Chereads / Kisah di SMA / Chapter 36 - 33. Jaga Jarak

Chapter 36 - 33. Jaga Jarak

/Savira's POV/

Sekarang aku sedang berada di toko buku. Bukan untuk membeli buku, tapi untuk tema fotoku hari ini. Iya, hari ini hari Minggu. Pasti tahu, kan, mengapa aku mengambil foto? Aku tidak sendiri. Ada Kak Nio bersamaku dan aku akan memotretnya di sini.

Mengapa Kak Nio? Karena hanya dia saja yang belum dapat partner. Jadi, mau tidak mau harus dengannya. Bukan berarti aku tidak senang atau membenci Kak Nio, hanya saja aku tidak terlalu dekat dengannya. Akan canggung rasanya, tapi untungnya sejauh ini masih baik-baik saja.

Setelah aku puas dengan potret yang kuambil, giliran Kak Nio yang memotretku. Kak Nio memilih tempat di jalan raya. Kebetulan tidak terlalu jauh dari tempat klub---tapi tetap memakan waktu---membuat suasana sedikit canggung jika saja Kak Nio tidak melakukan briefing kepadaku. Ada zebra cross di sana dan di sanalah aku harus berada.

"Lo nanti jalan biasa aja kayak orang menyeberang."

Begitu inti intruksi darinya tadi saat di jalan. Sebenarnya sedikit gugup karena takut salah. Mau bagaimana lagi? Saat lampu lalu lintas sudah menyala merah dan waktunya bagi orang untuk menyeberang, aku pun mengikuti intruksi dari Kak Nio. Di sana, hanya aku yang menyeberang. Jadi, semakin gugup lagi karena dilihat banyak orang. Rasanya ingin menghilang saja sebentar. Untung saja hal itu berjalan cepat. Kak Nio hanya membutuhkan 3 kali percobaan dan selesai. Senior memang beda.

Tapi ternyata, yang tadi bukanlah yang terburuk. Perjalanan kembali ke kedai kopilah yang lebih buruk. Kami harus berjalan kaki berdampingan, saling diam.

"Harus ngomong apa, nih? Masa diam-diaman terus? Tapi, aku gak bisa buka topik," batinku gelisah.

Tiba-tiba saja Kak Nio bersuara sambil masih mengecek hasil potretnya. "Lo lagi ada masalah sama Aga?"

Aku tertegun sejenak. "Gak ada masalah kok, Kak. Emang kenapa?"

"Masa? Tumben banget si Aga gak sama lo. Biasanya juga dia sama lo, gue sama Langit. Apa dia kapok kali, ya? Lagian bisa-bisanya naksir sama orang yang udah punya pacar," katanya heran.

Aku hanya bisa tertawa canggung. Bingung harus merespons seperti apa. Kak Nio berbicara terang-terangan sekali.

"Lo gak pernah risih sama sikap Aga?" tanyanya lagi.

"Risih? Enggak risih, kok. Kenapa harus risih?" jawabku agak terbata. Astaga! Kenapa dia selalu menanyakan hal yang berkaitan dengan Kak Aga? Aku mulai merutukinya dalam hati.

"Tapi lo gak kasian sama pacar lo? Bukannya Aga pernah bertengkar sama pacar lo gara-gara lo? Gue sih mewajarkan sikap pacar lo. Mana ada cowok yang rela pacarnya dekat sama cowok lain," katanya lagi.

Dia mulai menjadi menyebalkan. "Kak, hubungan saya sama pacar saya bukan urusan kakak," ketusku. Aku berjalan lebih cepat bermaksud meninggalkan dirinya sendiri.

Kalau tahu akan begini jadinya, sudah dari tadi aku tinggalkan Kak Nio jauh di belakang. Siapa sangka, seseorang dengan wajah polos sepertinya ternyata senang mencampuri urusan orang lain. Tidak lagi-lagi aku mau berurusan dengannya.

Aku buru-buru menaiki tangga untuk ke ruangan atas agar bisa melepas kekesalanku dengan mengobrol bersama Kak Resya dan Kak Gauri. Namun, saat kubuka pintu, hanya satu orang yang sedang duduk dan sekarang menoleh ke arahku. Reflek kulihat jam tanganku. Ternyata baru pukul 11.15, pantas masih sepi. Aku tersenyum tipis padanya, tapi ia hanya memasang wajah datar lalu kembali fokus pada layar ponselnya. Astaga! Aku salah apa kepadanya? Tidak seperti biasanya. Ada apa dengan Kak Aga hari ini? Ya, di ruangan ini hanya ada aku dan Kak Aga.

"Kak Langit di mana?" Aku berusaha membuka pembicaraan.

Ia mengangkat wajahnya dari layar ponsel, lalu kembali menatap ponsel. "Di bawah, buat minuman." Kak Aga berkata singkat.

Oke, tidak apa. Mungkin mood Kak Aga hari ini sedang tidak baik. Aku memutuskan untuk bermain ponsel saja, sama seperti Kak Aga. Tak lama kemudian, Kak Langit datang membawa nampan yang berisikan dua cangkir di atasnya.

"Hai, Sav! Udah selesai, ya? Lo mau minum apa? Gue yang bikin. Enak, lho!" tawar Kak Langit seraya mendekat dan menaruh nampan itu di meja.

