Aku sudah siap berangkat menuju kedai kopi milik Kak Aga---tempat klub fotografi diadakan---hingga tiba-tiba terdengar nada dering dari ponselku yang ternyata berasal dari Leon. Ia meneleponku. Dalam hati, aku bertanya-tanya alasannya dan terjawab langsung olehnya.
"Hai, sayang! Kita jalan, yuk! Kamu gak ada janji atau acara sama yang lain, kan? Kamu juga udah berhenti ikut klubnya. Jalan, yuk! Aku jemput sekarang," katanya seperti tidak membutuhkan jawaban apa pun dariku.
Aku tertegun mendengarnya, lalu cepat-cepat menyanggah sebelum telepon itu diakhiri. "Aku udah janji sama Sisi-Yesi kemarin. Kita mau jalan bareng." Lagi-lagi aku berdalih dengan membawa nama Sisi-Yesi.
"Yaudah, aku temenin."
"Eh? Gimana, ya? Mereka bilang harus bertiga aja. Katanya mau quality time bertiga, karena kita juga udah jarang main bareng." Aku berbohong dengan lancar, walau jantungku tetap berdebar kencang.
"Kamu bohong, ya? Aku tanya Yesi dan dia bilang kalian gak ada janji untuk main." nada suaranya berubah menjadi dingin.
"Masa, sih? Perasaan kemarin Sisi ngajakin, kok. Yesi kayaknya lupa, deh!" Aku pura-pura bingung padahal sudah mulai berkeringat dingin dan berusaha untuk tenang.
Terdengar suara helaan napas di seberang sana membuat napasku terhenti sejenak. Ia kembali berkata, "Yaudah, deh! Tapi selanjutnya kamu jalan sama aku, ya? Selamat menikmati waktunya! Bye, sayang!" Setelah membalas kalimatnya, ia pun langsung mengakhiri panggilan.
Seketika aku menghela napas lega dan mengusap dahi yang berkeringat. Aku tidak pernah menyangka akan berbohong padanya, apalagi itu terjadi dengan spontan. Aku kira Leon tidak serius dengan ucapannya saat itu, tapi ternyata ia benar-benar serius. Aku tidak bisa terus-menerus menggunakan nama dua temanku itu karena ia pasti akan curiga. Tadi saja, aku hampir tertangkap basah.
Setelah menenangkan diri, aku cepat-cepat turun dari kamarku, izin pada Mama dan Papa, lalu menaiki motorku menuju tempat biasa. Selama di perjalanan aku cukup was-was, rasanya seperti ada yang mengintaiku dari kejauhan. Untung itu hanya imajinasiku saja, walau aku masih sedikit cemas.
Belum terjadi apa-apa hingga klubnya selesai. Bahkan esoknya pun masih berjalan baik-baik saja. Padahal aku sudah cemas bahwa Leon tahu aku berbohong. Di hari-hari setelahnya pun berjalan seperti biasa. Sampai kita kembali lagi pada hari Minggu di jam yang sama. Ya, hari ini aku kembali mengikuti kegiatan klub, walaupun Leon sudah nyaris berhasil memergokiku.
Tepat saat aku akan keluar menuju halaman depan, ponsel yang kugenggam bergetar dan menunjukkan nama Leon yang meneleponku. Aku membeku sekejap, tapi berusaha untuk tetap tenang. Aku menerima panggilan itu sambil membuka pintu yang memisahkan halaman depan dengan bagian dalam rumah.
"Halo? Kenapa, Leon?" Aku bertanya dengan suara sedikit gemetar. Pandanganku masih menghadap bawah.
"Kamu mau ke mana rapi gitu? Perasaan aku belum bilang apa-apa sama kamu," katanya.
Aku tersentak. Bukan karena ia tahu bahwa aku sudah berpakaian rapi seperti akan keluar, tapi karena suaranya yang tidak hanya terdengar lewat ponselku, juga terdengar dari arah gerbang. Aku langsung mendongak tepat ke arah gerbang dan mendapati Leon sedang duduk di atas motornya. Tangan kanannya memegang ponsel yang didekatkan ke telinga, tangan kirinya terlipat di dada, dan tatapannya mengarah tajam padaku yang masih terpaku.
