Tidak, air mata ini tidak boleh jatuh di sini. Aku menjauhi mereka dan duduk di bangkuku sendiri. Kulipat tanganku di meja dan kusembunyikan wajahku di sana. Tepat saat bulir pertama mengalir, bel masuk pun juga ikut berdering. Air mata ini harus segera dihilangkan, batinku.
Sedangkan, Leon yang menunggu Savira di luar kelas terpaksa masuk ke dalam kelasnya karena bel masuk sudah berbunyi. Dalam hatinya, ia berharap Savira dan sahabatnya bisa berbaikan dengan segera. Ia tidak mau Savira bernasib sama dengannya yang sudah ditinggalkan oleh sahabatnya.
/Leon PoV/
Saat aku dan Vio baru saja berpacaran, lalu esok paginya Vio langsung menggandeng tanganku mesra saat dalam perjalanan ke kelas. Aku berusaha melepaskannya, namun ia menggenggam erat sekali. Hal itu dilihat oleh dua sahabatku, Kiki dan Jerry.
Saat istirahat, mereka segera menanyakan maksud dari kejadian itu.
"Le, tega banget, sih PHP-in anak orang. Lo sendiri, kan, tahu kalau Savira suka sama lo. Kenapa malah pacaran sama orang lain?" ucap Kiki tak menyangka kepadaku saat Vio terang-terangan menggandeng tanganku pagi tadi.
"Gue terpaksa, Ki. Gue juga bingung harus gimana." ucapku pasrah.
"Memang harus dengan cara pacaran? Padahal lo sendiri yang mulai, kenapa lo juga yang selesaiin?" Kiki masih tak percaya dengan pilihanku.
Tiba-tiba Vio datang lalu langsung bersikap manja di depan dua sahabatku. "Sayang, aku cariin ternyata di sini. Kita makan berdua, yuk! Aku udah cari meja spesial buat kita." Ia menarikku agar ikut bersamanya, tapi aku tidak bergerak.
"Ayo, sayang!" rengek Vio membuat kami bertiga risih.
"Sana urusin pacar lo! Terus aja pacaran sama dia. Gak usah pikirin kita." ketus Jerry.
Dengan terpaksa, aku mengikuti jejak Vio yang pergi ke sebuah meja. Di sana terlihat dua temannya yang langsung pergi ketika aku dan Vio sampai di meja itu.
"Ngapain, sih?" ucapku sambil mendudukkan diriku.
"Kita makan berdua. Aku udah pesan bakso tadi, sebentar lagi pasti datang."
"Apaan, sih, Vi? Kita gak benar-benar pacaran, kan? Kamu tahu sendiri kalau aku gak suka sama kamu." kataku tegas.
"Kalau lo gak mau pacaran sama gue, lo tau, kan, akibatnya? Kalau lo gak mau itu kejadian, mending lo nurut sama gue." sikap Vio seketika berubah dari manis menjadi garang.
Tentu saja aku tahu apa akibatnya jika menolak. Tetapi, ini juga bukan pilihan yang baik.
"Emang gak ada cara lain?" tanyaku pasrah.
"Sayangnya gak ada. Jadi? Masih mau nolak?" tanya Vio merasa menang.
"Oke. Aku ikuti kemauan kamu." Aku menghela napas panjang.
***
Sejak saat itu, aku dan dua sahabatku benar-benar tidak berkomunikasi sama sekali. Kami sudah terlihat seperti orang asing. Bahkan untuk sekadar bertegur sapa saja tidak lagi. Melihat sahabat terbaik kita berpura-pura tidak mengenal kita lagi rasanya sungguh menyakitkan. Savira tidak boleh merasakan hal yang sama.
/Savira PoV/
Aku sengaja izin ke toilet sebentar saat jam pelajaran baru saja dimulai. Untungnya guru yang mengajar mengizinkan. Air mataku sudah hampir keluar dari persembunyiannya untuk kedua kalinya saat aku menginjakkan kaki ke dalam kamar mandi. Kututup pintu dibarengi air mata yang sudah tak bisa kusembunyikan lagi.
Kenapa harus seperti ini lagi? Kenapa harus terulang untuk kesekiankalinya lagi? Padahal aku benar-benar berharap banyak pada mereka. Apa harapanku ini terlalu sulit untuk dipenuhi?
Saat masih di sekolah dasar, aku memiliki 4 orang sahabat. Awalnya memang masih berjalan baik-baik saja. Hingga setelah beberapa tahun bersahabat, aku menjadi sedikit terbuang. Ketika mereka berempat memiliki partnernya berdua-berdua, aku harus sendiri. Selalu aku yang terbuang dan dijadikan opsi terakhir. Seterusnya, mereka perlahan-lahan mulai menjauh dariku. Pemikiranku dengan mereka juga sudah mulai tidak nyambung. Aku sungguh tidak mengenal mereka yang sekarang. Akhirnya, aku dan mereka pun kembali menjadi teman biasa karena aku sendiri juga mulai tidak nyaman bercakap dengan mereka. Sedangkan, mereka berempat masih tetap bersahabat. Hanya aku yang tertinggal sendirian. Aku menangis setiap malamnya, memikirkan sikap mereka yang tidak acuh lagi kepadaku. Hatiku teriris, tersayat perih, dan air mata terus membasahi pipi.
