Hening. Suasana di antara kami menjadi super canggung. Ia terus menatapku dengan intens membuatku sedikit takut. Aku segera mengambil kopiku dan kuminum perlahan-lahan tanpa meliriknya sedikit pun.
Lalu tiba-tiba, pintu terbuka dan menampakkan beberapa orang yang hendak masuk dengan cangkir-cangkir kopi di tangan mereka. Mereka sibuk berbicara satu sama lain dan duduk di kursi putar di depan meja panjang dekat pintu. Aku spontan berdiri dengan cangkir di tanganku. Sama halnya dengan Aga yang langsung berbalik menghadap lima orang itu yang sudah duduk.
"Eh, Aga? Sama siapa, tuh? Pacar?" goda perempuan berambut sebahu itu pada pria bernama Aga.
"Eh, bukan. Saya bukan pacar dia." Aku reflek menjawab sambil menggeleng-gelengkan kepala cepat.
"Bukan pacar. Tadi gak sengaja ketemu di toko buku sebelah. Dia jadi model gue. Namanya Savira." jelas Aga lebih baik.
Kelima orang itu memandangku lebih saksama dari atas ke bawah, berulang-ulang. Aku? Aku hanya bisa tersenyum canggung.
"Gak sengaja ketemu? Tumben lo ngajakin orang yang gak lo kenal. Cewek lagi. Jangan-jangan lo suka, ya?" Pria bersweater hitam polos beralih pada Aga.
"Apaan sih, Lang? Jangan yang aneh-aneh, deh!" Aga menjawab sambil duduk kembali di kursinya. "Duduk di sini aja, Sav. Aku kenalin mereka." sambung Aga kepadaku.
Aku langsung berjalan menuju kursi di sebelah kanannya dan duduk di sana. Kutaruh cangkir kopiku di meja depanku tanpa melepas tanganku dari cangkir.
"Ini Kak Resya, ini Kak Gauri, ini Langit, Nio, dan Haikal. Kak Resya, Kak Gauri, sama Langit satu sekolah sama aku."
"Hai, Savira. Kamu mau join klub ini gak? Seru, loh. Ketuanya juga baik." kata Kak Resya ramah.
"Gak dulu, deh, kak. Harus minta izin dulu sama orang tua." jawabku pelan.
"Kalau mau ikut, nanti aku bantu daftarin ke ketuanya. Oke?" kata Kak Resya lagi.
"Boleh, kak. Makasih, kak."
***
Pertemuan klub fotografi pun selesai. Kak Carla sebagai ketua menyambutku dengan ramah sebagai "teman" Agatya---aku tahu (lagi) namanya karena ada yang memanggilnya. Sekarang, ruangan ini sudah sepi, tersisa aku dan Agatya. Ia memintaku untuk tidak langsung pulang dulu, ingin membicarakan sesuatu katanya.
"Gimana tadi? Seru?" tanya Agatya.
"Lumayan. Kalau diizinin, mungkin aku daftar klub ini. Aku juga mau belajar fotografi."
"Sebenarnya aku baru ikut klub ini minggu lalu. Langit bilang kalau kakak sepupunya ada buat klub fotografi sendiri. Jadi, aku langsung ikut." Agatya mulai bercerita.
"Kak Carla sepupunya?"
"Iya. Klub ini gak diikutin satu sekolah aja. Nio sama Haikal contohnya. Jadi, bisa saling sharing ilmu. Kadang juga datang ke pameran fotografi. Kadang juga ikut seminar. Walaupun aku belum pernah ikut keduanya, tapi aku yakin itu seru."
Kami berdua sedang berada di balkon. Menikmati siliran dan padatnya jalanan dengan suara kendaraan sebagai melodinya.
"Coffee shop ini punya kamu?" Aku mencari topik lain.
"Bisa dibilang gitu. Aku pengin punya coffee shop dari SMP karena pernah ke kebun kopi. Aku suka aromanya, tapi gak suka minumannya, hahaha. Orang tua aku yang ngemodalin dari awal sampai nyari karyawan dan aku yang ngejalanin coffee shopnya."
Aku hanya ber-oh ria. Tidak tertarik untuk bertanya lebih lanjut lagi, meski aku punya beberapa pertanyaan. Mungkin tidak hari ini.
"Aku pulang dulu, ya? Udah siang." Aku pamit padanya.
"Oke. Kalau mau beli kopi lagi, beli di sini aja. Nanti aku kasi diskon buat kamu." Ia tersenyum.
"Iya, kapan-kapan. Aku pergi dulu. Bye."