Aku segera menyadarkan diriku dan menjauhkan ponsel dari telingaku. "Leon, kamu ngapain di sini?" Aku segera menuju gerbang untuk menemuinya.
"Minggu lalu aku udah bilang mau jalan sama kamu, kan? Kamu lupa? Harusnya aku yang nanya, kamu mau ke mana?" Ia sudah berdiri dari motornya dan berhadap-hadapan denganku.
"Harusnya bilang dulu kalau mau jemput. Nanti kalau orangtuaku lihat gimana?"
Tanpa menjawab apa-apa, ia menuntun motornya menjauhi rumahku. Aku terpaksa mengikutinya dari belakang dalam diam. Aku harus memikirkan alasan yang masuk akal agar Leon tidak curiga padaku.
Setelah cukup jauh, Leon akhirnya berhenti dan kembali berdiri menghadapku. Aku bisa melihat bahwa ia sedang menahan emosi.
"Sekarang orangtua kamu gak bisa lihat, kan? Sekarang jawab pertanyaan aku! Kamu mau ke mana?" Ia menekankan kalimat terakhir.
Mendengar suaranya yang dingin seperti itu, membuatku spontan menunduk. Aku seperti tidak sedang berhadapan dengan Leon yang kukenal. Aku bingung mengapa ia lebih sensitif akhir-akhir ini. Padahal aku sudah berusaha untuk tidak begitu mempermasalahkannya, tapi tetap saja ini sakit. Apa keputusanku salah untuk memilihnya?
"Kamu mau ke mana?" Leon mulai meninggikan suaranya.
Aku masih menunduk dan tidak menjawab karena lebih fokus untuk menguatkan diri agar tidak menangis.
"Kamu mau ke tempat klub kamu itu? Ketemu lagi sama dia? Kamu belum berhenti dari klub itu, kan? Makanya kamu gak bisa jawab. Minggu lalu kamu juga bohong, kan? Jawab!"
Aku masih diam. Tidak ada alasan untuk membantahnya saat sedang marah. Ia akan semakin menjadi-jadi jika aku membantahnya. Lagipula, kata-katanya memang benar. Kepalaku masih sempurna menunduk hingga suara motor kembali terdengar. Leon sudah menaiki motornya.
"Naik!" perintahnya tanpa menoleh ke arahku.
Mau tidak mau aku menurutinya. Kami tidak berbicara apa-apa selama di perjalanan. Aku bahkan tidak tahu akan dibawa ke mana olehnya. Aku tidak berniat untuk bertanya, pikiranku lebih penuh dengan sikap Leon yang dulu. Padahal hubungan ini belum berjalan setahun, tapi kenapa seolah-olah hubungan ini akan segera kandas?
Ternyata Leon membawaku ke kedai kopi itu. Ia menyuruhku masuk ke sana dan bilang berhenti dari klub fotografi saat motornya baru saja diparkirkan.
"Leon, aku gak mau berhenti. Aku ikut klub ini bukan untuk ketemu Kak Aga aja. Aku ketemu sama yang lainnya juga. Kenapa kamu sekarang ngelarang aku ikut ini-itu, sih?" Aku tidak langsung menuruti kata-katanya. Aku berhak menolaknya.
"Kalau kamu mau putus sama aku, silakan lakukan apa yang kamu mau," katanya dingin. Lagi-lagi tanpa menoleh ke arahku.
Aku menatapnya tak percaya. Bagaimana bisa dia mengatakan putus semudah itu? Padahal dia sendiri yang menginginkan agar aku menjadi pacarnya. Kenapa dia juga yang meminta putus?
"Oke. Aku lakuin apa yang kamu mau." Aku memilih mengalah. Hubungan ini tidak mungkin berakhir hanya karena masalah sepele seperti ini, kan?
Aku menuju ke tempat klub biasa diadakan. Sebelum masuk, aku berusaha untuk terlihat baik-baik saja, lalu kuketuk pintu dan segera masuk. Saat pintu sempurna terbuka, semua mata menuju padaku dan membuatku tersenyum kikuk.
