Tanpa terasa waktu berjalan dengan cepat. Aku dan teman-teman seangkatanku kini sudah menjejaki akhir dari masa SMA, kelas 12. Semuanya akan menjadi lebih berat lagi karena harus mempersiapkan diri untuk ujian terakhir, juga tes untuk masuk dunia perkuliahan nanti.
Selama setahun terakhir, semua berjalan baik-baik saja. Tidak ada lagi perselisihan antara aku dengan Leon. Mungkin hanya debat kecil. Sisanya, kami berdua selalu akur. Hubunganku dan Kak Agatya juga berjalan seperti biasa, kami tetap berteman dengan baik. Ia sekarang sudah memasuki dunia perkuliahan, jurusan fotografi. Terkait fotografi, sampai detik ini pun aku masih setia mengikuti klub fotografi itu.
Hari ini hari pertama masuk ke sekolah sebagai murid kelas 12. Seperti biasa, kelas kembali diacak dan semua orang sibuk mengerumuni papan pengumuman atau mading untuk mencari tahu kelas baru mereka. Dan kali ini, aku tidak seberuntung di tahun sebelumnya. Aku hanya sekelas dengan Yesi. Sedangkan, Sisi sekelas dengan Leon.
"Si, pantau Leon di kelas, ya? Biasanya, menjelang dua tahun orang-orang putus sama pacarnya." pintaku padanya saat istirahat.
Sisi yang sedang melahap mie ayamnya, mendongak menatapku dan mengangguk sambil terus mengunyah makanannya. Setelah makanannya ditelan, ia hormat ala upacara bendera dan berkata, "Siap, komandan!"
Kami bertiga tertawa setelahnya. Ya, hanya bertiga. Leon ditunjuk menjadi ketua kelas dan harus pergi ke ruang guru---begitu kata Sisi.
"Gak usah takut, Sav. Leon gak akan berpaling ke cewek lain karena di hatinya cuma kamu. Gak waras kalau Leon sampai kecantol sama cewek lain." kata Yesi usai tawanya terhenti.
"Iya. Lagian masa Leon bisa berpaling dari perempuan secantik dan sebaik Savira Sokka? Mana mungkin bisa. Ya, gak?" goda Sisi sambil mengedipkan sebelah matanya beberapa kali.
"Berlebihan kalian. Alasan orang putus, kan, bukan cuma karena orang ketiga. Aku takut aja." Aku tidak mengiyakan perkataan mereka.
Tak lama kemudian, bel kembali berbunyi nyaring yang mengharuskan para siswanya kembali ke kelas masing-masing. Walau pembelajaran belum efektif, tetap saja semua siswa tidak diperbolehkan berkeliaran di keluar kelas atau nanti akan berakhir di lapangan hingga bel kembali berbunyi.
Lagi-lagi waktu berjalan cepat tanpa disadari. Masa pengenalan lingkungan sekolah bagi murid baru sudah jauh tertinggal di belakang. Besok sudah memasuki bulan baru, bulan September. Itu artinya ujian tengah semester juga sudah ada di depan mata, yang pasti membuatku pusing. Jika ujian tengah semester saja sudah kerepotan, bagaimana nanti ketika ujian akhir semeter? Belum lagi di tahun depan. Alangkah merepotkannya nanti.
Untungnya hari ini sedang jam kosong dari selesai istirahat tadi, tidak ada tugas pula, cukup menunggu bel pulang berbunyi. Setidaknya, otakku masih bisa beristirahat. Aku dan Yesi duduk sebangku---memang sebangku, namun sibuk dengan urusan kami masing-masing. Yesi yang sibuk dengan ponsel di tangannya dan aku sibuk membaca novel yang kubawa dari rumah. Aku tetap fokus membaca, meski di kelasku berisiknya bukan main. Ada yang konser di depan kelas, ada kumpulan perempuan sedang bergosip, kumpulan lelaki yang bermain game online, ngebucin di kelas, dan lain-lainnya. Untungnya aku tidak mudah terganggu dengan hal-hal seperti itu saat membaca buku.
"Ada anak baru, ya?" celetuk Yesi di sela-sela bisingnya kelas. Ia masih setia menatap ponselnya.
Aku mengalihkan atensiku padanya. "Anak baru? Siapa? Tahu dari mana?"
"Serius ada anak baru? Siapa?" tanyanya balik dengan wajah bingung.
