Sudah lewat beberapa minggu sejak aku dan dua sahabatku berbaikan. Kami sudah bermain dan bercanda seperti biasa seakan tidak pernah terjadi masalah apa pun. Aku dan Leon pun masih dalam status pacaran yang sudah menginjak kurang lebih 2 bulan. Dan, pada hari ini di hari spesial Mama Leon, aku ikut serta dalam persiapan surprisenya. Kebetulan sekali hari ini adalah hari libur hingga memiliki lebih banyak waktu.
Jam 1 siang, aku sudah siap untuk pergi ke rumah Leon. Sebelum pergi, tentu saja aku harus izin lebih dulu dengan Mama dan Papa. Namun, aku tidak bisa berkata jujur tentang agendaku hari ini karena terang sekali Mama dan Papa tidak setuju aku berpacaran dengan Leon---kalau Papa memang tidak ingin aku pacaran. Dengan terpaksa, aku meminjam nama Sisi dan Yesi.
"Ma, Pa, Savira izin main seharian sama Sisi dan Yesi, ya? Udah lama gak main sama mereka. Boleh, ya?" Aku meminta izin kepada Mama dan Papa yang duduk di sofa sambil menonton televisi.
"Iya. Pulangnya jangan kemalaman. Kamu masih ada uang?" Papa langsung mengiyakan tanpa curiga.
"Masih, kok, Pa. Kalau gitu, aku pergi dulu, ya?" kataku sambil menyalim tangan Mama dan Papa bergantian. Lalu, aku menuju pintu dan segera menyalakan motor, kemudian melaju ke rumah Leon. Leon memang sengaja tidak menjemputku agar Mama dan Papa tidak curiga.
Seperempat jam kemudian, aku pun sampai di rumah Leon. Aku menelepon nomor Leon untuk memberitahukan bahwa aku sudah ada di depan rumahnya. Setelahnya, ia membukakan pagar rumahnya dan mempersilakanku masuk.
"Mama sama Papa udah keluar tadi. Kita mau belanja bahan-bahannya sekarang? Aku siap-siap dulu sekalian panggil Bi Asih. Kamu duduk aja dulu." Aku hanya mengangguk pelan dan Leon pun naik ke lantai dua.
Kemarin, Leon sudah memberitahukan perincian agenda hari ini. Mulai dari membeli bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat kue ulang tahun dan juga makan malam yang nanti akan dimasak. Kami juga akan membeli sebuah buket bunga dan mahkota bunga daisy putih---bunga favorit Mama Leon. Yang diakhiri dengan makan malam bersama yang ditutup dengan memakan kue. Tiba-tiba, jantungku berdebar cukup kencang hanya dengan membayangkannya saja.
Akhirnya, kami---aku, Leon, dan Bi Asih pergi membeli semua keperluan. Daftarnya sudah disiapkan kemarin. Kami berencana untuk memasak yang sederhana saja agar tidak perlu menghabiskan banyak waktu. Sebelum itu, kami pergi makan siang terlebih dahulu di salah satu restoran cepat saji---Leon yang membayar. Setelah semuanya dibeli, kami pergi ke suatu toko bunga untuk memesan sebuket bunga daisy putih dan juga mahkotanya.
Setelah dari sana, kami cepat-cepat pulang untuk memulai kegiatan masak-memasak. Aku dan Leon fokus membuat vanilla cake terlebih dahulu, sedangkan Bi Asih sudah mulai menyiapkan bumbu-bumbu dan membersihkan ayam serta udang yang nanti akan dimasak.
Tidak mudah dan tidak sulit untuk membuat vanilla cake bagiku dan Leon yang baru pertama kali membuat kue. Kami cukup mengikuti petunjuk-petunjuk yang tercantum dalam resep yang kami lihat di internet. Meski tentu saja terdapat banyak drama dalam prosesnya.
"Ih, Leon! Baking sodanya segini aja."
"Menteganya gak sebanyak itu, Leon. Sini, biar aku aja!"
"Leon! Jangan main tepung! Nanti ribet bersihinnya."
Aku terus saja berkata nyaring kepada Leon membuat suasana meja makan sangat bising. Bagaimana tidak? Leon tidak mengikuti petunjuk dalam resep dengan baik dan terus saja bercanda. Sekarang, baju dan wajahku sudah kotor dengan tepung yang dicolekkan Leon padaku, pun sama dengannya karena aku ikut membalas perbuatannya.
Setelah nada nyaringku keluar untuk sekian kalinya, Leon tiba-tiba diam mematung sambil menatapku dengan wajah cemberut. Aku balik menatapnya tanpa merasa bersalah karena sudah meneriakinya terus-menerus.
"Kamu aja, deh, yang buat kuenya sendiri. Aku bantu Bi Asih masak aja." katanya, lalu langsung berlalu ke dapur membantu Bi Asih yang sedang sibuk memasak.
