Aku baru saja bangun ketika jam wekerku berdering kencang pada pukul 07.05. Aku memang sengaja menyetel jam wekerku pada pukul 7 tepat, meski saat ini masih masa liburan kenaikan kelas. Kenapa? Karena hari ini aku akan mengikuti outbond bersama anggota klub fotografi yang lain. Aku benar-benar bersemangat hari ini. Bagaimana tidak? Sudah lama aku tidak pergi beramai-ramai dengan teman. Apalagi pagi menjelang siang nanti akan piknik di sebuah taman. Lalu siangnya akan melihat-lihat galeri, dan berakhir melihat sunset di pantai.
Sekarang, jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Aku sudah siap dengan memakai kaos putih polos dengan luaran kemeja kotak merah-hitam oversized dan celana kulot putih. Rambut panjangku kuikat dengan gaya ponytail dan ditambah dengan make up natural. Aku memakai flat shoes senada sebagai alas kaki.
Semua barang-barangku sudah kupersiapkan. Bekal makanan dan minuman untuk piknik, kamera, serta ponsel. Sekarang tinggal berangkat menuju kedai kopi milik Kak Aga. Rencananya, kami bersepuluh akan menaiki 2 mobil yang dibagi menjadi 2 kelompok, 5 orang ikut mobil yang dikendarai Kak Aga dan 5 orang lagi ikut mobil yang dikendarai oleh pacar Kak Carla. Aku ikut di dalam mobil Kak Aga.
Pukul 9 tepat, semuanya sudah berkumpul di depan kedai kopi, siap untuk berangkat ke tempat pertama, Kebun Raya. Kak Resya, Kak Gauri, dan Kak Langit juga semobil denganku. Bersyukur sekali rasanya aku bisa semobil dengan mereka. Jadi, aku tidak perlu begitu merasa canggung saat kurang lebih satu jam di perjalanan.
Sejam kemudian, kami bersepuluh pun sampai di parkiran Kebun Raya. Aku meregangkan tubuhku tepat saat baru keluar dari dalam mobil.
"Kita mau keliling dulu atau langsung piknik?" tanya Kak Aga setelah turun dari tempat kemudi. Di sekelilingnya, sudah berkumpul kami bersembilan.
"Kalian udah lapar lagi? Kalau belum, kita keliling dulu aja. Setelah itu, baru kita keluarin barang-barang untuk pikniknya." usul Kak Carla selaku ketua klub. Kami semua menggeleng sebagai jawaban.
"Yaudah, sekarang kita keliling. Bawa barang seperlunya aja! Barang berharga jangan ditinggal di mobil! Sekarang kita jalan!" final Kak Carla, lalu langsung memimpin rombongan masuk.
Saat kami masuk, pemandangan sekitar terlihat hijau dan juga sejuk karena banyak ditanami pepohonan. Lalu, di depan terdapat persimpangan yang terdapat penunjuk arah. Ada Taman Sakura, Taman Labirin, Rumah Kaca, Taman Hijau, Sungai Jernih, dan lainnya.
"Kalian mau ke mana dulu?" Kak Carla menjajak pendapat kami semua.
Kami tidak menjawab, hanya saling berpandangan. Ke tempat mana dulu bukan masalah. Melihat kami yang diam saja, pacar Kak Carla, Kak Johan membisikkan sesuatu di dekat Kak Carla agar hanya Kak Carla saja yang mendengar.
Setelahnya, Kak Carla mengangguk dan hendak berbicara lagi, "Kita ke area taman dulu aja, ya? Yuk!" finalnya, lalu mengambil jalur kanan.
Kami tidak berkata apa-apa, hanya mengikuti sambil melihat sekeliling. Di tempat pertama, terlihat pohon-pohon berjejer di kiri dan kanan jalan. Namun, pohon itu serempak tidak berdaun atau berbunga, benar-benar kering. Sebelum masuk lebih dalam lagi, di pinggir dekat pohon pertama terdapat papan informasi. Aku menghampirinya sendirian.
[Taman Sakura] Begitulah judulnya.
Aku mengernyitkan kening setelahnya. Jika benar ini Taman Sakura, maka akan ada bunga sakura. Aku melanjutkan membaca. Pada paragraf pertama kalimat terakhir ditulis,
[Berbeda dengan di Jepang yang bunganya hanya mekar setahun sekali saat musim semi, di sini bunga sakura mekar dua tahun sekali pada bulan Januari-Februari dan Juli-Agustus]
"Pantas saja sekarang tidak ada bunganya karena akan baru mulai mekar bulan Juli dan sekarang masih bulan Juni. Sayang banget." gumamku sambil berkeluh kesah.
Tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara berat, namun pelan yang memanggil namaku di dekat telingaku. Aku sontak menoleh ke arah suara dan melihat wajah lelaki berkacamata itu yang sedang tersenyum manis. Ya, Kak Agatya.
"Yuk, kita lanjut lagi! Yang lain udah duluan." katanya sambil menunjuk 8 orang yang berjalan perlahan sambil mengamati pohon sakura yang belum mekar.
Aku tersenyum kikuk sambil mengangguk, lalu kami berkumpul lagi bersama rombongan. Tidak banyak yang bisa dilihat di Taman Sakura karena bunga-bunganya belum bermekaran. Kami terus berjalan sampai berhadapan dengan taman luas yang dipenuhi dengan rumput hijau yang dipangkas pendek. Di sana terlihat orang-orang sedang berpiknik di bawah bayangan pohon yang sengaja ditanam agar lebih teduh. Sayang, tidak ada yang membawa perlengkapan piknik saat ini.
Kak Carla terus berjalan lebih ke dalam, kami mengikuti di belakang. Hingga terlihat pagar tanaman yang menjulang tinggi yang disebut Taman Labirin. Kak Resya dan Kak Gauri terlihat bersemangat sekali ingin memasukinya. Namun, Kak Carla melarang, nanti tersesat katanya.
"Gak usah khawatir, kak. Nanti di dalam ada petunjuk untuk keluar dari labirin. Cukup ikutin aja petunjuknya. Labirinnya juga gak begitu luas." Tiba-tiba muncul pria dewasa yang memakai nametag penjaga di sini. Sepertinya, ia bertugas khusus di Taman Labirin ini yang terletak di tengah Taman Hijau.
"Ayo, La! Gak usah takut, jugaan kamu ditemenin pacar, kan? Ada yang lindungin. Beda sama kita yang jomblo." goda Kak Resya sekaligus merangkul mesra Kak Carla.
"Apaan sih, Re? Iya, iya, kita masuk ke sana." Kak Carla melepas paksa rangkulan Kak Resya dan berkata pasrah.
Kak Resya dan Kak Gauri berteriak senang, bahkan langsung berpelukan. "Ayo, kita masuk!" teriak mereka serempak.
Aku tertawa kecil melihat tingkah mereka. Memang selama kegiatan klub, mereka berdua selalu terlihat paling bersemangat dan heboh. Tidak terbayang jika di outbond ini mereka tidak ikut. Akhirnya, kami bersepuluh pun setuju untuk memasuki labirin itu.
"Masuk berdua-berdua, ya? Kita duluan, setelah itu kalian berdua-berdua." Kak Resya langsung memutuskan tanpa bertanya. Bersama partnernya, ia mendekati jalan masuk ke dalam labirin, kami mengikuti.
Pria tadi kembali menjelaskan tentang Taman Labirin itu. Setelah selesai, Kak Resya dan Kak Gauri masuk pertama kali dengan semangat sekali. Setelah itu, tidak ada yang masuk. Kami hanya saling lirik dengan ekspresi bingung.
Namun, tiba-tiba saja seseorang menggamit tanganku lembut dan membawaku masuk ke dalam sana. Aku tidak sempat menolak karena masih tersisa gelombang kejut dalam diriku. Setelah kesadaranku pulih, aku langsung menarik tanganku yang digenggam olehnya.
Menyadari itu, ia langsung meminta maaf padaku, "Maaf kalau aku lancang dan buat kamu gak nyaman!" katanya yang terdengar lembut dan tulus di telingaku.
Aku menggeleng karena itu bukan masalah besar, "Cari jalan keluarnya aja, yuk!" ajakku dan kami pun mencari dan membaca petunjuk-petunjuk yang ada di dalam untuk keluar dari labirin ini.
Kak Aga yang bersamaku terlihat gelisah juga bingung. Aku merasa kalau ia ingin mengatakan sesuatu, tapi aku berusaha untuk menahan rasa penasaranku. Lebih baik jika ia berbicara tanpa dorongan apa pun dariku. Namun, hingga keluar dari labirin itu pun, Kak Aga belum mengatakan sepatah kata lagi. Dan, aku berusaha untuk terus pura-pura tidak tahu.
"Laper, nih! Makan, yuk!" ucap Kak Resya setelah semuanya keluar dari labirin.
"Baru juga sebentar, udah laper aja." cibir Kak Langit.
Tanpa mengacuhkan cibiran itu, Kak Rere melangkah lebih dulu meninggalkan labirin itu untuk mengambil perlengkapan piknik.
"Bawain semuanya, ya, Re? Kita tunggu di sini!" teriak Kak Gauri setelah sahabatnya itu cukup jauh dari kami.
"Enak aja! Bantuin, lah! Uri, cepetan sini!" Kak Rere balas berteriak tidak terima.