"Kok nanya balik? Kamu tadi bilang ada anak baru. Gimana, sih?" ucapku kesal karena sikap Yesi yang kadang lambat loading.
"Oh, itu! Kelas sebelah tadi bersorak gitu. Kalau kayak gitu, biasanya ada anak baru, kan? Emang kamu gak dengar?"
Aku menggeleng polos membuat Yesi ikut menggelengkan kepalanya prihatin.
"Kebiasaan. Kalau baca novel, gak ingat dunia." cibirnya sambil kembali memainkan ponselnya.
Aku hanya menyengir tak berdosa sambil menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. "Kira-kira anak barunya kayak gimana, ya? Sampai disorakin. Pasti cantik atau ganteng, ya?" kataku melihat kosong ke depan.
"Kalau cewek pasti gak secantik kamu." Yesi menggodaku sambil menaik-turunkan kedua alisnya, lalu tertawa melihat wajah masamku.
Astaga! Sejak kapan kedua sahabatku ini suka menggoda? Saat istirahat tadi, Sisi menggodaku. Sekarang, giliran Yesi. Aku kembali memusatkan perhatianku kepada novel di hadapanku, malas menanggapi godaan Yesi.
***
Aku pulang bersama Leon seperti biasanya, tapi tidak langsung pulang. Aku mengajaknya pergi ke taman yang biasa kukunjungi saat muram. Berbeda untuk kali ini, aku sedang dalam suasana hati yang baik saat tiba di sana bersamanya.
Tiba-tiba saja aku teringat tentang topik anak baru yang kubicarakan dengan Yesi di kelas tadi. Sambil berjalan berkeliling taman, aku bertanya kepada Leon.
"Di kelas kamu ada anak baru, ya?"
Leon menghentikan langkahnya sejenak membuatku ikut berhenti di sebelahnya. "Iya. Kamu tahu dari mana?" Ia lalu kembali melanjutkan jalannya setelah menjawab.
"Tahu dari Yesi," kataku sambil menoleh ke arahnya. Saat ia ingin bertanya lagi, aku buru-buru melanjutkan. "Dia tahu sendiri. Ketebak dari sorakan kelas kamu," ucapku yang membuatnya urung berbicara. Ia hanya mengangguk-angguk, tidak memperpanjang obrolan.
"Cewek atau cowok?" tanyaku lagi.
"Cewek. Namanya Gemini."
Aku hanya mengangguk-angguk setelahnya sambil sibuk mengira-ngira wujud Gemini.
"Duduk di sana, yuk!" ajak Leon. Ia menarik pelan tanganku menuju sebuah bangku.
Kami duduk bersebelahan di bangku itu. Saling diam tidak berbicara sepatah kata pun. Aku juga tidak berniat memulai obrolan, justru lebih memilih menikmati suasana alam dan melihat orang-orang yang berlalu-lalang di taman.
Tiba-tiba Leon berkata sambil terus menatap lurus ke depan. "Kamu ingat kita pernah hujan-hujanan di sini? Kamu lagi nangis di sana waktu itu," katanya menunjuk jalan setapak yang tepat berada di hadapan kami.
Aku tidak langsung menjawab. Berusaha mengingat apa yang dikatakannya dan, ya. Itu semua pernah terjadi tepat di sini.
"Iya. Aku jadi ngerepotin kamu. Maaf, ya?" ucapku pelan.
Leon menoleh ke arahku dan tersenyum. "Gak perlu minta maaf. Aku senang punya kenangan bareng kamu. Seterusnya, kita buat kenangan yang lebih banyak lagi, ya?" Ia mengangkat jari kelingkingnya. Tatapannya sungguh dalam menatapku.
Aku menautkan jari kelingkingku kepada miliknya dan balas tersenyum. "Iya. Sama-sama terus, ya?"
Aku benar-benar berharap bahwa aku dan dirinya bisa tetap bersama. Aku ingin sekali yakin bahwa ialah orang yang tepat untuk menemaniku dalam sisa kehidupan ini. Tapi, tidak. Ada segenggam perasaan tidak yakin yang kutakut akan bertambah besar. Ada secuil firasat buruk yang selalu menetap di pojok otakku sejak detik-detik kehidupan jenjang terakhir SMA akan dimulai. Kadang menyuruh diriku untuk bersiap akan datangnya badai besar yang siap menghantam dan mematahkah hatiku, menderaskan air mataku. Ya. Setidaknya, saat ini aku bisa tenang mendengar pernyataan Leon hari ini.