Chereads / Kisah di SMA / Chapter 32 - 29. Baikan

Chapter 32 - 29. Baikan

Leon tidak berkata apa-apa lagi setelah mengantarku pulang. Ia langsung melajukan motornya meninggalkan rumahku. Aku hanya bisa menghela napas pasrah.

"Kamu diantar siapa? Kok gak diajak masuk dulu?" tanya Mama saat aku memasuki ruang tamu. Mama sedang duduk di sofa sambil menonton televisi.

"Teman di fotografi, Ma. Dia buru-buru, katanya." jawabku sekilas. Mama hanya mengangguk-angguk.

Aku pun naik menuju kamarku. Kututup pintu kamar dan bersandar di pintu. Air mata pun lolos dari mata kiriku membuatku perlahan roboh ke lantai sambil tetap bersandar pada daun pintu.

Kenapa semuanya menjadi rumit seperti ini? Bagaimana Kak Aga bisa menyukaiku sampai seperti itu? Kenapa Leon terasa berbeda? Apa yang harus kulakukan sekarang?

Ponselku tiba-tiba bergetar pelan, muncul sebuah notifikasi chat di layarnya. Dari Kak Agatya.

Kak Agatya : [Maaf tentang tadi. Aku justru tambah masalah kamu. Seharusnya aku gak ikut campur keputusan kamu. Sekali lagi maaf ya?]

Aku membalas pesan itu seketika.

[Gapapa, kak. Salahku sendiri kok]

Kak Agatya : [Aku juga minta maaf udah ninju Leon. Tolong sampaikan permintaan maafku ke dia ya?]

[Nanti aku bilang ke dia. Maaf udah buat suasana tadi gak enak. Mungkin selanjutnya aku gak akan datang lagi, kak. Maaf]

[Tolong sampain ke Kak Clara ya, kak!]

Setelah mengirim pesan itu, aku langsung keluar dari aplikasi chat dan beralih ke panggilan telepon. Aku ingin menelepon Leon.

Terdengar nada panggil beberapa kali sebelum akhirnya ditolak oleh Leon. Tidak menyerah, aku mencoba untuk meneleponnya kembali. Namun, hal yang sama terjadi lagi. Aku kembali membuka aplikasi chat dan mengirim pesan kepada Leon. Tetap tidak ada jawaban, pesanku hanya dibaca olehnya.

[Aku harus gimana biar kamu balas?]

Leon : [Kasi aku waktu]

[Oke]

Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Mau dipikirkan sekeras apa pun tidak akan bisa karena jawabannya ada pada Leon, bukan pada diriku. Aku memutuskan untuk tidak mengganggunya dahulu seperti yang ia mau. Selain dirinya, kurasa aku juga perlu waktu untuk menata pikiran dan rasa yang kupunya.

***

Aku mengurung diri di kamar sejak kepulanganku. Yang kulakukan tidak banyak. Hanya tidur terlentang di tempat tidurku sambil melihat langit-langit yang tidak ada spesialnya. Namun, tiba tiba saja pintu kamarku terbuka memperlihatkan sosok wanita yang masih awet muda. Aku menoleh berkat panggilannya.

"Savi, kamu gak lapar? Udah waktunya makan malam." Mama bertanya. "Eh, kamu kenapa? Sakit?" Mama mendekat.

Aku segera bangkit untuk duduk dan menggeleng. "Gak kenapa kok, Ma. Mama tumben manggilnya langsung ke kamar."

"Habisnya waktu kamu pulang siangnya, lesu banget. Gak kayak biasanya. Lebih awal lagi pulangnya. Terus gak ada keluar kamar lagi." Mama sudah duduk di tepi ranjangku.

"Itu... klubnya libur dulu. Savi baru tahu waktu udah sampai di sana," kataku sebagai alasan. "Karena tempatnya dekat sama toko buku, jadi Savi mampir dulu." Aku berbicara lambat sambil otakku bekerja mencari-cari alasan.

"Oh gitu. Yaudah, makan dulu, yuk!" Mama segera keluar dari kamar setelah itu. Aku pun menyusul tak lama kemudian.

Di ruang makan, hanya ada aku dan Mama. Saat kutanya Papa di mana, Mama bilang bahwa Papa harus lembur di kantor. Akhirnya, kami hanya makan malam berdua. Mama tidak banyak bicara saat makan, begitu pula denganku. Kami hanya fokus dengan makanan yang tersaji di meja makan. Sampai piringku bersih pun, mama tidak bersuara. Namun, saat aku hendak kembali ke kamar, Mama menyuruhku untuk tetap di bawah dulu dan aku memutuskan duduk di sofa. Mama sedang merapikan meja makan.

"Gak ada yang mau kamu ceritain ke mama?" Mama sudah duduk di sofa sebelahku. Sebagai jawaban, aku menggeleng ragu.

"Yakin?" Mama bertanya memastikan.

Kini aku mengangguk lebih yakin. Mama hanya bisa menghela napas melihat responku dan menyuruhku untuk kembali ke kamar secara tersirat. Aku menurut, segera menaiki tangga dan masuk ke dalam kamar.

