Aku tidak menjawab. Aku justru menangis tanpa suara. Perhatian dari Mama saat ini sudah tak bisa kuingat kapan terakhir kalinya seperti ini. Rasanya hangat. Hangat sekali.
Aku akhirnya menceritakan semuanya yang sudah terjadi padaku dan Leon. Benar-benar semuanya. Saat sudah sampai di penghujung cerita, Mama tidak berkata apa-apa. Hanya menepuk pelan pundakku terus-menerus untuk menenangkanku yang masih menangis tersedu-sedu. Mungkin Mama bingung harus menjawab apa karena terdengar pelik. Setidaknya, menurutku pelik.
Tangisanku mulai mereda saat Mama akhirnya mulai bicara lagi, "Patah hati memang selalu sakit, sayang. Apalagi untuk pertama kalinya. Tapi, Mama yakin yang terbaik akan muncul pada waktu yang tepat. Sekarang, kamu coba lupakan dia dan fokus sama impian kamu. Oke?" Aku mengangguk pelan sebagai jawaban.
"Kalau misalkan dia kembali lagi ke kamu dan mau menjelaskan sesuatu, lebih baik kamu dengar dulu. Mungkin aja yang kamu lihat di sana cuma salah paham. Setelah kamu dengar, kamu boleh cerita ke Mama dan kita pertimbangkan sama-sama." lanjut Mama sambil mengelus puncak kepalaku.
***
3 Januari
Hari ini hari terakhir libur semester. Besok sudah mulai kembali bersekolah. Jadi, kuputuskan untuk mengunjungi toko buku dan berjalan-jalan sendirian setelah hampir 2 minggu tidak keluar rumah. Memang selama liburan, aku hanya berdiam diri di rumah. Malas saja pergi keluar bersama teman-teman. Lagipula, sudah lama aku tidak me-time dan menghabiskan waktu bersama keluarga, walau hanya di rumah.
Pagi ini, aku pergi ke toko buku sendirian dengan menaiki motorku. Rencananya aku akan melengkapi serial misteri favoritku. Sudah ada 6 buku yang terbit di Indonesia, jumlah yang sama dengan negara asal penulisnya, Jepang. Aku baru memiliki 3 bukunya saja dan akan membeli satu lagi untuk sementara ini.
Setengah jam kemudian, aku sampai di sana. Kuparkirkan motorku, memasuki bangunan itu perlahan dan mengamatinya sejenak. Aku rindu dengan tempat ini. Pemandangan berbagai macam buku yang tersusun rapi di setiap rak-rak yang ada sesuai dengan kategorinya, pemandangan yang sudah lama tidak kulihat. Cukup dulu untuk mengamatinya, sekarang waktunya untuk mencari buku yang akan kubeli. Aku hampir lupa tempat-tempatnya karena sudah beberapa bulan tidak kemari karena sebelumnya aku sudah terlanjur membeli banyak buku saat diskon besar-besaran beberapa bulan lalu. Jadi, aku harus membaca semuanya terlebih dahulu sebelum membeli lagi. Juga karena uang tabunganku sudah habis.
Akhirnya aku menemukan rak yang kucari-cari dan melihat-lihat buku-buku yang ada di rak itu. Dari kiri ke kanan, dari atas ke bawah, dari kanan ke kiri, dan dari bawah ke atas, tidak kunjung kutemukan juga buku itu. Buku kelima dan keenam juga tidak ada di sana. Aku menghela napas. Baiklah, lebih baik aku mencari buku lain saja. Aku menuju rak 'best seller' dan mencoba membaca salah satunya. Kubuka pada bab pertama dan membacanya sambil berdiri di tempat. Halaman demi halaman kubalik dengan mata yang tak berhenti bergerak membaca setiap kata yang tertulis di dalamnya. Hingga akhirnya, tepat saat aku membalikkan ke halaman selanjutnya, aku mendengar suara kamera yang sedang memotret di sebelah kiriku. Aku cepat-cepat menoleh ke sebelah kiriku dan benar saja. Seseorang berdiri dengan kemeja kotak-kotak biru-hitam yang lengannya dilipat hingga siku sedang memotret ke arahku dengan kamera digital di tangannya. Sekarang, ia sedang melihat hasil potretnya dengan tersenyum.
"Apa yang kau lakukan?" kataku sedikit keras, cukup membuatnya langsung mengangkat kepala.
"Ah, maafkan aku karena memotretmu diam-diam! Aku Agatya. Aku sedang belajar memotret dan membutuhkan model. Maukah kamu menjadi modelku?" ucapnya memperkenalkan diri dengan santai.
