Chereads / Kisah di SMA / Chapter 16 - 13. Pertolongan Datang

Chapter 16 - 13. Pertolongan Datang

Lalu pintu pun menutup dan menyisakan kami berdua bersama gelap. Aku menoleh ke arah Leon, pasrah. Aku lelah melepaskan diri dari semua ini. Rasa sedih ini menambah keputusasaanku yang berakhir dalam diam.

***

/Sisi POV/

15 menit sebelum bel masuk akan berdering nyaring, aku masuk ke dalam kelas dan meletakkan tasku di bangku yang ada di sebelah Yesi. Ia hanya duduk diam dengan mata menatap layar handphone. Wajahnya sedikit cemas.

"Aku kira bakal telat, untung aja ngebut tadi." kataku sambil menyandarkan punggung di kursi.

Yesi menolehku dengan ekspresi sedikit lega dan berkata, "Akhirnya kamu datang juga. Aku kira kalian berdua gak masuk." kata Yesi.

"Eh? Emang Savira ke mana?" kataku bingung. Mataku langsung tertuju kepada bangku Savira yang kosong melompong.

"Gak tau. Tadi udah aku chat berkali-kali, tapi gak ada jawaban. Firasatku dari tadi gak enak." jelas Yesi yang membuatku kembali menoleh ke arahnya.

"Kita coba tanya Leon aja. Dia, kan, yang nganterin Savira? Yuk!" ajakku dan langsung berdiri meninggalkan kelas.

Yesi memasukkan handphonenya ke dalam tas dan mengikutiku dari belakang. Kami berdua berjalan menuju kelas sebelah, kelas Leon. Setelah sampai, mata kami langsung mencari sosok keberadaan Leon yang tak dapat kami temui. Hanya Kiki dan Jerry yang ada di kelas sebagai orang yang kami kenal.

"Ki, Jer, sini bentar, deh!" teriakku memanggil mereka.

Tidak hanya mereka berdua, seisi kelas juga ikut menengok ke arahku. Aku langsung cepat-cepat menarik tangan Yesi untuk menghilang sebentar dari tatapan mereka semua. Aku jadi salah tingkah sendiri.

"Makanya, jangan langsung teriak gitu di kelas orang! Malu sendiri, kan?" ledek Yesi.

Aku mengangkat kepal tinjuku ke arahnya. Lalu, berganti menjadi telunjuk yang kutaruh di depan mulutku, mengisyaratkannya untuk diam. Yesi hanya mengangkat bahunya tanpa merasa bersalah. Tak lama, Kiki dan Jerry keluar kelas dan menjumpai kami yang berdiri di depan kelas kami.

Belum sempat mereka angkat suara, aku sudah bertanya lebih dulu, "Leon mana?" tanyaku singkat, padat, dan jelas.

"Belum datang. Dari tadi udah kita tungguin." jawab Jerry santai.

"Kok bisa samaan gitu sama Savira? Firasatku makin gak enak, nih!" kata Yesi heran sekaligus cemas.

"Kita cariin, yuk? Kayaknya ada yang gak beres. Gak mungkin samaan gini, kan, ga masuknya?" kataku ikut heran. Sebagai jawaban, mereka bertiga langsung mengangguk.

"Kita mau cari ke mana?" tanya mereka serempak yang langsung membuat mereka saling tatap selama beberapa detik.

"Kalian coba ke parkiran, deh! Cek motornya Leon. Aku sama Yesi mau tanya ke wali kelas dulu." ucapku sambil menunjuk Kiki dan Jerry bergantian.

Mereka berdua kembali mengangguk dan langsung pergi menuju parkiran untuk mengecek keberadaan sepeda motor Leon. Sedangkan, aku dan Yesi buru-buru berlari agar bisa segera sampai di ruang guru. Dan, sampainya di depan ruang guru, kami mengatur napas terlebih dahulu sebelum masuk. Tidak sopan jika kami datang dengan napas terengah-engah. Setelah stabil, aku mengetuk pintu dan mengatakan bahwa kami mencari Bu Tina, wali kelas X IPA 3.

Sampai di hadapan beliau, Yesi langsung bertanya (karena sudah kesepakatan tadi), "Saviranya ada kabarin Ibu atau tidak, ya? Soalnya Savira belum datang, kita takut dia kenapa-kenapa soalnya sempat ada masalah sama orang."

"Tidak ada. Belum ada murid yang kabarin Ibu hari ini. Emang ada masalah sama siapa?"

"Sama anak kelas sebelah, Bu. Kalau begitu, kami permisi dulu, ya, Bu? Terima kasih." jawabku ragu.

Aku dan Yesi pun perlahan keluar dari ruang guru, berusaha untuk tenang. Setelah keluar, kami langsung berlari ke kelas untuk menemui Kiki dan Jerry. Siapa tahu mereka sudah menunggu di sana? Jika tidak ada, baru kami menyusul ke parkiran.

