"Udah, gapapa. Dia udah biasa luka-luka kecil gitu. Gue aja yang urus bocah satu ini." Kak Langit tetap membujukku untuk pergi.
"Beneran gapapa, kak? Kalau gitu, aku ke kelas dulu, deh, kak. Makasih, kak." Aku akhirnya memutuskan untuk pergi.
***
Bel pulang berbunyi nyaring tepat pukul 15.30. Aku segera merapikan buku-buku serta alat tulisku dan memasukkannya ke dalam tas. Guru yang mengajar memberikan tugas hari ini, lalu pergi keluar kelas. Aku mencatat tugas yang diberikan itu di ponselku dan kugendong tasku untuk segera pulang. Aku hanya ingin cepat-cepat pulang untuk tidur, berharap aku bisa melupakan kejadian tadi pagi.
"Sav, kamu beneran gak kenapa?" tanya Sisi dan Yesi sedari tadi. Mereka pasti merasa heran karena perubahan sikapku.
"Gak apa, kok. Cuma pusing sedikit. Aku pulang duluan, ya?" jawabku pelan sambil berusaha tersenyum.
Mereka berdua saling lirik dan ingin mengatakan sesuatu lagi, namun memutuskan untuk menutup mulut dan mengangguk. Aku pun pulang ke rumahku dengan berjalan kaki. Melintasi trotoar dengan kepala yang terus menunduk memikirkan segala hal. Sebenarnya, aku sendiri bingung apa yang memenuhi pikiranku ini. Pikiranku serasa kosong, tapi juga penuh akan sesuatu hal yang aku sendiri tidak tahu. Aku mempercepat langkahku karena tidak tahan dengan kondisi pikiranku yang aneh ini. Aku terus menggumamkan kata "Aku harus tidur" selagi aku berjalan, nyaris berlari.
Setiba di rumah, aku segera menaiki tangga menuju kamarku, mengganti pakaian dan merebahkan diri di atas kasur, bersiap untuk tidur. Sialnya, aku justru tidak bisa tidur. Pikiranku ini melenyapkan rasa kantukku tanpa menyisakannya sedikit pun. Maka, aku putuskan untuk belajar saja. Aku mengambil buku biologi yang dibagikan pagi tadi dan membuka halaman pada bab 1 untuk semester baru ini. Aku mulai merangkum dan mencatat. Namun, pikiranku masih penuh dan kosong. Aku mengambil earphone dan menyambungkannya pada ponselku, kusetel lagu-lagu dari penyanyi favoritku agar lebih rileks.
Namun, aku tidak sungguh-sungguh mendengarkannya. Pulpen yang kupegang sedari tadi pun sudah kugeletakkan begitu saja di atas meja. Aku merebahkan kepalaku di atas meja, memutar kembali kejadian tadi pagi. Andai saja Kak Agatya tidak muncul pada saat itu. Andai saja aku langsung menerima Leon, jalan ceritanya pasti akan berbeda. Lalu, bagaimana jika aku bertemu dengan Leon besok? Aku harus bersikap seperti apa padanya? Apa aku harus memberi tahu tentang masalah ini kepada Mama dan dua sahabatku?
Pada akhirnya, aku memberitahukan serta menanyakan pendapat Mama dan dua sahabatku itu. Bukannya mendapat pencerahan, aku justru semakin pusing. Mama tidak menyetujui lagi hubunganku dengan Leon karena ia sudah membuatku menitikkan air mata. Mama sangat membenci lelaki yang berani membuat perempuan menangis, kecuali menangis karena terharu. Sedangkan, Sisi dan Yesi sangat mendukungku dan berharap penuh bila aku dan Leon bisa bersama lagi. Walau memang tidak harus langsung menerimanya.
Lalu sekarang, aku harus meminta pendapat siapa? Tidak mungkin aku meminta pendapat Papa tentang hal ini, sudah pasti tidak setuju jawabannya. Aku lebih setuju dengan Sisi dan Yesi karena itu juga yang kupikirkan. Aku yakin Leon tidak bermaksud untuk membuatku menangis. Dan, aku masih menyayanginya. Setiap malam sebelum tidur, aku selalu memikirkannya, mengharapkannya hadir lagi dalam hidupku. Rasanya sulit jika harus berpura-pura sudah tidak memiliki rasa apa pun lagi kepadanya. Meski akhir-akhir ini, aku sudah terbiasa tanpa kehadirannya.
