Rasa es krim ini menjadi biasa saja dibanding sebelumnya. Harusnya aku tidak merusak rasa lezat es krim ini dengan perasaanku. Mungkin moodku kali ini tidak akan bertambah baik karena es krim. Ternyata satu orang bisa membuat hidupku menjadi berantakan tidak jelas seperti ini. Untung saja ujian akhir sudah lewat, aku tidak perlu melihat nilaiku yang turun. Kalau saja belum dilakukan, kupastikan nilaiku akan hancur lebur, seperti hatiku yang sekarang ini.
***
"Apa kata mereka?" tanyaku setelah melihat Sisi dan Yesi kembali ke kelas.
Saat bel baru saja berbunyi, Yesi mengajakku dan Sisi untuk pergi menemui Kiki dan Jerry. Seperti usulannya kemarin, kami akan menanyakan tentang hubungan sahabat mereka itu dengan anak kepala sekolah. Namun, aku menolak ikut. Aku takut jawaban mereka nanti bukan jawaban yang aku harapkan. Jadi, hanya Sisi dan Yesi yang pergi menemui mereka, entah di mana. Sekarang Sisi dan Yesi sudah kembali. Mereka berbicara satu sama lain sambil berjalan ke arahku. Lalu, berhenti bicara saat aku mengeluarkan suara.
"Mereka bilang gak tahu. Katanya Leon gak ada hubungin mereka lagi sejak pacaran sama Vio." kata Sisi.
"Mereka juga udah coba hubungin Leon sama Vio, tapi pesannya gak dibaca dan teleponnya juga gak pernah diangkat." timpal Yesi.
"Oh. Berarti harus nunggu sebulan lagi, ya?" Aku sedikit lega juga kecewa mendengar jawaban itu. Lega karena jawabannya bukan hal yang kutakutkan. Kecewa karena berada dalam ketidakpastian, serta harus menunggu sebulan lagi.
"Sav, kamu beneran mau cari cowok lain?" tanya Yesi takut-takut. Ia memang masih tidak rela dengan keputusanku sebelumnya.
"Setelah aku pikir-pikir, kayaknya gak usah. Kita, kan, udah SMA, harusnya lebih fokus ke masa depan aja. Jugaan, masa SMA bukan cuma tentang cinta, kan? Mungkin lebih baik kalau aku fokus sama diri sendiri, coba hal lain." kataku tenang sambil tersenyum tipis.
Yesi terdiam, sedangkan Sisi justru cengar-cengir tidak jelas. "Semakin bijak aja, Sav." kata Sisi.
"Tapi bener lho, Si! Harusnya sekarang kita udah tahu mau apa ke depannya. Kira-kira bakatku apa, ya?" Yesi terlihat serius.
"Yang jelas bukan bidang bahasa kayak Savira. Nilai bahasamu jelek terus, sih!" canda Sisi. Mereka berdua pun tertawa.
"Kalian mau jadi apa nanti?" tanyaku menghentikan tawa mereka.
"Rencananya, sih, jadi dokter. Tapi, gak tahu dokter apa. Yang pasti bukan dokter bedah." kata Yesi sambil melirik langit-langit kelas.
"Hematofobiamu bagaimana? Semua dokter itu pasti aja ada lihat darah, kecuali dokter mata mungkin." kataku mengingatkan ketakutannya.
"Ya udah, jadi dokter mata aja." ucap Yesi santai, merebahkan punggungnya ke sandaran kursi sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
Aku menghela napas panjang dan melirik ke arah Sisi, "Kamu gimana?"
"Aku bisa apa? Semua nilaiku standar-standar aja. Beda sama kamu, sama Yesi. Nilai kamu besar di bahasa dan nilai Yesi besar di biologi. Aku bisa main beberapa alat musik, sih. Tapi, belum kepikiran mau jadi apa." jelas Sisi.
Sisi memang mahir memainkan alat musik, seperti biola, piano, dan gitar. Sebelumnya, dia pernah bilang kalau lagi belajar bermain drum. Mungkin sekarang sudah bisa juga. Kami tidak sempat membicarakan hal ini karena masalahku dengan cowok itu. Menyebalkan!