Aku mengernyitkan dahi. Apa-apaan dia? Sok kenal sok dekat sekali. Apa dia pikir karena dirinya tampan---dan harus kuakui dia memang tampan---jadi dia pikir aku akan menerima tawarannya itu dengan mudahnya? Apa dia sudah gila?
"Maksudnya gimana?" Aku akhirnya membuka suara setelah diam beberapa saat.
"Apa kataku menyinggungmu? Maaf kalau aku terdengar lancang. Tenang saja, aku bukan orang jahat. Sebenarnya aku hanya ingin mencari spot yang bagus untuk fotoku nanti, tanpa model. Tapi, kurasa ada yang kurang jika hanya begitu. Jadi, maukah kamu menjadi modelku? Kalau kamu meminta bayaran, aku bisa membayarmu." jelasnya panjang lebar.
"Lalu, fotoku nanti akan kau kemana kan?" tanyaku dengan intonasi tajam. Aku masih tidak bisa percaya dengan tampang polosnya yang memakai kacamata bundar itu.
"Aku hanya akan menunjukkan fotonya kepada guru pembimbingku. Aku baru mengikuti klub fotografi dan kami disuruh memotret sesuatu sebelum teorinya diberikan. Kalau kamu tidak percaya, kamu bisa ikut aku nanti saat klubnya." tuturnya lagi.
Aku menatap tajam padanya, menyelidikinya dari atas hingga bawah. Yang kutatap justru tersenyum tipis. Ya, sepertinya dia memang tidak berniat buruk.
Aku menghela napas. "Baiklah. Aku harus bagaimana sekarang?" kataku.
"Terima kasih. Kamu cukup seperti tadi saja." katanya memberi arahan.
Aku menurut saja dan menyerahkan pada orang yang lebih mengerti. Aku kembali membuka buku yang kuambil sebelum pria berkacamata ini memotretku diam-diam. Aku melanjutkan bacaanku yang sempat tertunda tadi. Sedangkan, dia sibuk memotretku beberapa kali hingga akhirnya dia berkata selesai.
"Kamu mau melihat hasilnya?" katanya sambil mendekat kepadaku.
Aku menjauhkan buku yang kubaca dan melihat ke kamera yang dibawanya. Hasil fotonya tidak buruk.
"Bagus. Lalu kapan klub fotografimu itu dimulai?" tanyaku datar.
Dia tertawa kecil, "Kamu ternyata tipe orang yang to the point. Jam sebelas nanti di dekat sini."
Aku melihat jam tanganku di pergelangan tangan kiriku. Sekarang masih pukul sepuluh. Itu artinya sejam lagi. Aku berdecih pelan. Harusnya aku menolak saja menjadi modelnya. Waktu me-timeku dirusak oleh pria tak dikenal yang sangat sok asik. Sangat menyebalkan.
"Oh, ya, namamu siapa? Tadi kamu belum memperkenalkan diri." Ia berkata seperti tidak ada apa-apa sebelumnya.
Aku mendongak menatapnya tanpa ekspresi, "Panggil aja Savira."
Lalu aku duduk di bangku yang ada di dekat sana. Membaca buku yang sedari tadi kupegang. Tidak heran buku ini bisa masuk dalam jajaran best seller. Alurnya benar-benar menarik dan gaya bahasa yang berhasil membuat pembaca ikut masuk dalam dunia imajinasi penulis. Buku yang benar-benar bagus. Aku harus membelinya. Tanpa kusadari, ada sepasang mata yang memandangku dengan senyum yang terulas di bibirnya. Sepertinya, orang itu sedang mengalami C3P, Cinta Pada Pandangan Pertama.
Orang itu mendekat ke arah perempuan yang sedang duduk membaca sebuah buku yang membuatnya terkesima. Orang itu pun duduk di sebelahnya dan bersuara, "Mau kubelikan? Anggap saja sebagai ucapan terima kasih karena sudah bersedia menjadi modelku." katanya pelan.
Aku meliriknya, lalu kembali fokus pada buku di depanku. "Tidak perlu. Aku bisa bayar sendiri."
"Baiklah. Kalau kita ketemu lagi di sini, aku yang bayarin buku kamu." katanya.
Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Isi buku ini lebih menarik daripada wajahnya. Tanpa kusadari, sudah pukul 10.45. Buku yang kubaca sudah habis hingga halaman paling belakang. Saat itulah pria berkacamata bundar itu mengajakku ikut bersamanya.