Kak Carla yang sedang menjelaskan sebuah materi terhenti sejenak. Ia menghampiriku. "Savira tumben telat. Duduk aja langsung." Kak Carla menghampiriku dan langsung menuntunku menuju kursi.
Namun, aku segera menghentikan tindakannya. "Gak usah, kak. Aku cuma mau ngasi tahu sesuatu."
Kening Kak Carla mengerut, lalu berkata, "Tentang apa?"
"Aku kayaknya gak bisa lagi ikut klub ini, kak. Aku mau berhenti aja." kataku pelan-pelan. Tidak mudah mengatakannya.
Suasana menjadi lengang sempurna. Semua orang bungkam mendengar pernyataanku yang terdengar mustahil untuk kuucapkan. Mereka semua tahu bahwa aku menyukai bidang ini, itu terlihat jelas dari antusiasku. Pernyataan ini tentu saja membuat mereka heran. Aku hendak pamit, tapi Kak Aga lebih cepat berdiri dan berjalan ke hadapanku.
"Kamu yakin mau berhenti?" tanyanya pelan. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Ia berkata lagi, "Kenapa? Bukannya kamu senang selama ikut klub ini? Ada yang suruh kamu berhenti, ya?"
Kata-kata itu membuatku tersontak kecil. Bagaimana bisa intuisinya sekuat itu? Aku diam, bingung harus menjawab apa. Selang beberapa detik, ia melewatiku menuju pintu. Langkahnya terburu-buru. Melihat itu, aku mengejarnya, menyuruhnya untuk berhenti. Bisa terjadi masalah jika Leon bertemu dengan Kak Aga. Tentu saja tidak semudah itu menghentikannya. Kak Aga sudah lebih cepat menuju parkiran dan dengan mudah menemukan Leon yang sedang duduk di atas motor---karena memang hanya ia sendirian yang berada di area parkir. Langkahnya sudah nyaris berlari.
Tepat di dekat Leon, tinju pertama langsung melayang, namun Leon berhasil menghindarinya. Kak Aga kembali melayangkan tinju keduanya dan lagi-lagi tidak mengenai Leon karena berhasil ditahan olehnya.
"Lo mau jadi jagoan buat Savira? Lo tau, kan, kalau dia udah punya pacar? Jadi, jangan ganggu hubungan gue sama Savira!" kata Leon sinis.
"Gue gak akan ganggu kalian kalau sikap lo ke Savira baik. Lo maksa dia buat berhenti ikut klub, kan? Sebagai pacar yang 'baik', lo harusnya dukung dia, bukannya nyuruh dia berhenti." Kak Aga menarik kembali tangannya. Mereka saling menatap sinis.
Aku berusaha untuk menenangkan mereka. "Leon, kita pulang aja! Kak, aku pulang dulu, ya?" Aku memeluk lengan Leon erat.
Namun, ia justru melepasnya kasar. "Lo mau jelek-jelekin pacar lo sendiri, ya? Pakai ngadu segala ke orang ketiga. Lo beneran mau kita putus?" Leon menatap tajam padaku. Dan, aku hanya bisa diam menatap tak percaya untuk kesekian kalinya. Baru pertama kali Leon memanggilku dengan 'lo'
Tinju kembali melayang dan berhasil mengenai pipi kiri Leon. "Lo pacarnya bukan, sih! Gimana orang gak ngerebut pacar lo kalau sikap lo sendiri kayak gitu!" Kak Aga benar-benar sudah berada di puncak amarahnya.
"Ga, tenang woi! Jangan berantem di sini!" Kak Langit yang entah sejak kapan di sini mulai menahan Kak Aga yang sudah hendak meninju untuk kedua kalinya. "Sav, lo pulang aja sama pacar lo! Bisa mampus dia kalau tetap di sini."
"Maaf, kak! Aku pulang dulu, ya?"
Leon bisa dibujuk untuk pulang kali ini. Motor segala dinyalakan dan segera meninggalkan kedai kopi itu jauh di belakang ketika aku sudah naik.