Chereads / Kisah di SMA / Chapter 30 - 27. Bertengkar

Chapter 30 - 27. Bertengkar

Setelah liburan bersama anggota klub fotografi yang bagiku berakhir dengan sangat membingungkan dan sulit dipercaya, hari ini hari pertama kembali bersekolah. Tidak terasa setahun sudah berlalu sejak aku menempuh pendidikan di sekolah ini dan sekarang aku sudah menjadi kakak kelas juga adik kelas. Di kelas sebelas ini, aku kembali sekelas dengan dua sahabatku ditambah pacarku. Astaga! Aku masih belum terbiasa memanggilnya pacarku padahal sudah berjalan setengah tahun.

Akhir-akhir ini, ia sering sekali memanggilku dengan kata "sayang", "honey", "baby", dan kata-kata panggilan sayang lainnya seperti sepasang kekasih pada umumnya. Padahal sebelumnya, ia masih memanggil namaku, seperti aku memanggil namanya. Jujur, aku sedikit risih dan juga malu ketika dia memanggilku seperti itu. Dan, aku masih merahasiakan hubungan kami dari kedua orangtuaku.

Lalu, bagaimana kabar dua sahabatku itu? Kami bertiga sudah saling berjanji bahwa di tahun ini, tidak akan banyak bermain dan akan lebih serius lagi dalam belajar. Setidaknya, sebagian besar waktu kami digunakan untuk belajar karena tahun depan nanti sudah harus mencari kuliah, entah melalui SNMPTN atau SBMPTN.

Selanjutnya, klub fotografi. Ya, aku masih tergabung di dalamnya, mengikuti kegiatannya setiap hari minggu. Aku belajar banyak dari sana dan kurasa aku telah lebih baik dibandingkan dulu. Dari sana, aku mulai mengetahui cara mengedit foto ataupun video yang baik, teknik memfoto agar terlihat indah, dan membuatku lebih mudah dalam bergaul.

Terakhir, keluargaku. Terkadang, aku masih berani untuk bercerita kepada mama tentang hal-hal yang tidak pernah kuberitahu. Tentang papa, tidak banyak ada perubahan yang mencolok. Papa masih cukup keras tentang sekolah, berbeda dengan mama yang cukup santai dengan nilai-nilaiku. Aku tak masalah dengan sikap papa yang keras karena aku sendiri juga tidak mau nilaiku jatuh. Jadi, aku masih bisa memakluminya.

Lalu, bagaimana dengan aku? Selain yang kusebutkan di atas, aku menulis sebuah cerita fiksi. Namun, tidak aku terbitkan dimanapun, hanya kunikmati sendiri. Lalu, ketika sedang dalam mood, aku mencoba menggambar apa pun itu sesuai pikiranku saat itu.

Cukup sekian bercerita tentang keadaan saat-saat ini. Kembali ke detik ini, Leon duduk di sebelahku membicarakan film yang ingin ia tonton. Sisi dan Yesi duduk di depan kami, ikut membicarakan film itu. Entahlah, aku tidak tahu mereka membicarakan film apa, katanya horor dan aku paling anti dengan hal-hal berbau horor. Sekarang, kelas sedang jam kosong alias jamkos. Sangat wajar karena ini baru hari pertama, jam pertama pula. Seluruh penghuni kelas sibuk mengobrol membuat kelas cukup bising. Sebab aku tidak tertarik mendengar mereka bertiga membicarakan hal horor itu, aku memilih untuk membaca novel yang baru saja kubeli kemarin.

Namun, baru saja aku membuka halaman pada bab pertama, Sisi tiba-tiba berseru, "Kita main truth or dare, yuk! Udah lama, nih, gak main."

"Boleh, tuh! Daripada gabut gaje." Yesi segera menyetujui dan Leon hanya mengangguk-angguk. Setelahnya, mereka menatapku tanpa berkata apa-apa lagi.

Aku membalas tatapan mereka dengan wajah masam. Sungguh, kenapa baru berkata begitu saat aku hendak membaca buku? Menyebalkan sekali.

"Ikut, ya, Sav?" bujuk Yesi sambil mengguncang-guncang tanganku yang berada di atas meja.

Aku mendengus sambil menutup novel yang belum sempat kubaca itu, lalu berkata, "Iya, ikut." jawabku dengan nada malas.

Mereka, Sisi dan Yesi sontak bersorak kecil. Lalu, Sisi mengambil spidol papan yang dibawanya dan menaruhnya tepat di tengah-tengah meja dan memutarnya kencang. Novel tadi sudah kusimpan kembali ke dalam tas agar meja lebih lapang. Sedangkan, spidol itu terus berputar hingga lajunya mulai lamban dan behenti menunjukku. Aku berdecih sedangkan dua sahabatku itu ber-yes senang.

"Truth or dare?" kata Sisi dengan wajah menyebalkan sambil menaikturunkan kedua alisnya.