Begitu juga saat di sekolah menengah pertama. Dua sahabat yang awalnya benar-benar sefrekuensi denganku dan selalu mendukung, entah kenapa berubah 180 derajat. Mereka menjadi lebih sering merendahkan, bahkan mempermalukanku yang membuatku tidak nyaman, hingga memutuskan untuk menjauh selamanya dari mereka. Aku kembali sendirian dalam dunia ini. Kali ini, aku tidak menangis. Aku mencoba mengintropeksi diri yang berujung pada kesimpulan, akulah yang salah. Aku menerimanya.
Kini, kuterduduk di lantai yang kering sambil bersandar pada dinding dekat wastafel, lututku lemas. Kepalaku tak berhenti berpikir tentang alasan mengapa persahabatanku tidak pernah bertahan lama. Berbagai asumsi muncul dalam kepalaku yang pada akhirnya harus kutelan sendiri juga. Aku tidak punya jawaban dan juga tidak bisa bertanya kepada orang lain. Aku juga sempat pesimis sebelum bertemu dengan Sisi dan Yesi. Namun, aku menjadi lebih optimis setelah bertemu mereka, bahwa persahabatan ini akan bertahan lama. Dan, aku salah. Semuanya sama saja. Semuanya juga salahku, itu yang selalu kupikirkan setiap persahabatanku hancur. Akhirnya, sendiri akan selalu jadi hasil terakhir.
Mataku sembap, rambutku acak-acakan, dadaku sesak, dan aku sesenggukan. Tiba-tiba kepalaku berdenyut dan pandanganku mulai memburam hingga gelap sempurna.
Sementara itu di kelas, guru yang mengajar bertanya-tanya tentang Savira yang tidak kunjung kembali dari toilet padahal sudah lewat setengah jam. Apa Savira membolos? Tidak mungkin. Savira bukan murid yang seperti itu, pikir gurunya. Akhirnya, beliau menyuruh Sisi dan Yesi selaku sahabat Savira untuk mengecek keadaannya di toilet. Sisi dan Yesi sebenarnya enggan melakukannya. Namun, mereka tidak bisa menolak hingga mau tidak mau harus menurut.
Mereka berdua keluar dari kelas dan kegiatan belajar mengajar tetap dilanjutkan. Sisi dan Yesi mulai memasuki setiap kamar mandi yang ada di sekolahnya. Dan, betapa terkejutnya mereka saat menemukan Savira yang berantakan sedang tidak sadarkan diri dalam posisi duduk bersandarkan dinding dekat wastafel. Mereka nyaris berteriak jika saja tidak cepat-cepat menutup mulut mereka. Mereka sama-sama panik, tidak ada yang bisa dimintai tolong dan mereka tidak bisa mengangkat tubuh Savira sampai UKS yang letaknya cukup jauh dari tempat mereka saat ini.
"Sav! Sav! Savira! Bangun, Sav!" kata Yesi berjongkok di hadapan Savira sambil sesekali menepuk-nepuk pipinya. "Panggilin Leon, Si! Cepetan ke kelasnya! Aduh, Sav! Bangun, dong!" Yesi menoleh sekejap ke Sisi yang mondar-mandir tidak jelas sambil menggigiti kukunya, lalu kembali menepuk pipi Savira.
Sisi yang mendengar suruhan itu segera menghentikan aktivitasnya dan segera berlari menuju kelas Leon. Dengan napas tersengal, ia berbicara dari ambang pintu.
"Leon! Savira! Savira ping-hah-Savira pingsan! Di sana! Ayo, cepetan!" Sisi terlihat panik sekali sambil menunjuk-nunjuk ke arah kirinya.
Belum sempat guru di sana angkat bicara, Leon sudah mendahuluinya, "Bu, saya izin pergi dulu! Makasih, Bu!" katanya terburu-buru dan langsung mengikuti Sisi yang sudah berlari duluan.
Sedangkan, Yesi masih terus berusaha membangunkan Savira yang tak sadarkan diri hingga Leon dan Sisi sampai di sana. Tanpa basa-basi, Leon segera membawa Savira ke UKS sambil sesekali berkata "Sav! Bangun, Sav!" Sedangkan, Sisi dan Yesi setengah berlari mengikuti Leon yang juga setengah berlari.
