Ya, aku memutuskan untuk menerima Leon esoknya. Ia berjanji akan menjagaku dengan segenap jiwa dan raganya, tidak akan membuatku kecewa untuk kesekian kalinya. Ia juga berjanji akan selalu setia dengan diriku, tidak akan pernah ada perempuan lain. Sabtu, 16 Januari, sudah resmi ditetapkan sebagai hari jadian kami.
***
Di hari Minggu, Leon mengantarku ke kedai kopi milik Kak Agatya. Aku akan mendaftar klub fotografi hari ini dan sekarang sudah pukul sebelas tepat. Aku masih menunggu pesanan kopiku siap. Setelah siap, aku langsung naik ke atas, mungkin sudah ada orang di sana.
Benar saja, Kak Resya dan Kak Gauri sudah duduk di tempat yang sama seperti saat pertama kali bertemu denganku. Mereka menyambutku dengan wajah gembira dan menyuruhku duduk di tengah-tengah mereka. Aku hanya menurut karena masih canggung, ditambah lagi mereka lebih tua dariku.
"Kata Aga, kita satu sekolah, ya? Kok aku gak pernah liat kamu, sih?" kata Kak Resya membuka percakapan.
"Iya, kak. Aku jarang keluar kelas, paling cuma ke kantin, toilet, atau perpustakaan aja, kak." kataku sambil tersenyum kikuk.
"Jangan kaku gitu! Santai aja sama kita. Oh, iya, minggu lalu kenapa gak datang?" kata Kak Resya lagi.
"Eh? Aku---ada urusan lain, kak. Jadi, baru bisa datang sekarang. Ini juga mau sekalian daftar langsung ke Kak Carla."
"Udah didaftarin kok sama Aga minggu lalu. Memang dia gak kasi tahu kamu?" Giliran Kak Gauri yang menjawab dan langsung dibalas dengan gelengan kepalaku dan juga wajah bingungku.
"Mungkin dia lupa. Lupakan saja! Tidak penting membahas Aga. Walaupun aku penasaran, sih! Tapi, tidak baik membicarakan seseorang." kata Kak Resya bijak.
"Oh, ya, kamu kelas berapa? Aku sama Resya kelas XII IPS 5. Kalau Aga sama Langit kayaknya XI IPS 3, aku lupa."
"Aku X IPA 3, kak."
Dan, percakapan kami harus terhenti sebab pintu di sana sudah terbuka dan terlihat Kak Carla dan beberapa orang lainnya yang akan masuk ke ruangan ini. Itu artinya, kegiatan klub akan segera dimulai sebentar lagi.
***
Selepas dari percakapanku dengan Kak Resya dan Kak Gauri saat itu, mereka menjadi sering mencariku ke kelas untuk sekadar mengobrol berlima atau pergi ke kantin bersama, tentu saja Sisi dan Yesi ikut. Meski mereka lebih sering untuk tidak ikut entah karena apa. Aku tidak sempat untuk bertanya. Selain itu, aku juga sering menghabiskan waktu berdua dengan Leon, entah itu saat di sekolah maupun di luar sekolah. Ya, kami menjalankan hubungan ini tanpa diketahui oleh kedua orangtua kami. Sengaja dirahasiakan karena orangtuaku sudah pasti tidak setuju, sedangkan Leon ingin memberikan kejutan kepada Mama (juga Papanya) saat ulang tahun Mamanya.
Tentang Kak Agatya dan Kak Langit, kami sudah berkomunikasi seperti biasa. Meski aku tetap merasa canggung ketika berdua saja dengan Kak Agatya, rasanya perhatian Kak Aga waktu itu terlalu berlebihan jika dikatakan hanya sekadar peduli. Dan, mereka sudah kuperkenalkan dengan Leon sebagai pacarku. Pertemuan kedua mereka cukup berjalan dengan baik, walau masih ada tatapan tidak suka dan beberapa kata sindiran di antara keduanya karena adegan tonjok-menonjok saat itu. Selebihnya, baik-baik saja.