"Kan udah aku bilang, jangan panggil Uri!" Kak Gauri pun berlari mengejar perempuan yang kini menjulurkan lidah untuk mengejeknya, mereka pun berkejar-kejaran.
"Johan, Aga, Langit, kalian bantuin mereka bawa barang-barangnya. Kita cari tempat dulu." titah Kak Carla pada mereka.
Selain mereka berlima, semuanya mencari tempat yang nyaman juga teduh untuk tempat menghabiskan hidangan, hingga akhirnya sepakat untuk piknik di bawah pohon yang tidak begitu lebat, namun cukup teduh. Setelah perlengkapan piknik datang, alas segera digelar, nasi dan lauk yang sudah dibawa diletakkan di tengah alas. Setelahnya, kami semua duduk melingkar dengan inka dialasi kertas nasi yang sudah berada di tangan, ingin segera menikmati makanan yang tersedia. Tanpa basa-basi apa pun lagi, diambillah nasi serta lauk silih berganti.
Beberapa menit kemudian, makananku sudah tandas. Sementara yang lain masih ingin menambah. Sebab bosan hanya duduk diam, sedangkan yang lain masih menyantap makanan, aku izin pergi untuk melihat rumah kaca sendirian.
"Kak, aku ke rumah kaca, ya? Mau lihat tanaman di sana. Boleh?"
"Boleh aja, tapi jangan sendirian!"
"Tapi yang lain masih makan, kak. Aku sendiri juga gak apa, kok, kak." Aku bukannya memaksa untuk pergi sendiri, tapi yang lain memang benar masih makan.
"Aku udah selesai, kok, Sav. Ke rumah kaca, kan?" tiba-tiba suara lelaki menceletuk begitu saja.
"Nah, sama Aga aja ke sana! Jangan lama-lama!" ucap Kak Carla disela kunyahannya. "Dan kamu, jagain Savira yang benar!" lanjutnya sambil menatap tajam Kak Agatya.
Yang ditatap pun hormat bendera sambil berkata, "Siap, kak!" Terdengar optimis.
Mendengar itu, keinginanku pergi ke sana menjadi pupus. Lebih baik aku diam di sini hingga lumutan daripada harus pergi berdua saja dengannya. Tapi, tidak enak juga jika aku tiba-tiba berubah pikiran. Jadi, dengan terpaksa aku pergi ke rumah kaca yang terletak di ruas kiri (dari persimpangan masuk) berdua bersama Kak Aga.
Entah kenapa rasanya, ia sengaja sekali agar bisa berdua saja denganku. Kenapa? Jelas-jelas tadi ia masih makan dengan santai, tapi tiba-tiba saja sudah selesai saat Kak Carla menyuruhku untuk tidak pergi sendiri.
"Pasti dia mau bilang sesuatu." batinku sambil menutup mataku erat.
Tepat saat itu, sebuah tangan membawaku sedikit merapat padanya yang reflek membuatku membuka mata.
"Kalau jalan, jangan merem! Untung ada aku tadi, kalau gak pasti udah ditabrak." Ya, tangan Kak Agalah yang tadi membuatku terkejut. Namun, hal aneh langsung terjadi. Jantungku berdebar dengan tidak wajar diikuti dengan memanasnya area wajah dan telingaku.
"Ah, maaf! Tadi spontan aja." ucapnya kikuk, lalu segera menyingkirkan tangannya dari lenganku dan memalingkan muka. Aku pun juga segera menjauhkan diriku darinya dan menunduk.
Astaga! Bagaimana bisa jantungku berdebar tidak karuan seperti ini? Aku yakin wajahku sudah seperti kepiting rebus. Hah, memang sebaiknya aku tidak pergi dengannya!
Setelah insiden itu, kami saling diam. Saat sampai di rumah kaca, dirinya hanya menunggu di luar. Saat aku keluar sepuluh menit kemudian karena Kak Rere sudah menyuruhku untuk kembali, dirinya masih setia menunggu di tempat yang sama.
Dengan canggung, aku berkata, "Yuk, balik, kak! Yang lain katanya udah nunggu di mobil. Tapi, nanti ke bursa bunga dulu, ya? Aku mau beli bunga dulu."
Kak Aga hanya mengangguk sambil tersenyum lalu berjalan lebih dulu. Aku masih diam di tempat, muncul setitik rasa kecewa karena ia tidak menjawab apa-apa. Namun, aku segera menata hatiku kembali dan mengikutinya dari belakang. Kami tetap tidak berbicara apa-apa di perjalanan.
Kami berdua langsung menaiki mobil yang tadi, sudah terdapat 3 orang lainnya di dalam. Tanpa sepatah kata lagi, mobil langsung dikeluarkan dari parkiran dan mulai bergerak ke luar dari Kebun Raya dan memasuki jalanan yang ramai. Selama perjalanan, aku terus menghirup aroma bunga yang kubeli tadi. Hatiku senang sekali bisa mencium semerbak bunga mawar putih ini.