"Udah selesai bacanya? Ayo!" katanya sambil bangkit dari bangku.
"Mau ke mana?" tanyaku polos.
Dia menyeringai, "Kamu ternyata pelupa juga. Katanya mau ikut aku ke klub fotografi. Masih mau ikut?" Dia berkata seolah-olah aku ini masih kecil.
"Iya, iya, ikut." kataku malas. Aku menuju kasir dengan membawa buku di tanganku untuk melakukan transaksi.
Setelah itu, kami keluar beriringan. Aku berjalan menuju tempatku memarkirkan motor dan dia terus saja mengikutiku. Kami saling diam hingga aku sampai pada motorku. Dia? Dia terus saja memandangku dengan senyum tipis di bibirnya.
"Kamu mau nebeng?" tanyaku sekali. Dia bergeming.
Aku melambaikan tanganku di depan wajahnya. Ia tiba-tiba tersentak membuatku sedikit terkejut.
"E-eh? Ke-Kenapa?" ucapnya bingung.
"Tempatnya di mana?"
"Dekat kok. Aku aja yang bawa motornya."
"Emang kamu gak bawa motor?"
Dia menggeleng, lalu merampas kunci motor di tanganku. Segera ia menghidupkan motorku, memberikan helmku yang tadi tergantung di spion kepadaku, dan menyuruhku naik.
Astaga! Seenaknya sekali dia. Sudah tadi memotretku diam-diam. Menyuruhku menjadi modelnya---walaupun memang sudah kusetujui---lalu sekarang? Mengendarai motorku seenaknya. Bahkan aku belum mengizinkannya melakukan itu. Jangan sampai ada pertemuan kedua dengan pria aneh ini.
Pada akhirnya, aku tetap digoncengi olehnya. Kukira jaraknya tidak akan sedekat ini. Ternyata tempat klub fotografi itu tepat berada di sebelah toko buku tadi. Ini seperti kedai kopi yang umum dikunjungi banyak orang. Kukira tempatnya akan lebih khusus dan hanya diperbolehkan untuk orang-orang tertentu. Ternyata tidak, atau iya?
"Yuk masuk! Tempatnya di atas, bukan di bawahnya. Kamu kalau mau beli sesuatu di sini, beli aja dulu. Aku langsung ke atas, nanti susul aja." katanya.
Kami masih berada di parkiran hingga akhirnya kami pun masuk ke dalam. Aku memesan secangkir mochacino. Pria itu---aku lupa namanya---tidak menyukai kopi. Begitulah katanya tadi saat aku menawarkannya untuk membeli kopi. Ia sudah berada di atas sekarang. Dan di sini cukup ramai. Ada yang sedang sibuk berkutat di depan laptop, ada yang sibuk dengan buku bacaan mereka, ada juga yang sibuk mencatat entah apa itu, dan lainnya. Mereka sama-sama ditemani oleh kopi, sesuai untuk mengatasi kantuk yang datang di tengah kegiatan.
Setelah pesananku selesai, aku duduk di salah satu meja dekat tangga. Aku sengaja tidak langsung pergi ke atas karena pasti sudah ramai. Pasti akan canggung jika aku masuk ke sana. Lebih baik aku menghabiskan kopiku dulu.
"Kenapa duduk di sini? Ayo, ke atas! Masa aku sendirian di atas?" Ia menghampiriku yang sedang duduk manis dengan secangkir kopi di depanku.
"Nanti aja. Kalau kopiku udah habis, nanti aku susul." Aku menjawab.
"Sekarang aja." Ia mengambil cangkir kopiku dan langsung menuju tangga sebelum sempat kucegah.
Ia melangkah santai sambil membawa cangkir kopiku di tangannya. Mau tidak mau aku mengikutinya dari belakang. Aku tidak berani merebut cangkirku dari tangannya. Takut isinya tumpah.
Saat sampai di atas, ia menaruh cangkirku di meja dan beranjak ke kursi di seberangnya. Sedangkan, aku duduk di kursi dekat meja tempat cangkir kopiku. Hening. Suasana di antara kami menjadi super canggung. Ia terus menatapku dengan intens membuatku sedikit takut. Aku segera mengambil kopiku dan kuminum perlahan-lahan tanpa meliriknya sedikit pun.
--------
Halo, semua!
Akhirnya saya bisa update bab baru lagi setelah sebulan lebih tidak ada kabar. Maaf sudah membuat kalian menunggu lama. Semoga kalian bisa selalu menikmati cerita ini ^_^
Terima kasih bagi yang sudah membaca :)