Semuanya berjalan dengan lancar dan damai. Sejujurnya tidak sepenuhnya lancar untukku. Sisi dan Yesi menjauhiku perlahan-lahan sejak Kak Resya dan Kak Gauri sering bergabung dengan kami. Awalnya kukira mereka hanya tidak terbiasa dengan kakak kelas sehingga memilih untuk menghindar hampir setiap ada Kak Resya dan Kak Gauri di dekatku. Kukira mereka juga akan segera akrab dengan dua kakel itu. Ternyata aku salah. Bukannya menjadi semakin akrab, justru semakin jauh dengan terang-terangan. Bahkan lebih parah lagi.
Sekarang, meski tanpa dua kakel itu bersamaku, mereka tetap menganggapku seperti tidak ada. Misalnya saat jam istirahat tadi, Sisi dan Yesi langsung pergi ke luar kelas meninggalkanku sendirian yang baru saja akan ke meja mereka. Memang rasanya sedikit sakit, tapi aku buru-buru menyusul langkah mereka yang kentara dipercepat. Namun, Leon menghalangi jalanku dan segera menarikku ke arah yang berlawanan.
"Aduh, Leon! Mau kemana, sih?" protesku padanya yang seenaknya mengajakku tanpa menjelaskan sedikit pun.
"Aku kangen. Akhir-akhir ini kamu lebih sering sama kakel anggota fotografi itu sampai hampir gak punya waktu buat aku." katanya setelah kami sampai di pinggir lapangan.
Lapangan sedang dipakai bermain basket oleh beberapa murid. Aku dan Leon duduk di salah satu bangku di pinggir lapangan. Aku memerhatikan orang-orang yang sibuk bermain basket dan Leon memerhatikanku sambil tersenyum sendiri saat aku berpaling padanya.
"Terus kenapa harus ke sini? Kenapa gak ke kantin aja? Lapar tahu!" protesku padanya dan ia hanya nyengir tidak jelas.
"Aku penasaran, kamu suka cowok basket gak?" Ia justru mengalihkan topik.
"Hm? Kenapa tanya gitu? Aku sayang kamu apa adanya, bukan ada apanya. Mau cowok basket atau bukan, aku tetap suka sama kamu. Gak perlu berubah jadi orang lain lagi. Cukup jadi diri kamu sendiri aja."
"Aku memang gak salah pilih kamu. Yaudah, kita ke kantin sekarang, yuk!" ajak Leon sambil menggenggam tanganku dengan lembut sekaligus tersenyum dengan manisnya. Aku meleleh dibuatnya.
Kami berjalan sambil bergandengan tangan sebagaimanamestinya sepasang kekasih. Rasanya dunia hanya milik berdua ketika cinta melanda. Para jomblo hanya bisa menatap iri pada kami yang tampak mesra, walaupun beberapa juga menatap wajar. Aku tidak menyalahkan mereka yang menatap iri karena jika aku berada di posisi mereka, kurasa juga akan bersikap yang sama.
Sesampai di kantin, semua meja tampak penuh. Tapi, kami ingat pernah mempunyai tempat spesial untuk makan. Kami segera memesan dan menuju tempat spesial itu setelah pesanan kami siap. Di sana tentunya juga ada Sisi dan Yesi yang sudah akan selesai.
"Hai! Udah lama kita gak makan bareng, ya?" ucapku pada mereka. Kami memang sudah jarang makan bersama sejak Kak Resya dan Kak Gauri akrab denganku.
"Selamat, ya, yang udah resmi pacaran! Semoga langgeng terus! Kita duluan, ya?" kata Yesi dengan nada ramah yang terdengar dipaksakan. Ia langsung berdiri disusul Sisi, saat aku dan Leon duduk di hadapan mereka.
"Yuk, Si! Kita tidak boleh mengganggu pasangan baru." katanya lagi yang diakhiri tawa canggung, lalu menghilang di balik kerumunan kantin.