"Yaudah, sana!" Aku mengiyakan saja dan mengambil alih pekerjaan itu sendiri.
Mungkin pikiranku benar-benar sedang stres hingga otakku rasanya tidak berfungsi dengan baik. Bukannya aku meminta maaf pada Leon karena sudah meneriakinya berkali-kali, aku justru diam, fokus menyelesaikan adonan vanilla cake yang hampir selesai. Leon pun juga sama, ia fokus membantu Bi Asih memasak. Sedangkan Bi Asih, ia hanya mampu geleng-geleng kepala melihat dua remaja dewasa yang sekarang diam-diaman.
Sejam kemudian, vanilla cake yang kubuat sudah siap. Aku hanya perlu mengoleskan cream yang sudah kubuat sebelumnya dan menambahkan topping keju sesuai kesepakatan sebelumnya. Leon dan Bi Asih masih belum selesai. Bi Asih terlihat sedang mencampurkan udang dengan saus pedas manisnya, sedangkah Leon sedang mengupas wortel untuk sop.
Setelah kue yang kubuat selesai, aku memasukkannya dalam lemari pendingin dan kurapikan peralatan serta bahan yang masih sisa. Lalu, aku menghampiri Leon yang masih sibuk dengan wortel yang sama.
"Sini, biar aku aja." kataku ramah padanya.
Namun, ia tidak menjawab. Hanya melirikku sekilas, lalu kembali mengupas wortel di genggamannya.
Aku menghela napas, "Leon masih marah karena aku teriak tadi, ya?" kataku dalam hati.
"Maaf! Seharusnya aku tadi gak teriak-teriak ke kamu. Janji, deh, aku gak akan teriak ke kamu lagi!" kataku lembut padanya harap-harap ia mau memaafkannya. "Aku yang kupas wortel sama kentangnya, nanti kamu yang potong. Oke?"
Leon akhirnya menyerahkan wortel dan pisaunya kepadaku tanpa mengatakan apa-apa. Ia beralih mengambil talenan dan pisau lain untuk memotong wortel serta kentang nanti, lalu kembali duduk di sebelahku, menunggu. Aku masih menatapnya cemas karena ia sama sekali tidak mau melihatku.
"Cepat kupas wortelnya! Nanti Mama duluan datang." titahnya, kali ini ia berbicara sambil menghadapku hingga tanpa sengaja kedua pandangan kami bertemu. Aku cepat-cepat mengalihkan pandanganku pada wortel di tanganku dan mulai mengupasnya. Dan Leon kembali menghadap ke depan.
Kami tidak berbicara lagi setelahnya. Aku hanya mengupas dan Leon hanya mengiris dan memotong. Aku semakin merasa bersalah padanya. Akhirnya, wortel dan kentangnya sudah bersih dari kulit. Aku mengambil talenan kecil dan lanjut memotong sosis sebagai tambahan di sop nanti.
Namun, karena pikiranku tidak fokus, pisau itu berhasil melukai telunjuk kiriku. Aku mengaduh dan spontan menghisap jariku itu. Tanpa kuduga, Leon menyadarinya. Air mukanya langsung berubah cemas dan memeriksa jariku.
Ia menggenggamnya, lalu berkata, "Tunggu, aku ambil plester luka!" Segera ia berlari ke dalam entah kemana dan kembali muncul dengan plester luka di tangannya.
Leon menempelkannya pelan-pelan di jariku yang terluka. Ia terlihat sangat berkonsentrasi. Wajahnya juga terlihat sangat cemas padahal jariku hanya teriris pisau. Tanpa sadar, aku mengulum senyum menatapnya. Padahal tadi ia enggan sekali hanya untuk menatap wajahku. Tapi sekarang? Ia benar-benar terlihat khawatir.
"Masih sakit, gak?" tanyanya sambil melihat langsung ke mataku. Tangannya masih menggenggam tanganku. Aku langsung menghapus senyumanku dan menggelengkan kepala.
"Potong sayurnya udah selesai?" celetuk Bi Asih yang tiba-tiba muncul di sebelahku.
Kami cepat-cepat langsung menarik tangan masing-masing dan menghadap ke Bi Asih yang bertanya.
"U-udah kok, Bi. Ini wortel sama kentangnya." Leon memberikan baskom yang sudah berisi potongan wortel dan kentang.
"Bi, sosisnya masih aku potongin. Nanti aku bawa ke Bi Asih."
"Baik, Non Sav. Eh, itu jarinya kenapa? Luka, ya? Yaudah, biar Bibi aja yang lanjutin."
"Gak usah, Bi. Leon aja yang lanjutin." Leon lebih dulu menjawab dan Bi Asih mengiyakan saja.