Aku merebahkan tubuhku di ranjang. Tanganku meraih ponsel yang terletak sembarang di atas bantalku. Saat layar ponselku menyala, tampak puluhan spam chat dari seseorang dan beberapa kali misscalled dari orang yang sama. Aku terpaku hanya dengan melihat nama orang itu. Dengan tangan gemetar, aku membuka notifikasi itu dan membalasnya hanya dengan satu kata, "Iya?"

Sedetik pesan itu terkirim, seseorang di seberang sana terlihat sedang mengetik. Aku menunggu dengan perasaan waswas. Aku sampai terduduk karenanya.

[Maaf! Aku berlebihan] Begitu isi pesannya.

Aku membaca pesan itu berkali-kali, memastikan agar aku tidak salah membaca. Namun, isinya tidak berubah. Masih sama persis ketika pertama kali pesan itu dikirimkan. Karena aku tak kunjung menjawab, ia memutuskan untuk meneleponku. Awalnya aku ragu untuk mengangkatnya, tapi tetap kuangkat juga akhirnya.

"Sav, kamu gak mau maafin aku, ya? Chatku cuma dibaca aja. Sorry! Aku sadar aku memang berlebihan. Ngelarang kamu ini itu. Aku posesif banget, ya? Kamu tenang aja. Aku gak akan larang kamu lagi. Terserah kamu mau dekat sama siapa aja. Aku percaya kalau kamu tahu batasnya," katanya panjang lebar tepat saat aku mengangkat panggilannya itu.

Aku diam tidak merespon. Pikiranku masih berusaha mencerna setiap kata-kata yang tumpah dari mulutnya. Entahlah. Aku paham maksud keseluruhannya. Tapi, kenapa bisa tiba-tiba seperti ini? Itu yang tak kupahami.

"Sav? Kamu dengar aku ngomong, kan?" tanyanya lembut karena tidak kunjung mendengar tanggapanku.

Aku sedikit tersentak, tersadar dari lamunanku. "Ya," gumamku. Aku tidak tahu harus berkata apa. Ini semua terlalu tiba-tiba.

"Kamu marah, ya?" tanyanya lagi. Mungkin ia tidak mendengar jawabanku.

"Enggak," jawabku pelan.

"Jadi? Mau maafin aku?"

"Ya. Makasih udah mau percaya sama aku."

"Makasih, sayang! Love you!" katanya dengan semangat.

"Love you too! Bye!" Sedangkan aku membalasnya pelan. Setelahnya, aku mengakhiri panggilan itu sepihak.

***

Esoknya di sekolah, Leon sudah kembali bersikap ceria kepadaku. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa kemarin. Dan aku, aku masih merasa ganjil. Aneh. Tetapi, bukan berarti aku tidak senang karena perubahan sikap Leon. Aku senang, hanya saja aneh.

Omong-omong, karena Leon sekarang memercayai diriku, aku memutuskan untuk kembali mengikuti klub fotografi itu. Kak Agatya tahu kalau aku sudah berbaikan dengan Leon---dari alasan kenapa aku memutuskan untuk datang lagi---dan ia turut senang.

"Sav, kamu lagi ada masalah sama Leon, ya?" tanya Sisi tiba-tiba saat aku sedang membereskan buku-bukuku, bersiap untuk pulang. Bel sekolah sudah berbunyi beberapa menit yang lalu.

Aku menghentikan gerakan tanganku yang hendak menutup resleting tas, lalu menoleh ke arahnya. "Kenapa tanya gitu?" Bukannya menjawab, aku justru balik bertanya.

"Aku lihat kamu agak gak nyaman gitu waktu sama Leon. Terus tumben banget Leon gak nongkrong di depan kelas, padahal udah jam pulang. Kalian bertengkar?" Sisi sekarang sudah duduk di salah satu bangku kosong dan melipat tangannya di depan dada.

"Kalau ada masalah, kamu bisa cerita ke kita, kok. Mungkin kita bisa bantu?" timpal Yesi. Ia tetap pada posisinya yang berdiri di dekatku.

Aku menghela napas dan kembali menutup resleting tasku, lalu menggendongnya dan berjalan ke luar kelas. Sisi dan Yesi segera menyusul dan menyejajarkan langkah mereka denganku membuatku berada di tengah-tengah mereka berdua.

"Beneran ada masalah, ya?" tanya Yesi lembut.

Aku lagi-lagi menghela napas. "Panjang ceritanya. Mau ke rumahku dulu?" Mereka pun mengangguk.

Di rumahku tidak ada siapa-siapa selain aku dan kedua sahabatku itu. Mama menjenguk nenekku yang sedang sakit---Mama meninggalkan catatan di atas meja makan. Sedangkan, Papa seperti biasa harus bekerja.

Setelah aku mengganti seragam, menyiapkan minuman dan camilan, aku langsung menceritakan semua kejadian yang terjadi kemarin. Sisi dan Yesi mewajarkan sikap Leon yang menurutku posesif itu. Aku mengiyakan saja karena aku tahu mereka tidak akan sependapat denganku bagaimanapun aku menjelaskannya.

Masalah itu tidak berlarut-larut lagi. Selepas mereka memberikan respon dan aku mengiyakan---walau sedikit terpaksa, kami langsung loncat ke topik lain hingga petang yang memaksa mereka untuk pulang.