Wajah ceriaku langsung luntur begitu saja setelah melihat sikap mereka yang seolah-olah tidak ingin dekat-dekat denganku lagi. Leon menyadari perubahan itu. Ia mengusap pelan puncak kepalaku sambil tersenyum tipis, matanya seakan mengisyaratkan "Jangan dipikirin, ya?" dan kubalas dengan anggukan pelan, diikuti helaan napas.
Namun, bagaimana caranya agar tidak memikirkannya? Mereka adalah sahabat baikku, yang sekarang menjauhiku atau mungkin sudah tidak menganggapku sahabat lagi. Apa mereka cemburu karena aku juga dekat dengan Kak Resya dan Kak Gauri? Tapi, bukankah sekarang sudah tidak lagi? Lalu apa masalahnya? Nafsu makanku benar-benar menghilang. Aku hanya mengaduk-aduk bubur ayamku yang awalnya tertata rapi menjadi tidak beraturan lagi.
"Kenapa diaduk terus, hm? Kapan dimakannya?" kata Leon lembut padaku sambil sekali lagi mengusap kepalaku.
"Gak nafsu makan. Balik ke kelas aja, yuk!" ucapku malas.
"Habisin dulu bubur sama teh manisnya. Sayang uangnya kalau gak dimakan sama sekali." Leon masih membujukku untuk memakan hidangan yang kupesan ini.
"Kamu aja yang habisin. Aku ke kelas sendiri kalau kamu gak mau." Aku merajuk dan bersiap untuk bangkit dari kursiku dan tentu saja Leon mencegah serta mendudukkanku kembali.
"Tadi katanya lapar. Aku suapin, ya? Nanti kamu pingsan kalau gak makan." Leon sudah menyendok bubur milikku dan berhenti di mulutku yang masih tertutup rapat.
"Gak usah, Leon. Aku bisa makan sendiri." kataku akhirnya setelah melihat aksinya yang memperlakukanku seperti anak kecil.
Aku mengambil alih sendok dari tangannya dan menyuapkan sesendok demi sesendok buburku. Mau tidak mau aku harus menghabiskannya karena tingkah Leon yang menyebalkan ini. Tak butuh waktu lama untuk menghabiskan seporsi bubur ayam ini, lalu kuteguk teh manisku hingga tandas.
"Anak pinter!" katanya seraya menyengir. Sedangkan, aku hanya mengerucutkan bibir karena kesal.
"Jangan cemberut lagi! Baikan dulu sama sahabat kamu. Yuk!" Aku mengangguk dan kami menuju ke kelasku.
Jam istirahat masih tersisa lima menit lagi. Aku rasa cukup untuk berbaikan dengan mereka. Aku menghampiri mereka yang sedang duduk di kelas sambil mengobrol dan Leon tetap menunggu di luar kelas. Aku berdiri tepat di samping Sisi yang membelakingiku. Kata maaf adalah kata pertama yang keluar dari mulutku hingga perhatian mereka sekarang sudah sempurna kepadaku.
"Untuk?" kata Sisi bingung, ditandai dengan terangkatnya satu alis.
"Untuk sedikitnya waktu yang aku habiskan bareng kalian akhir-akhir ini."
"Terus, baru minta maaf sekarang? Apa karena udah gak diajak lagi sama kakel-kakel itu? Makanya balik lagi ke kita?" kata Sisi dengan wajah dan nada yang sama datarnya.
"Atau karena kurang perhatian dari pacarmu? Makanya butuh orang lain lagi untuk cari perhatian? Sayangnya gak berhasil. Masih ada banyak orang, lho, yang bisa kamu caperin selain kita." ucap Yesi sama datarnya dengan Sisi.
Tanpa mengucapkan kata-kata lainnya, mereka kembali sibuk membicarakan sesuatu. Entahlah, aku tidak peduli mereka membicarakan apa. Pandanganku sudah kabur karena bendungan air mata yang kutahan. Tidak, air mata ini tidak boleh jatuh di sini. Aku menjauhi mereka dan duduk di bangkuku sendiri. Kulipat tanganku di meja dan kusembunyikan wajahku di sana. Tepat saat bulir pertama mengalir, bel masuk pun juga ikut berdering. Air mata ini harus segera dihilangkan, batinku.