Savira kini sudah dibaringkan di ranjang UKS, penampilannya pun sudah lebih baik dari sebelumnya. Di kanan-kirinya, duduk Sisi dan Yesi yang memandang khawatir. Sedangkan, Leon berdiri sedikit jauh dari mereka. Tidak ada yang bersuara membuat suasana menjadi canggung. Sisi dan Yesi sibuk dengan perdebatan batin di antara mereka dan Leon bingung harus bersikap seperti apa. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk bersuara.
"Kalau kalian ada masalah, seharusnya dibicarakan dulu baik-baik. Tanpa emosi. Aku memang gak terlalu tahu tentang permasalahan kalian. Tapi, Savira pasti gak mau kehilangan dua sosok sahabatnya." kata Leon.
Hening. Baik Sisi maupun Yesi tidak merespon kata-kata Leon. Mereka merasa lebih baik diam daripada harus salah bicara karena suasana hati mereka yang sedang kalut. Perdebatan batin mereka belum juga usai.
Tiba-tiba terdengar suara Savira mengerang dan perlahan matanya membuka. Langit-langit UKS yang putih adalah hal pertama yang ditangkap oleh matanya. Lalu, diarahkan pandangannya ke sekeliling dan menyadari dirinya ada di UKS sekolah.
"Sav, kamu udah baikan?" tanya Leon kepadaku yang berada di sebelah kiriku. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Kurasa aku memang sudah lebih baik.
"Kamu mau bicara sama mereka?" Leon mengarahkan pandangannya pada dua perempuan yang berdiri di depan ranjang UKS yang kutiduri.
Aku tidak menjawab apa-apa, bahkan tidak menggeleng atau mengangguk. Melihatku yang diam saja, Leon mulai berkata lagi.
"Mereka mau bicara sama kamu. Tapi, kalau kamu gak mau, mereka gak akan paksa."
"Tapi, kamu di sini juga." Akhirnya, aku menjawab dengan suara serak.
Leon menggeleng pelan, "Aku tunggu di luar aja, ya?" Ia mengusap pelan pucuk kepalaku yang langsung kujawab dengan gelengan cepat dan menggenggam erat tangannya agar ia tak pergi.
Ia balas menggenggam tanganku sambil tersenyum lembut dan menggangguk bermaksud untuk menenangkanku. Aku menggeleng dan semakin mengeratkan genggamanku.
"Gapapa, kok, kalau kamu tetap di sini, temanin Savira." Sisi akhirnya angkat bicara.
"Gak perlu. Aku gak mau ganggu obrolan kalian bertiga." kata Leon masih berusaha melepaskan genggamanku. Setelahnya, ia kembali membujukku, juga menenangkanku.
Yesi dan Sisi saling tatap, berbicara melalui mata serta gerak tubuh mereka. Mereka tidak mau mengganggu perdebatanku dan Leon.
Hingga akhirnya, Leon berhasil membujukku. Sebelum keluar, ia membantuku untuk duduk menghadap Yesi dan Sisi yang masih berada pada tempatnya, tidak beranjak sesenti pun.
Setelah Leon keluar, suasana seketika menjadi hening. Sisi maupun Yesi sama sekali tidak membuka mulut, justru saling sikut-menyikut seakan lupa bahwa aku masih ada di antara mereka. Aku diam saja melihat mereka, tidak berniat untuk menghentikan kegiatan mereka.
Tidak perlu menunggu lama hingga mereka berhenti sendiri dan langsung memandangku yang hanya duduk diam. Sisi berdeham beberapa kali untuk mencairkan suasana dan aku hanya menunggunya berbicara.
"Kita minta maaf tentang tadi." Itulah kalimat pertama yang keluar dari mulutnya. Aku tetap diam sampai Sisi kembali bicara, "Kita tetap mau berteman sama kamu seperti dulu. Sahabatan bertiga lagi. Maafin kita karena udah buat kamu sampai kayak gini. Mau, kan, dimaafin?"
Aku tersenyum tulus pada mereka sambil mengangguk pelan. "Maaf juga karena aku terkesan lupain kalian. Sahabatan lagi, ya?" Aku mengangkat kedua jari kelingkingku. Mereka pun ikut mengangkat jari kelingkingnya dan menautkannya pada milikku. Kami bertiga tersenyum lebar.
Dalam hati, aku berterima kasih kepada Leon. Aku tidak akan bisa melakukan ini tanpanya. Kuharap kita bisa selalu seperti sekarang, ya, Le? Untuk Sisi dan Yesi, terima kasih karena sudah mau menerimaku kembali. Semoga, kita bertiga tetap bisa bersama sampai bertahun-tahun ke depan!
Mungkin ini yang bernama sahabat sejati. Bisa tetap memaafkan dan menerima kembali sahabatnya. Tidak butuh waktu lama untuk kembali bersahabat. Sahabat tetap sahabat selama masih bersama dan saling percaya.