***
(14 Januari)
Sudah seminggu lebih aku menghindari Leon dan juga Kak Agatya maupun temannya itu, entah itu di sekolah maupun pesan ataupun panggilan mereka lewat ponsel. Kak Agatya sudah mendapatkan nomor teleponku, ia mendapatkannya dari teman sekelasku---temanku itu yang memberitahukan langsung padaku. Aku memilih untuk menghindar terlebih dahulu dari mereka, bahkan minggu lalu aku sengaja tidak ikut klub fotografi---meski aku belum resmi terdaftar menjadi anggotanya. Aku hanya bingung harus bersikap bagaimana. Sisi dan Yesi juga tidak bisa membantu memberikan solusi karena mereka sendiri juga bingung. Alhasil, aku menghindari mereka sampai hari ini.
Kak Agatya sudah tidak mencariku ke kelas lagi sejak Senin lalu. Namun, Leon masih saja ingin bertemu denganku. Sudah banyak sekali spam chat berisikan kata maaf yang ia kirimkan dan juga puluhan miscall sampai aku harus mensilent ponselku setiap saat. Setiap jam istirahat dan pulang sekolah, selalu disempatkannya untuk mencariku di kelas. Karenanya, aku semakin yakin untuk menerimanya kembali. Meski begitu, Mama tetap tidak setuju mengenai ini, apalagi Papa. Namun, aku sudah membulatkan keputusan dan memantapkan diri. Besok, aku berencana untuk menemui Leon langsung. Aku akan mengatakan semua yang ingin kukatakan kepadanya. Aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi.
Malamnya, aku membuka pesan dari Leon. Ratusan pesan yang ia kirimkan semua berisikan maaf dan penyesalannya. Sabit kecil terbit di bibirku. Aku mengetik sesuatu dan mengirimnya kepada Leon. Tanpa kusangka, pesan yang awalnya hanya centang dua abu berubah menjadi biru secepat itu. Detik berikutnya, ponselku bergetar dan tertera nama Leon di layar ponsel. Ia meneleponku. Dengan tangan bergetar, aku mengangkatnya dan mendekatkan benda pipih itu ke telinga kananku.
"Halo, Sav? Aku beneran minta maaf karena udah bikin kamu nangis. Kamu mau kan maafin aku? Aku sayang sama kamu." Suara Leon yang lembut langsung terdengar.
Aku diam tidak menjawab. Tanpa aku sadari, kedua sudut bibirku mengembang dan aku tersenyum lebar. "Sampai ketemu besok!" kataku pelan dan langsung mengakhiri panggilan.
Aku melempar ponselku ke kasur disusul oleh tubuhku. Langsung kupeluk erat gulingku dan kusembunyikan wajah bahagiaku di salah satu sisinya. Aku nyaris berteriak karena tidak sanggup menahan rasa bahagiaku. Entahlah, mungkin kalian menganggap aku lebay. Kenyataannya, aku memang sebahagia itu sampai rasanya aku tidak bisa tidur malam ini.
***
Hari ini, aku akan bertemu kembali dengan Leon. Aku sengaja bangun pagi-pagi sekali agar bisa bersiap lebih lama. Perasaanku benar-benar campur aduk. Senang, gugup, takut, bersemangat bercampur menjadi satu, saling bersaing untuk mendominasi. Padahal aku hanya akan bertemu dengan Leon, tapi kenapa jantungku berdebar dengan tidak wajar. Tidak seperti biasanya.
Di sekolah, sepuluh menit sebelum bel masuk berdering, aku menuju gudang sekolah. Aku memang menyuruh Leon bertemu denganku di sini sepuluh menit sebelum bel masuk, agar tidak banyak yang melihat. Leon masih belum datang saat aku tiba di sana, belum juga datang setelah 5 menit, bahkan sampai bel masuk berbunyi. Aku terpaksa kembali ke kelas. Padahal aku sudah memberinya kesempatan, kenapa justru kembali dikecewakan? Mungkin Mama benar. Sekali seorang pria membuat wanitanya menangis, maka ia akan melakukannya lagi dan lagi.