Aku pun turun ke bawah dan segera keluar dari kedai kopi itu. Kurasa aku akan sering ke sini untuk membeli kopi atau sekadar membaca buku yang ada di rak sana. Lagipula, kedai ini bersebelahan dengan toko buku yang sering kukunjungi.
***
Hari ini, aku sudah bersekolah lagi. Aku segera menuju ke kelasku dan menaruh tasku di bangkuku di semester sebelumnya. Lalu menghampiri Sisi dan Yesi yang sedang membicarakan sesuatu yang ada di ponsel Sisi. Mereka terlihat serius sekali.
"Hei! Ngobrolin apa, sih? Serius banget." Aku memutar kursi kosong yang ada di hadapan mereka dan duduk di sana.
"Sav, kamu udah liat storynya Vio pagi tadi belum?" tanya Sisi antusias.
Aku menaikkan sebelah alisku, "Belum. Memang kenapa?"
"Nih, lihat! Dia ngebicarain Leon bukan, sih?" Sisi berkata sambil menyodorkan ponselnya padaku.
Aku mengambilnya dan segera melihat layar ponsel Sisi. Di sana terpampang jelas akun media sosial milik Vio dan storynya yang berlatarkan hitam. "I have a boyfriend, but I feel like I don't have him". Begitulah isi tulisan kecil berwarna putih yang ada di pojok kanan bawah. Aku menatap dua sahabat yang ada di depanku bergantian.
"Kalau yang dimaksud benar Leon, artinya hubungan mereka selama ini gak baik?" Aku pun angkat bicara. Ponsel Sisi masih berada di genggamanku.
"Bisa jadi. Mungkin aja mereka putus gak lama lagi." Yesi berpendapat.
"Coba kalian perhatiin waktu upload storynya. Enam jam yang lalu. Sekarang jam tujuh, berarti jam satu dia upload story ini. Mungkin gak sih kalau Vio insom gara-gara ini?" Sisi berspekulasi membuat teorinya sendiri. Ponsel miliknya sudah kembali di tangannya.
Aku tidak menjawab, begitu pun Yesi. Sedangkan, Sisi masih sibuk dengan ponselnya. Sibuk men-tap dan meng-scroll layar ponselnya.
"Astaga! Lihat!" Sisi tiba-tiba berdiri sambil berteriak kencang membuat terkejut dan menarik semua pandangan ke arahnya (kami).
Yesi menarik sebelah lengan Sisi, menyuruhnya duduk kembali sambil berbisik, "Duduk, Si! Gak usah teriak-teriak juga." Sisi menurut dan kembali duduk.
"Ada apa lagi? Kamu kayaknya kaget banget." kataku heran.
"Vio upload story lagi. Tulisannya "Now we are done. Broken heart" Mereka udah putus."
Tepat saat Sisi mengakhiri perkataannya, suara berat seorang lelaki memanggil namaku dari depan kelas. Suara yang sudah lama tidak kudengar. Aku menoleh ke arah pintu dan mendapati dirinya. Iya, Leon. Ia masuk ke dalam menghampiriku, lalu menarik tanganku untuk ikut dengannya. Yesi yang ingin menyusulku ditahan oleh Sisi yang mencekal pergelangan tangan Yesi sambil menggeleng pelan. Sedangkan, aku sudah dibawa pergi oleh Leon. Ia berjalan dengan cepat sehingga aku harus mengimbanginya. Aku hanya menurut karena masih bingung dengan situasinya. Semuanya terlalu cepat dan otakku masih memprosesnya.
Tanpa diduga, ada dua manusia lainnya yang memperhatikan Leon dan Savira yang sedang terburu-buru. Dua manusia itu pun mengikuti mereka secara diam-diam dengan pikiran yang terus menerka-nerka berbagai macam kemungkinan. Hingga sampailah mereka di depan gudang yang sepi. Savira dan Leon yang berhadap-hadapan tepat di depan gudang dan dua manusia lainnya yang bersembunyi di balik gedung itu dan berusaha menguping percakapan perempuan yang disukainya dengan lelaki tak dikenalnya.
"Ada apa?" tanyaku dingin. Meski aku belum begitu paham situasi saat ini, tapi aku paham hal apa yang sudah terjadi sebelumnya.
"Aku udah putus sama Vio." kata Leon senang sambil menggenggam erat kedua tanganku.
"Kapan? Tadi pagi? Siapa yang mutusin?" Aku masih menatapnya datar. Ini masih belum jelas, belum saatnya untuk tersenyum lagi kepadanya.
"Iya. Vio sendiri yang mutusin aku tadi pagi di kelas. Sekarang kita bisa sama-sama lagi kayak dulu." Leon menatapku dalam.