"Truth." jawabku malas.

"Masa truth? Ah, pengecut!" ejek Sisi.

"Suka-suka aku, lah! Cepat! Apa truthnya?" Aku membalasnya sengit.

"Hem, apa hal paling gak masuk akal yang pernah kamu impikan?"

Aku memandang langit-langit kelas sambil mengingat, "Punya pintu kemana saja." jawabku datar yang entah kenapa membuat mereka bertiga spotan tertawa.

Aku menatap mereka bingung. Memangnya ada hal lucu dari kata-kataku? Aku memberengut kembali dan memutar bola mata malas.

"Lanjut!" ketusku, lalu memutar spidol dengan kencang yang tak lama kemudian berhenti menunjukku. Aku mengumpat dalam hati.

Tawa mereka yang baru saja reda, kembali menggelegar saat spidol itu berhenti menunjukku untuk kedua kalinya. Wajahku yang sudah masam sudah tentu semakin masam.

"Udah, udah! Kasihan, nih, pacar aku! Aku gantiin aja gimana?" ucap Leon setelah tawanya berhenti.

Aku yang sudah tidak mood berseru ketus, "Terserah! Aku gak ikut lagi. Kalian aja yang main." Aku membuka kembali novel tadi dan berusaha membacanya walau masih bersungut-sungut dalam hati.

"Aku juga gak ikut lagi, deh! Mending temenin sayang aku baca buku." Leon langsung bersandar manja pada bahuku setelahnya. Aku malas merespon, moodku belum juga membaik.

Lalu tiba-tiba terdengar suara ribut di lorong kelas. Ada beberapa murid lelaki menyoraki seorang temannya. Aku tidak dapat melihat jelas wajah orang yang disoraki karena tertutupi murid lainnya. Mereka tepat berhenti di pintu kelasku. Teman-teman sekelasku yang awalnya asik dengan urusan mereka langsung teralihkan penuh oleh mereka yang terlihat berunding di depan pintu. Aku tidak begitu tertarik memperhatikannya. Tidak mungkin juga mereka mencariku di sini. Namun, aku benar-benar salah.

"Permisi, di sini ada yang namanya Savira?" Ya, salah satu dari mereka ternyata mencariku.

Aku spontan berdiri sambil sedikit berteriak agar terdengar, "Iya, saya?"

"Ke sini sebentar, ya, dik! Ada yang mau bicara." kata lelaki tadi yang sedang melongokkan kepalanya ke dalam kelas.

Aku pergi ke ambang pintu dan melihat Kak Aga yang dikelilingi teman-temannya. Ia terlihat membawa binder kulit berwarna ungu pastel, warna kesukaanku.

"Kenapa, kak?" tanyaku berusaha tenang karena sejak insiden itu, kami tidak pernah saling bicara lagi.

"Ee... anu... ini buat kamu." suaranya terdengar gugup dan tangannya gemetar pelan.

"Sebelumnya, dalam rangka apa, ya, kak?" kataku bingung, karena sudah jelas ini bukan hadiah ulang tahun karena ulang tahunku masih 2 bulan lagi.

"Aku pernah bilang kalau kita ketemu lagi di toko buku itu, aku yang bayarin. Kemarin aku gak sengaja lihat kamu di sana, tapi kamu duluan pergi. Jadi, sebagai gantinya binder ini." jelasnya, masih dengan tangan terulur memegang binder ungu pastel itu.

Mau tidak mau, aku harus menerimanya walau alasannya terdengar aneh. Namun, saat tanganku hendak mengambil binder itu, sebuah tangan lebih dulu mengambilnya dan disusul dengan rangkulan di bahu kiriku, serta suara berat mengucapkan terima kasih.

"Makasih, ya, kak. Buku ini pasti dipakai dengan baik sama pacar aku." katanya dengan menekankan kata 'pacar aku' dan menoleh padaku dengan senyum terpaksa.

Aku yang masih diselubungi gelombang kejut hanya bisa mengangguk tanpa mengatakan apa-apa. Leon pasti tidak suka melihat ini sampai ia harus bertindak seperti itu.

Beberapa saat sebelumnya,

/Leon POV/

Savira sedang berdiri di ambang pintu, namun masih bisa terlihat olehku. Saat mendengar suara lelaki yang amat kukenal meski baru beberapa kali kudengar langsung membuatku sontak berdiri dan menghampiri Savira. Dugaanku benar. Suara lelaki itu adalah dia. Orang yang sama ketika menghantam telak pipi kananku saat itu. Ya, kakak kelas sialan itu yang kuduga memiliki rasa kepada Savira. Berani sekali dia datang ke sini untuk menemui Savira dengan rombongan teman-temannya itu.