Jam 3 sore, kami pun sampai di depan galeri. Memang membutuhkan waktu satu setengah jam untuk ke sini karena terletak jauh dari Kebun Raya. Kak Carla dan rombongannya yang sudah sampai lebih dulu (karena berangkat lebih dulu) menunggu di pintu masuk. Lalu, bersama-sama kami masuk ke dalam.
Tepat menginjakkan langkah pertama di dalamnya, mata langsung menangkap berbagai bingkai foto yang tersusun memenuhi dinding. Berbagai foto lukisan tersuguh indah dengan berbagai model dari binatang, tumbuhan, maupun manusia hingga tanpa model, hanya berupa pemandangan alam. Benar-benar indah, membuat semuanya terpukau, terutama diriku karena belum pernah mengunjungi galeri sama sekali. Aku mulai mengamati satu per satu foto itu dengan saksama hingga waktu tak terasa berjalan dengan cepat.
Pukul 17.20, Kak Carla mengajak ke pantai untuk menikmati sunset. Semangatku yang belum surut dari tadi menjadi bertambah. Aku juga belum pernah melihat sunset secara langsung. Aku harus mengabadikannya, kataku dalam hati.
Kami sampai di pantai saat matahari sebentar lagi akan kembali ke peraduannya. Tanpa menunggu yang lainnya, aku berlari mendekati bibir pantai dan berdiri tepat di batas akhir air pasang. Mataku hanya fokus pada bundaran oranye yang berada jauh di sana hendak di telan lautan. Tiba-tiba aku teringat akan mengabadikannya dalam kameraku. Segera aku menjepretnya sambil tersenyum.
Tepat saat aku menurunkan kameraku, seseorang memanggil namaku lembut. Aku menoleh sekilas, lalu kembali menatap matahari di sana. Tapi sepertinya, ia tidak terima hanya mendapat respon seperti itu. Ia memegang kedua bahuku dan menghadapkan tubuhku kepadanya.
"Aku suka sama kamu. Aku sayang sama aku dan aku tahu betul kamu udah punya pacar. Tapi, izinkan aku untuk terus menyukaimu. Aku tidak akan merebutmu darinya. Tapi, aku akan selalu berusaha untuk ada di saat kamu membutuhkanku. Tenang saja, aku tidak membutuhkan jawaban apa pun darimu karena aku tahu kamu akan menolakku." Kak Aga menatap mataku dalam dan beralih menggenggam kedua tanganku erat.
Aku tidak menjawab apa-apa. Ini terlalu tiba-tiba, membuat otakku tidak bisa berpikir dengan baik. Namun, untung saja ada orang lain yang berhasil menjernihkannya kembali. Kak Rere berteriak memanggil namaku sambil berlari kencang ke arahku. Sontak aku menarik tanganku dari genggamannya dan tersenyum canggung pada Kak Rere yang sudah berada di sampingku.
"Kamu udah foto belum sunsetnya? Seingatku daritadi kamu kayaknya gak ada foto apa-apa, deh. Padahal bawa kamera." ucapnya sambil kembali membalikkan badanku menghadap lautan. Ia berdiri di antara aku dan Kak Aga.
"Ini mau foto lagi, kak. Yang lainnya mana?" tanyaku sambil mulai memfokuskan kamera pada objek di hadapanku.
"Mereka malas ke sini. Nanggung katanya, keburu mataharinya terbenam." jelas Kak Resya sambil tetap merangkulku.
Aku mendengar tanpa menjawab apa-apa karena sedang fokus menciptakan karya foto baru. Tanpa kusadari bahwa Kak Resya berbincang dengan Kak Aga tanpa suara, hanya gerak bibir.
Aku langsung menurunkan kameraku saat matahari sudah benar-benar tidak terlihat lagi. Langit yang awalnya jingga kemerahan mulai didominasi warna biru. Benar-benar indah.
"Yuk, pulang! Sunsetnya udah selesai." Kak Resya menarik tanganku paksa meninggalkan Kak Aga sendirian. Aku menurut saja, lagipula setelah matahari terbenam, pantai terlihat sedikit menyeramkan menurut sudut pandang mataku.
Setelah dari pantai, kami langsung kembali ke kedai kopi Kak Aga dan aku langsung pamit pulang. Aku teringat pada perkataan Kak Aga tadi saat di pantai. Memang ia tidak menyuruhku untuk menjawab, tapi tetap saja ini terasa membingungkan. Mungkin itu yang hendak ia katakan sedari tadi. Namun, ini tidaklah benar.