"Gak usah, Kak. Aku bawa minum, kok."

"Oh, oke. Nih, Ga! Menu non-kopi yang sangat cocok dengan kepribadian seorang Agatya yang manis tapi dingin. Ice cookies and cream," kata Kak Langit sembari mempresentasikan minuman yang konon dibuatnya.

"Gak usah lebay. By the way, thanks!" Kak Aga mulai mencicipi sedikit.

"Gimana? Enak, kan, bro? Iyalah, siapa dulu yang bikin?" tanyanya sambil menaik-turunkan kedua alisnya.

Aku baru tahu Kak Langit bisa bertingkah sekonyol itu. Padahal, sudah cukup lama kami berada pada satu klub yang sama, untuk berinteraksi pun tidak jarang. Tingkahnya itu berhasil membuatku tersenyum tanpa kusadari.

"Kenapa lo senyum-senyum, Sav? Aga ganteng, ya?"

Perkataan Kak Langit itu berhasil membuat Kak Aga tersedak. Ia terbatuk-batuk yang membuatku reflek berdiri dan menghampirinya. Ia merentangkan tangannya, menyuruhku agar tidak mendekat.

Setelah membaik, aku bertanya. "Mau minum air dulu? Aku ambilin air dulu." Aku langsung menuju ke ujung ruangan. Di sana terdapat meja kayu yang terdapat beberapa gelas, dispenser, camilan, dan juga lemari pendingin yang tidak terlalu besar di sebelahnya.

"Gak usah." Kak Agatya berkata ketus membuat langkahku terhenti. "Sorry! Gue gak bermaksud ketus. Gue udah gapapa. Thanks!" lanjutnya.

Aku mengangguk kaku, lalu berjalan ke tempat dudukku semula yang berada di seberangnya. Ada yang terdengar berbeda dari ucapan Kak Aga tadi, entah apa itu.

***

Kegiatan klub hari ini akhirnya selesai. Semuanya sudah bersiap-siap untuk bubar, tapi aku masih pada posisi dudukku dan hanya menaruh ranselku di atas meja.

"Gak pulang, Sav? Kok masih diam aja?" kata Riska, salah satu teman baruku di klub.

"Kamu duluan aja, Ris. Aku mau ngomong sama seseorang dulu."

Ia menaikkan salah satu alisnya, menatap beberapa orang yang masih berada dalam ruangan, lalu kembali menatapku dengan tatapan menyelidik. "Kak Aga?"

Aku hanya tersenyum tipis. Seolah paham, ia pun akhirnya meninggalkan ruangan. Aku menunggu agar hanya tersisa kami berdua di sini. Beberapa menit kemudian, Kak Langit pun akhirnya ke luar dengan seragam baristanya. Saat itulah aku akhirnya berani memanggil Kak Aga.

"Kak, aku boleh tanya sesuatu sebentar?"

Kak Aga yang sedari tadi menatap layar ponsel pun mengangkat wajahnya sebentar menatapku, lalu kembali fokus pada ponselnya. "Tanya aja."

Aku tidak langsung bertanya. Bingung harus bertanya seperti apa. Kata-kata apa yang harus kukatakan. Takut salah bicara. Jadi, aku hanya menunduk menatap kedua tanganku yang bergerak gelisah di atas meja.

"Santai aja. Mau tanya apa?" suaranya terdengar lagi, kini lebih lembut. Ia juga mulai memusatkan atensinya padaku.

Aku menarik napas dalam terlebih dahulu sebelum menatapnya lagi. "Aku ada salah sama kakak?" ucapku sedikit terbata.

"Enggak, kenapa tanya gitu?" Kak Agatya meletakkan ponselnya di meja.

"Eee... dari tadi Kak Aga kayak menghindar dari aku. Aku jadi merasa bersalah," ucapku pelan.

"Oh, itu. Maaf kalau buat kamu merasa bersalah." Kak Agatya terdiam sejenak. "Kamu tahu perasaanku kayak gimana. Sekarang, mungkin bisa dibilang aku udah nyerah. Aku juga gak mau merusak hubungan kamu sama Leon. Lebih baik kita gak usah dekat lagi."

Aku terdiam mendengarnya menyisakan hening di ruangan ini. "Apa emang harus dengan menghindar?" kataku pelan setelah diam beberapa saat.

"Menurutku lebih baik gitu. Lebih baik kita gak banyak interaksi satu sama lain. Tapi, kalau kamu mau curhat atau tanya sesuatu, aku gak masalah. Terserah kamu mau treat aku kayak gimana, apa sama kayak sebelumnya atau beda. Yang jelas, aku gak akan treat kamu kayak sebelumnya. Walau kayak gitu, percaya kalau aku akan selalu berusaha ada buat kamu saat kamu lagi ada masalah. Jadi, jangan takut kalau mau minta tolong! Oke?" Kak Aga menjulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Aku menyambutnya dengan sedikit ragu.

"Percaya! Aku akan berusaha ada untuk kamu setiap kamu butuh aku." Kak Aga mungkin menyadari keraguanku. Maka dari itu, ia berusaha meyakinkanku.

Kini, aku mengangguk mantap sambil tersenyum tipis. Lalu, aku melepas jabatan tangan itu. "Aku pulang dulu, kak," kataku sebagai penutup pertemuanku dengan Kak Aga.