Setelah Bi Asih menjauh, aku langsung melanjutkan pekerjaanku agar Leon tidak mengambilalihnya. Namun, percuma saja. Ia tetap berniat mengambilalihnya. Katanya, nanti tanganku terluka lagi, meski sudah kuyakinkan bahwa tidak akan terjadi apa-apa lagi. Tapi, Leon tetap keras kepala membuatku harus mengalah.
"Kamu peras jeruknya aja, ya? Ini aku yang selesain. Oke?"
Aku tidak lagi membantahnya agar tidak terjadi keributan lagi. Akhirnya, aku memeras beberapa buah jeruk dan memberinya beberapa sendok gula.
Akhirnya, semuanya pun sudah siap. Menu makan malam di hari spesial ini adalah ayam kecap, udang saus pedas manis, telur balado, dan sayur sop ditemani dengan es jeruk.
Aku dan Leon segera mengganti baju dan bersiap-siap karena sudah hampir tiba waktunya. Aku memang membawa pakaian ganti agar tidak perlu pulang ke rumah lagi. Selesai bersiap-siap, kami segera menuju toko bunga yang tadi untuk mengambil pesanan.
Saat kami hendak pulang dari toko bunga itu, ponsel Leon tiba-tiba berdering. Pada layarnya tertera nama "Papa" menelepon dan segera diangkat oleh Leon. Aku menunggu di motor Leon sambil memperhatikannya dari tempatku.
Tiba-tiba, ekspresi Leon terlihat panik dan terburu-buru. Setelah panggilan berakhir, ia langsung buru-buru memakai helm dan menyalakan motornya, lalu dilajukan kencang. Aku bertanya padanya ada apa dan jawabannya ikut membuatku panik.
Untung saja saat itu belum ada tanda-tanda datang seseorang. Kami cepat-cepat menyiapkan segalanya. Kue di lemari pendingin segera dikeluarkan dan dipasangkan beberapa buah lilin yang belum menyala. Aku dibantu Bi Asih mulai membuat 5 gelas es jeruk---sebelumnya hanya jeruk peras yang diberi gula.
Tidak lama kemudian, terdengar suara gerbang dibuka diikuti suara motor. Leon menyalakan lilin-lilin di atas kue dan membawanya di tangan kanannya. Tangan kirinya membawa mahkota daisy putih. Ia sudah bersiap di depan pintu menyambut kedatangan sang Mama. Aku juga ikut berdiri di sampingnya membawa buket bunga, Bi Asih juga ikut menyambut.
Tepat saat pintu dibuka, kami langsung menyanyikan lagu 'Selamat Ulang Tahun' diiringi tepukan tangan membuat Mama Leon terlihat terkejut. Selesai lagu itu dinyanyikan, aku memberikan buket bunga itu sembari mengucap selamat ulang tahun, disusul dengan Leon yang memakaikan mahkota bunga, dan jangan lupakan Bi Asih.
"Tiup lilinnya, Ma."
"Makasih, anak Mama. Makasih, Bi. Makasih, Papa." ucapnya setelah semua lilinnya padam.
Awalnya, Mama Leon belum menyadari hadirku. Saat beliau sadar, ia langsung bertanya kepada Leon, "Ini siapa, yon? Pacar kamu?"
"Iya, Ma. Namanya Savira. Savira juga bantu siapin surprise buat Mama." Leon merangkulku dan aku hanya bisa tersenyum.
"Cantik sekali. Leon pasti beruntung sekali bisa mendapatkan hati kamu." Mama Leon membelai pipiku dengan tangan kanannya. Matanya memandang lembut padaku.
"Makasih, Tante." Itu saja yang bisa kukatakan karena saking gugupnya.
Setelah beberapa basa-basi lagi, acara dilanjutkan dengan makan malam karena memang sudah waktunya. Suasana meja makan hangat sekali. Mama Leon terlihat bersemangat sekali dan penasaran tentang diriku. Banyak sekali pertanyaan yang dilontarkan olehnya dan selalu dijawab olehku atau Leon. Papa Leon pun juga hangat kepadaku. Aku diterima dengan baik oleh keluarga Leon dan membuatku lega. Sebelumnya, aku sudah takut akan ditolak mentah-mentah. Tapi, ternyata tidak. Aku justru diterima dengan baik.
Selepas makan malam usai, kue pun mulai dipotong sebagai makanan penutup.
"Kue ini Savira sendiri, lho, yang buat, Ma. Enak, kan?" celetuk Leon di sela-sela kunyahannya yang membuatku nyaris tersedak.
"Oh, ya? Enak sekali. Pintar sekali kamu membuatnya." puji Mama Leon.
"Makasih, Tante. Leon juga bantu buat, kok, Tan."
***
Sekarang sudah jam 10 malam dan perasaanku benar-benar bahagia hingga ingin sekali aku berteriak kencang. Keluarga Leon benar-benar ramah terhadapku dan menerimaku apa adanya. Aku menjadi yakin bahwa Leon adalah orang yang tepat untukku.