Ternyata, kami sama-sama baru sampai di antara depan kelas X IPA 3 (kelas kami) dan X IPA 4 (kelas mereka). Terburu-buru, aku menyampaikan berita yang kudapat, pun sama dengan mereka. Berita yang sama-sama memperkuat dugaan kami. Segera Kiki menyarankan untuk berpencar mencari mereka, terutama di tempat-tempat yang sepi. Kemungkinan besar mereka pasti ada di sana.

Dengan panik, kami berpencar. Berlarian ke sana ke mari mencari tempat yang sepi. Karena masih belum bel masuk kelas, akan lebih mudah mencari tempat-tempat yang jarang dihuni orang. Namun, sampai bel masuk kelas pun, kami berempat tidak menemukan keberadaan mereka. Padahal sudah semua tempat yang sepi kami cek. Tetap saja tidak ada mereka.

"Eh, tunggu dulu! Kalau mereka beneran diculik sama Vio, tempatnya harusnya ramai gak, sih? Gak mungkin, kan, Vio berdua atau bertiga doang, apalagi sendiri. Dia pasti bawa anak buahnya yang lain." kata Yesi memikirkan kemungkinan baru sambil mengusap peluh di pelipisnya.

Kami bertiga termangu mendengar perkataan Yesi yang nada bicaranya datar-datar saja. Kami saling tatap untuk sekian detik, berpikir. Aku menepuk dahi, benar juga. Vio tidak mungkin melakukan aksi seperti itu seorang diri, terlalu mustahil.

"Yaudah, kita cari sama-sama aja sekarang." kataku semangat.

"Tapi udah bel masuk. Coba liat ke kelas dulu, siapa tahu mereka udah di sana. Vio, kan, ambisius. Dia gak pernah absen pelajaran sekali pun cuma untuk ngurusin orang yang ganggu dia." kata Jerry mencegah.

Ada benarnya juga. Kami yang berada di tengah-tengah lapangan segera menuju kelas masing-masing. Namun, Savira tetap tidak ada di bangkunya, sama dengan Leon yang tidak ada di kelas. Namun, ada informasi baru, Vio baru masuk kelas bersamaan dengan Kiki dan Jerry.

Semakin jelas bahwa Vio yang melakukannya. Tapi kenapa Leon tetap tidak ada di dalam kelasnya? Bukankah Vio menyukai Leon? Entahlah. Yang terpenting sekarang adalah mencari Savira dan Leon.

"Oh, aku tahu!" seru Yesi tiba-tiba membuat kami terlonjak. "Ikut aku! Mereka pasti ada di gudang yang pernah diceritain Savira ke kita, Si."

Aku mengangguk setuju. Benar juga. Sama sekali tidak terpikirkan. Area depan gudang itu luas, memungkinkan untuk Vio dan pasukannya beramai-ramai di sana. Kami mengikuti Yesi sambil berlari-lari kecil hingga akhirnya kami sampai di sana.

Kosong. Sepi. Tidak ada bekas apapun di sana. Seketika, pandanganku tertuju pada pintu gudang yang tertutup itu. Pasti di sana, batinku. Aku langsung berlari dan berusaha membuka pintu itu. Dasar, dikunci.

Yesi, Kiki, dan Jerry ikut berdiri di belakangku. Kiki menyuruhku menyingkir, ia mau coba mendobrak pintunya. Sekali, dua kali, tiga kali, dan yang ke empat. Berhasil!

Ruangan yang awalnya gelap itu menjadi sedikit remang setelah mendapat cahaya dari luar. Setelah terbuka, langsung terlihat Savira dan Leon didudukkan di kursi dengan tangan diikat ke belakang dan mulut dilakban. Mengenaskan. Aku buru-buru masuk, sama dengan mereka bertiga. Aku melepas lakban Savira dan Yesi membukakan ikatan di tangannya.

Savira terlihat tidak baik. Wajahnya kusam dan berdebu. Matanya sembap dan masih ada bekas aliran air mata yang mengering di kedua pipinya. Rambutnya menjadi lebih pendek dan tidak rata ujungnya, entah bagaimana.

"Gi-gimana caranya? Dari mana kalian tahu?" tanya Savira setelah dirinya sepenuhnya terbebas.

"Nanti kita ceritain. Sekarang ke UKS dulu, ya? Kalian kelihatan sedikit berantakan." kataku dengan senyum menenangkan.

Kami berenam beriringan keluar dari gudang. Lega rasanya bisa melihat Savira kembali. Walau dia dalam kondisi yang tidak begitu baik. Setidaknya, ia tidak berdarah-darah seperti yang kubayangkan.