"Kalau kamu udah cocok jadi jurnalis atau setidaknya penulis. Enaknya yang sudah tahu mau jadi apa nanti. Bahkan sekarang, kamu sudah coba mulai buat novel, kan? Kamu juga ikut buat majalah sekolah lewat ekskul jurnalmu. Irinyaa..." Yesi terlihat muram.
"Aku yakin kalian bisa, kok! Mulai aja dari hal yang kalian suka. Pasti lebih semangat pelajari hal yang kalian suka. Aku juga lagi mau belajar gambar sama fotografi. Baru niat, sih. Gak tau jadi atau gak." ucapku.
***
Sekarang sudah saatnya pulang. Sebenarnya minggu ini tidak ada pembelajaran dikarenakan materi semester ini sudah habis. Hanya murid yang remedial dan yang menyusul saja yang masih sibuk. Kebanyakan yang tidak. Tapi, kami semua harus tetap masuk hanya untuk absensi. Mengingat absensi itu penting, lebih baik masuk sekolah saja. Padahal, inginnya tidur di rumah. Untung saja sekarang sudah jam pulang. Dari pagi hingga siang berdiam diri di sekolah itu cukup membosankan.
"Yesi, Savi, main dulu, yuk! Kita ke mall dulu, ke tempat mainnya. Sekalian sambil lihat-lihat baju dan makan." ajak Sisi di parkiran.
"Aku gak ikut, deh. Pengin langsung pulang ke rumah, ngantuk. Dan, jangan panggil aku Savi!" kataku sambil menaiki motorku. Hari ini, aku membawa motor ke sekolah, malas jalan kaki.
"Gak asik banget, sih! Kalau aku traktir es krim mau? Sekalian aku bayarin makan." bujuk Sisi padaku dengan puppy eyesnya.
Mataku langsung membesar dan melotot ke arah Sisi. Dia mau traktir? Tentu saja tidak boleh dilewatkan, bukan? Langsung saja kubilang, "Oke, setuju. Yuk, ke mana?"
"Seperti biasa, kalau ditraktir, Savira selalu nomor satu. Aku ditraktir juga, kan, ya?" tanya Yesi, masih belum menaiki motornya.
"Tentu saja tidak. Kita patungan traktir Savira. Aku gak punya banyak uang. Anggap aja ini lagi membahagiakan seorang teman yang habis patah hati." kata Sisi takzim.
Aku tertawa melihat wajah Yesi yang memberengut, "Kalau gitu, bayar masing-masing aja. Yuk, buruan! Gara-gara Sisi nyebutin es krim, jadi mau es krim."
Kami pun berangkat ke pusat perbelanjaan terkenal di kota kami setelah menelepon dan meminta izin kepada orangtua kami masing-masing. Tepat di sebelah taman yang sering kukunjungi di kala ingin menangis. Kata orang-orang, di sana lengkap. Di dalamnya ada restoran, toko buku, bioskop, dan tempat bermain. Tujuan kami hanya dua, makan dan bermain. Sudah jelas kami akan ke mana saja.
Pertama-tama, kami pergi ke restoran untuk makan makanan berat. Sekarang memang sudah lewat jam makan siang, tapi kami belum makan siang. Jadi, tidak ada salahnya makan sekarang. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Kami memesan tiga porsi ayam+nasi, dua soda, dan satu es teh manis. Es teh manis itu untukku karena aku tidak bisa minum soda. Aku selalu merasa tidak enak setelah minum soda, entah kenapa. Lalu, untuk es krimnya nanti. Es krimnya untuk pencuci mulut setelah lelah bermain nanti.
Setelah selesai makan, kami pergi ke lantai teratas menuju tempat bermain. Membeli koin dan mencoba setiap permainan yang ada di sana. Kami masih memakai seragam sekolah, mungkin karena itu pengunjung lainnya sering melirik ke arah kami. Entah apa yang ada di pikiran mereka, tidak penting. Yang lebih penting sekarang adalah bermain bersama mereka berdua dengan penuh kegembiraan. Menghabiskan waktu bersama teman memang selalu menyenangkan. Ini adalah hari terbaik yang pernah kupunya.