Aku melepas genggaman Leon di tanganku, "Kasi aku waktu untuk mikir." kataku pelan.
"Perlu mikir apa lagi, Sav? Kamu mau mikir apa lagi?" ucap Leon tak terima.
"Kamu baru putus sama Vio. Terus kamu langsung pacaran sama aku. Kamu mau orang-orang anggap aku pelakor? Itu yang kamu mau?" kataku masih dalam nada yang terkendali.
"Aku gak peduli kata mereka. Aku pedulinya sama kamu. Mereka gak tahu kejadian yang sebenarnya. Persetan sama omongan orang. Aku maunya sama kamu." Leon meninggikan nada suaranya dan memegang erat kedua bahuku.
Aku diam menatapnya tidak percaya. Ini berbeda jauh dengan ekspetaksiku. Inikah Leon yang dulu selalu lemah lembut kepadaku? Tanpa kusadari air mataku jatuh ke pipiku. Lalu, entah bagaimana, sebuah tinju menghantam pipi kanan Leon dengan telak yang menyebabkan Leon tersungkur. Aku spontan mundur beberapa langkah setelah genggaman Leon lepas dari bahuku. Pertengkaran di antara dua pria itu pun terjadi disertai dengan umpatan dari mulut keduanya. Aku hanya menunduk, masih terguncang.
"Lo siapa brengsek?!" umpat Leon sambil membalas pukulan pria yang tadi memukulnya.
"Lo yang siapa?! Berani banget lho bikin Savira nangis! Cuman cowok brengsek yang berani bikin cewek nangis!" balas pria itu.
Kegiatan pukul-memukul terus terjadi sampai pria lainnya melerai mereka. Keadaan keduanya sama-sama tidak baik. Seragam mereka berantakan, sudut bibirnya berdarah, keringat ada di sekujur tubuh, dan napas yang tak beraturan.
"Awas kalau gue liat lo bikin Savira nangis lagi! Habis lo sama gue." ancam pria itu. "Ikut sama aku, ya, Sav?" Pria itu berkata lembut sambil menarik pelan tanganku menjauh dari sana diikuti pria lainnya.
"Sialan lo!" umpat Leon melihat dua pria itu membawa kekasihnya pergi.
Dalam benaknya, ia bertanya-tanya. Siapa lelaki itu? Darimana ia mengenal Savira? Apa ia pacar barunya? Leon hanya bisa menerka-nerka tanpa jawaban.
Sementara itu, aku didudukkan di kursi kayu setelah cukup jauh dari gudang tadi. Tempat ini masih sepi. Di depanku, seorang lelaki berlutut di hadapanku sambil terus mengusap punggung tanganku. Dan lelaki lainnya berdiri tak jauh dariku.
"Kamu gapapa, kan, Sav?" tanyanya lembut sekali.
"Gapapa, kok." Aku yang sedari tadi terus menunduk akhirnya berani untuk mendongakkan kepala. "Agatya?" kataku pelan tak percaya.
"Panggil 'kak'! Aku kakak kelasmu. Aku gak nyangka kita satu sekolah." katanya lagi masih dengan nada lembut.
Aku langsung melirik dasi yang dipakai oleh Agatya. Di sana terdapat dua garis kuning yang menandakan ia kelas 11. Begitulah cara membedakan setiap angkatan. Aku kembali menatap wajahnya dan baru kusadari ada luka di sudut bibirnya. Pasti karena bertengkar dengan Leon tadi.
"Bibir kakak gapapa? Pasti sakit, ya? Obatin dulu, yuk, kak!" Tanganku sudah terjulur dan hampir menyentuh permukaan kulit Kak Agatya, tapi...
"Ekhem... Sav, lebih baik lo ke kelas dulu, deh. Tenangin diri lo! Sebentar lagi juga bel. Biar gue yang urus Agatya." kata Kak Langit seakan mengusirku.
"Tapi, aku gak enak, kak."
"Udah, gapapa. Dia udah biasa luka-luka kecil gitu. Gue aja yang urus bocah satu ini." Kak Langit tetap membujukku untuk pergi.
"Beneran gapapa, kak? Kalau gitu, aku ke kelas dulu, deh, kak. Makasih, kak." Aku akhirnya memutuskan untuk pergi.
-------------
Leon ada pesaing baru yang cukup berat, nih! Kira-kira, dia bakal bisa bikin Savira kembali lagi padanya atau engga? Atau justru Agatya yang berhasil mendapatkan hati seorang Savira?
Kalau kalian di tim siapa?
Tim Leon atau Tim Agatya
Pilih di comment ya
See you