karena pertanyaannya tidak kujawab. Ia mendekat dan duduk di sebelahku, kembali menanyakan hal yang sama. Lagi-lagi tidak kujawab, pandanganku sepenuhnya tertuju pada lantai yang ikut basah karena diriku.
"Nih, hoodie gue! Ganti baju lo! Gue ke bawah lagi. Kalau udah mendingan, panggil aja." Ia melemparkan hoodie miliknya ke arahku, lalu keluar meninggalkanku sendiri. Langit paham bahwa aku butuh waktu untuk sendiri.
Cukup lama aku diam di tempat tanpa niatan mengganti pakaian yang masih basah. Namun akhirnya, kuputuskan untuk menggantinya juga dengan hoodie yang dilempar Langit tadi. Aku tidak boleh sakit besok karena ada jadwal kuliah. Setelah mengganti pakaianku, aku turun ke bawah.
"Lang, mochaccino 1. Bawa ke atas, ya! Gue mau ngobrol sama lo. Buat minuman untuk lo juga," titahku padanya. Ia hanya menjawab singkat.
Aku pergi ke atas lagi setelahnya. Kondisi kedai kopiku sedang tidak begitu ramai, jadi tidak masalah jika Langit berbicara sebentar denganku.
"Lang, lo gak apa-apa disuruh-suruh kayak gitu? Gue tahu Agatya sahabat lo dan dia juga bos di sini, tapi harusnya caranya gak kayak gitu," kata salah satu karyawan yang ada di sana saat Langit akan ke atas.
"Gue gak masalah dan harusnya lo juga gak masalah." Langit menjawab datar.
Kakiku yang mondar-mandir sedari tadi berhenti ketika pintu ruangan terbuka yang menampakkan sosok Langit. Ia dengan santai membawa cangkir kopi yang dialasi piring kecil yang terletak di atas nampan kayu sambil menutup pintu perlahan, lalu meletakkannya di meja. Ia menatapku sejenak, kemudian duduk.
"Jadi? Lo mau ngobrol apa?" Ia bersikap selayak bos saat ini dan akulah bawahannya yang berdiri terpaku karena ketahuan melakukan kesalahan.
Jujur, sikapnya saat ini membuatku kesal. "Jangan bercanda! Gue lagi gak niat," ucapku dengan dingin sambil mendekat ke arahnya, lalu duduk di sebelahnya. Aku memutar kursi menghadapnya dan langsung menatap tajam pada matanya.
Ia berdecih. "Iya, iya. Kenapa? Lo mau cerita apa?" Ia memasang raut wajah malas.
"Bukan cerita, tapi nanya. Menurut lo, gue harus relain Savira atau gak?" Aku langsung mengatakan inti persoalannya.
Langit tertegun sejenak, lalu mengerutkan keningnya. "Tunggu! Kenapa tiba-tiba Savira? Lo habis ketemu sama dia?"
"Ya, gitu, deh! Gak sengaja lihat dia sama pacarnya. Gue sadar kalau gue gak pernah punya kesempatan untuk miliki dia. Mungkin gue harus nyerah aja?"
"Lo ke taman itu, ya?" Langit menghela napasnya. Jika ia bertanya begitu, maka ia sudah tahu cerita di balik basahnya diriku. Dengan begitu, ia pasti tidak membutuhkan jawaban lagi dari mulutku.
"Menurut lo sendiri gimana?" Langit bertanya balik.
"Kok nanya gue? Kan gue nanya ke lo. Kasi saranlah!"
"Emang kalau gue kasi saran, lo akan ngelakuin saran dari gue? Enggak, kan? Biasanya juga dikasi saran A, yang dilakuin B. Terus, buat apa?" ujarnya. Sialnya, ia benar membuatku berdecih.
"Gini, deh! Kalau lo mau ngerelain Savira, mungkin lo harus berhenti pesan mochaccino. Ganti pakai kopi lain," katanya santai sambil mengetuk pelan piring yang menjadi tatakan.
"Maksud lo?" kataku mencoba untuk terlihat santai.
"Lo pikir gue gak tahu? Kita sahabatan berapa lama, sih? Mochaccino itu kopi yang selalu dipesan Savira, kan? Dari mana gue tahu? Gue udah kerja di sini sejak Juli dan setiap ada kegiatan klub, kopi yang dipesan Savira cuma satu, gak pernah berubah. Sama kayak sikap lo di beberapa bulan terakhir. Hampir setiap datang ke sini, lo selalu pesan kopi yang sama. Padahal sebelumnya lo gak pernah mau minum kopi. Sikap lo itu terlalu mudah ditebak, Ga. Masih heran kalau gue tahu?"
Penjelasan Langit berhasil membuatku bungkam. Semua perkataannya itu benar sehingga aku tidak bisa membantahnya.