Jam istirahat, Leon mencariku ke kelas dan aku menolak untuk bertemu. Namun, Leon terlalu keras kepala kali ini. Ia nekat masuk ke dalam kelasku dan langsung menemuiku yang akan pergi ke kantin bersama Sisi dan Yesi.
"Sav, dengerin aku dulu!" pinta Leon menghalangi jalanku.
Aku tidak mengatakan apa-apa, hanya melewatinya mengikuti Sisi dan Yesi yang sudah berjalan lebih dulu di depanku. Tetapi, Leon mencekal tanganku dan menarikku ke dalam dekapannya.
"Aku minta maaf karena gak bisa ketemu sama kamu tadi. Aku telat ke sekolah, motorku tiba-tiba rusak, gak ada ojol juga. Jangan menghindar lagi dari aku, Sav! I'm so sorry!" lirihnya sambil mendekapku erat.
"Beri aku waktu untuk terima semua ini." ucapku tak kalah pelan setelah beberapa saat terdiam. Aku tidak membalas dekapannya. "Lepasin, Leon!" kataku pelan sekali, namun masih bisa didengarnya.
Ia perlahan melepaskan dekapannya dan menatap langsung ke mataku. Aku balas menatapnya sambil tersenyum tipis, berusaha memperlihatkan bahwa aku baik-baik saja. Leon dengan sorot mata sedih juga ikut tersenyum tipis. Aku pun pergi mengikuti Sisi dan Yesi yang sudah menungguku di ambang pintu.
Dua insan yang sedang dimabuk asmara dan dipermainkan oleh semesta benar-benar merasa bahwa dunia hanya milik mereka berdua. Para penghuni kelas menjadi saksi perjalanan cinta mereka yang mungkin akan berakhir ataupun berlanjut hingga lansia. Apakah takdir akan menyetujui hubungan mereka untuk selamanya atau hanya sementara?
***
"Sav, aku yakin Leon bisa dipercaya. Aku bisa lihat dari ketulusannya, dari sorot matanya. Dia beneran sayang sama kamu." kata Sisi gemas dengan sikap labilku saat bel pulang sudah berbunyi.
Daritadi aku menolak membicarakan perkara ini hingga akhirnya aku berani bertanya pendapat mereka setelah kelas sudah kosong. Aku memang percaya pada Leon bahwa ia sungguh, hanya saja aku takut untuk kecewa lagi. Aku tidak mau merasa kecewa berkali-kali terhadap orang yang sama.
"Itu artinya kamu belum sepenuhnya percaya sama dia. Kamu harus yakin kalau dia gak akan mengecewakan kamu lagi. Perkara-perkara sebelumnya masih bisa dimaafkan. Jangan sampai kamu menyesal dengan pilihan kamu karena ketakutan kamu!" Sekarang berganti Yesi yang berpendapat.
Lalu di rumah, aku kembali bercerita kepada Mama tentang Leon. Dan, Mama merasa bahwa kata-katanya benar.
"Lelaki memang seperti itu. Sekali ia mengecewakan wanitanya, membuatnya menangis, ia akan terus melakukannya. Sengaja atau tidak. Mama hanya gak mau kamu mengalami hal yang sama seperti Mama. Mantan Mamamu ini mirip seperti yang dilakukan Leon. Dan Mama tetap bertahan dengan dia karena menurut Mama masih bisa dimaafkan dan Mama masih sayang sama dia. Sampai akhirnya, dia selingkuh dari Mama. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Sebelum merasakan sakit yang lebih lagi, kita harus cegah itu terjadi."
Aku tidak setuju dengan Mama jika Leon akan mirip dengan mantan Mama. Aku yakin bahwa Leon tidak akan bermain dengan perempuan lain di belakangku. Mama tidak mengenal Leon dengan baik, sedangkan Sisi dan Yesi lebih mengenal Leon. Aku juga percaya bahwa Leon benar-benar menyayangiku. Mama pasti salah.
Ya, aku memutuskan untuk menerima Leon esoknya. Ia berjanji akan menjagaku dengan segenap jiwa dan raganya, tidak akan membuatku kecewa untuk kesekian kalinya. Ia juga berjanji akan selalu setia dengan diriku, tidak akan pernah ada perempuan lain. Sabtu, 16 Januari, sudah resmi ditetapkan sebagai hari jadian kami.