Aku tiba di belakang Savira tepat saat Savira akan mengambil buku kulit itu. Belum sempat tangan Savira meraihnya, tangan kananku lebih dulu merampas buku itu dari tangan lelaki itu. Sedangkan, tangan kiriku merangkul bahu Savira untuk menunjukkan bahwa Savira itu milikku. Untuk memperjelas lagi, aku juga menekankan kata 'pacar aku' saat aku mengucapkan terima kasih.

Melihat sikapku yang sangat protektif, lelaki itu---aku malas menyebut namanya---hanya bisa tersenyum kikuk, lalu pamit kembali ke kelasnya. Aku baru melepas rangkulanku dan menghela napas lega saat ia dan rombongannya sudah menghilang dari pandangan.

Aku langsung berbalik, duduk di tempatku yang sebelumnya tanpa melirik Savira lagi. Aku memang merasa lega, tapi bukan berarti rasa kesalku menguap begitu saja. Aku tahu Savira mengekor di belakangku tanpa berani mengatakan apa pun. Aku yakin ia cukup peka bahwa sekarang ini aku sedang menahan amarah.

Kami duduk bersebelahan, aku di dalam dan Savira di luar, seperti tadi. Aku hanya duduk, meletakkan buku berwarna ungu pastel itu di atas meja. Pandanganku menatap ke luar jendela dengan tangan sekarang terlipat di dada, berusaha meredakan amarah dengan mengeluarkan sumpah serapah dalam hati.

"Maaf!" kata Savira pelan, namun masih bisa kudengar. Aku tidak menggubrisnya.

"Aku tahu kamu marah. Aku sendiri gak tahu kenapa dia tiba-tiba kasi binder itu. Dan, aku gak enak kalau tolaknya." sambungnya lagi.

Setelah diam beberapa saat, aku tidak tahan untuk bertanya, "Kamu tahu kalau dia suka sama kamu?" Aku mengucapkannya tanpa melihat ke arahnya.

Tapi, ia diam saja membuatku heran. Karenanya, aku akhirnya menoleh pada Savira yang menunduk. Aku bertanya lagi, "Kamu tahu?"

Savira kembali mendongak menatapku, lalu mengangguk samar, lalu menunduk lagi.

Jawabannya itu sontak membuatku kembali naik pitam. "Kalau kamu udah tahu, kenapa gak ngejauh dari dia? Kenapa dia bisa sampai kasi hadiah kayak gitu? Kamu mau kita putus?" bentakku hingga napasku terengah-engah seakan sudah berlari mengelilingi sekolah ini.

Savira masih menunduk dan kini bahunya bergetar seperti sedang menahan tangis. Yesi sudah berpindah tempat di sebelah Savira untuk menenangkannya. Sisi yang daritadi hanya menonton mulai bertindak menenangkanku, menyuruhku untuk mengecilkan volume suaraku karena sekarang seluruh isi kelas menaruh perhatian penuh padaku. Tapi, aku tidak mengacuhkannya.

"Aku mau kamu berhenti ikut klub fotografi itu. Aku gak mau kamu ketemuan terus sama dia. Ngerti? Minggir!" nada suaraku masih tinggi.

Savira berdiri dari kursinya dan memberiku jalan untuk keluar, masih dengan menangis dan Yesi merangkul bahunya. Aku keluar kelas dengan wajah berkeringat menahan emosi yang menggelegak. Aku butuh tempat untuk menenangkan diri.

/Savira POV/

Jam istirahat, aku tetap di kelas ditemani Sisi dan Yesi. Selera makanku hilang, lalu Sisi dan Yesi tidak ingin meninggalkanku sendirian di kelas. Akhirnya, kami bertiga memutuskan untuk tetap di kelas. Kami membicarakan masalah tadi.

"Jangan, dong, Sav! Kamu ikut klub itu, kan, bukan untuk ketemu sama Kak Agatya aja. Kamu bisa jaga jarak sama dia, kan?" Sisi langsung tidak menyetujui keputusanku untuk berhenti di klub fotografi.

"Bisa, sih! Tapi, percuma kalau Leon masih marah. Sebelumnya, aku udah gak kontakan lagi sama dia. Aku sendiri kaget waktu dia muncul tiba-tiba kasi binder itu."

"Ya udah, jangan berhenti! Walau dia pacar kamu, dia gak bisa larang kamu gitu aja." Yesi juga sependapat dengan Sisi.

Namun, aku masih ragu. Aku diam tidak menjawab. Aku ingin sekali tetap mengikuti klub fotografi, tapi aku takut Leon akan semakin marah padaku.

"Sav, paling Leon cuma marah aja. Makanya dia sampai bilang gitu. Aku yakin dia gak maksud buat melarang kegiatan kamu." suara Sisi melunak dan ia memegang bahuku, berusaha meyakinkanku bahwa "tidak apa-apa jika aku tetap mengikuti klub fotografi"

Ya, mungkin karena Leon sedang dikuasai amarah. Rasanya tidak apa jika aku tidak menuruti perkataannya.