"Ga, gue yakin lo udah tahu mau gimana. Kalau lo mau ngerelain Savira, relain sepenuhnya. Jangan setengah-setengah! Kalau lo gak mau ngerelain juga gak apa. Lo juga tahu, kan, risikonya kayak gimana? Kecil kemungkinannya lo bisa memiliki Savira. Memiliki enggak, sakit hati iya. Gue ke bawah lagi. Kopinya juga gue bawa, ya? Kalau lo minum kopi ini terus, lama move on-nya."
Langit hendak membawa kopi itu ke luar bersamanya. Namun, aku menghentikannya.
"Gue mau minum kopinya. Setidaknya untuk yang terakhir kali." Aku berdiri mendekatinya, lalu mengambil cangkir kopi bersama tatakannya.
Langit mengangkat kedua bahunya, "Oke. Have fun!" Ia menurunkan nampan kayunya, lalu berbalik dan keluar. Tak lupa juga menutup pintu.
Setelah Langit keluar, aku kembali duduk di tempat yang sama dengan cangkir kopi di tanganku. Aku tidak langsung meminumnya. Kupandangi lekat permukaan kopi itu. Setelah kupuas melihatnya, aku mulai menyesapnya sedikit demi sedikit untuk lebih menghayati rasanya. Pahit, tetapi manis. Ah, kenapa terdengar seperti kisah cintaku? Aku tidak ingin kopi ini cepat habis atau tidak perlu kuhabiskan saja sekalian. Tidak. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri tadi. Aku akan meminum kopi ini hingga habis sebagai simbol keteguhanku untuk move on dari Savira.
***
Sudah hari Minggu lagi. Itu artinya bertemu dengan Savira lagi untuk kesekiankalinya. Aku datang sejam lebih awal dari jadwal klub untuk berbicara dengan Langit lebih dahulu, menceritakan kekhawatiranku. Aku sudah memintanya untuk datang lebih awal juga. Meski dia bekerja di sini, yang seharusnya sudah datang dari tadi, tapi hari ini ia mendapat shift siang---setelah jam klub selesai.
"Lang, gimana, ya? Gue harus bersikap kayak gimana nanti?" tanyaku padanya. Kami duduk berhadapan di salah satu meja.
Tidak langsung menjawab, ia lebih dulu menyeruput kopinya. "Udah gue duga. Lo pasti mau ngomongin ini, makanya nyuruh gue datang awal." Ia menghela napas, lalu kembali melanjutkan, "Bersikap biasa aja. Kayak sikap lo ke cewek lain."
"Iya, tahu. Tapi, yang kayak gimana?"
"Kayak sikap lo biasanya. Lo kalau ke cewek lain kayak gimana? Kok malah nanya ke gue?" Langit kembali menyeruput kopinya.
Saat ia menurunkan gelasnya, aku bertanya lagi. "Kopi apa?"
"Americano. Lo gak akan suka." ketusnya. Aku membulatkan mulutku berbentuk 'o'.
"Klub nanti ngapain?" tanya Langit.
"Praktik teori minggu lalu mungkin."
***
"Hari ini kegiatan kita di luar. Kalian bebas mau ambil fotonya kayak gimana, tapi harus ada model orangnya. Jadi, kerjanya berkelompok, berdua-berdua. Hasilnya nanti kita evaluasi bareng. Semoga apa yang udah kalian pelajari bisa diaplikasikan ke foto kalian nanti." jelas Kak Carla. "Oh, iya! Untuk tempatnya bebas di mana aja. Jangan terlalu jauh dari sini! Paling lambat jam 12 udah kumpul di sini lagi. Paham?"
"Paham." Kami menyerukan serempak.
"Silakan kalian cari partner kalian," kata Kak Carla sebagai penutup.
"Lang, mau gimana konsepnya?" tanyaku langsung padanya.
"Hah? Konsep? Lo mau sama gue? Tumben, biasanya juga ajak Savira." Ia melirik Savira yang sedang berbincang dengan Resya dan Gauri.
Aku ikut melirik ke arah Langit melirik. "Lo lupa apa yang kita bahas tadi dan kemarin?" tanyaku tajam.
"Oh, kirain cuma ngomong doang. Ternyata serius. Ya udah, ayo! Bahasnya di luar aja." Langit langsung berdiri, bersiap ke luar ruangan.
Sebelum mengikuti jejaknya, aku melirik Savira lagi yang ternyata juga melirikku. Aku segera membuang muka dan mengikuti Langit yang sudah ke luar lebih dahulu. Namun, langkahku harus terhenti di ambang pintu. Resya memanggil namaku.
"Lo sama siapa, Ga? Udah ada partner?" Ia sedikit berteriak.
"Udah. Gue sama Langit," singkatku, lalu langsung menutup pintu. Tidak kuberikan kesempatan pada Resya untuk berbicara lagi. Aku tahu pembicaraan itu mengarah ke mana dan lebih baik kuhindari.