14 Desember
Hari ini pengambilan rapot. Bukan orangtua yang mengambilnya, tapi siswanya sendiri. Maka, di sinilah aku. Duduk di salah satu bangku di kelasku, berdekatan dengan Sisi dan Yesi. Kami bertiga sudah pasti tidak mendapat 5 besar dan hal itu sudah dibuktikan sekarang ini. Wali kelas kami sudah mengumumkannya tadi. Sisa peringkatnya tidak diumumkan, memang sengaja dirahasiakan. Sisa rapotnya dibagikan sesuai absen. Sedangkan, absen kami bertiga berada di akhir dan berurutan. Aku absen 40, Sisi absen 41, dan Yesi absen 42. Masih lama hingga nama kami dipanggil.
"Kamu pasti masuk 10 besar. Kamu kan pintar." ucap Sisi kepadaku, lalu menghela napas. Yesi mengangguk dan aku menggeleng.
"Kayaknya gak masuk 10 besar, deh. Nilaiku pas-pasan semua. Kalau 20 besar pasti masuk, sih." Aku tidak yakin bisa masuk 10 besar. Apalagi dengan nilaiku yang pas-pasan, kurasa tidak mungkin.
"Ah, masa, sih? Pertama kali dapat, harus lihat catatan dari gurunya." kata Yesi.
Kami dapat bocoran dari OSIS di kelas kami bahwa ada suatu cara untuk menentukan peringkat kita di kelas. Itu dapat dilihat dari catatan yang diberikan guru. Terdapat 4 kalimat yang mewakili peringkat.
"Pertahankanlah prestasimu" untuk peringkat 1-10.
"Tingkatkan lagi prestasimu" untuk peringkat 11-20
"Tingkatkan cara dan waktu belajarmu" untuk peringkat 21-30
"Tingkatkan motivasi belajar dan bimbingan ortu" untuk peringkat 31 ke bawah
Dengan 4 kalimat itu, kami bisa tahu peringkat kami, meski tidak spesifik. Hingga akhirnya, tiba giliran namaku dipanggil, lalu Sisi dan Yesi. Kami belum membuka hasil rapotnya.
"Silakan kalian lihat dan evaluasi sendiri hasil dari pembelajaran semester 1 kalian! Untuk semester depan, Ibu harap nilai kalian mengalami kemajuan. Setelah ini acara bebas dan kalian boleh pulang." ucap wali kelas kami mengakhiri agenda hari ini.
Tepat saat beliau keluar dari kelas, serempak kami membuka rapot yang ada di hadapan kami. Mencari halaman terakhir dan membaca tulisan yang ada di kolom kedua terakhir.
"Tingkatkan lagi prestasimu." gumam kami dengan kompak. Saling tatap beberapa detik, lalu "Yes! 20 besar."
Ya, tidak terlalu mengecewakan. Sudah kuduga aku tidak bisa mencapai 10 besar. Bukan hal mudah untuk mendapat 10 besar di kelas. Tapi, kurasa ini saja sudah cukup. Mungkin.
***
Setelah selesai melihat sekilas nilai keseluruhan mata pelajaran, tidak begitu buruk. Semua nilainya di atas standar minimum. Lalu, kami memutuskan untuk ke taman kota. Namun, sebelum ke sana, kami pulang ke rumah untuk mengganti seragam. Sisi bilang bahwa agar lebih nyaman dan leluasa bergerak. Kalau memakai rok SMA, jarak langkah kaki menjadi terbatas. Ada benarnya, jadi kami pulang terlebih dahulu dan berkumpul kembali di rumahku.
"Mama, aku pulang." teriakku saat memasuki ruang tamu.
Mama masih di dapur, sibuk memasak. Ini memang masih pukul 8 pagi. Aku bahkan belum sarapan karena terburu-buru ke sekolah. Katanya tidak boleh telat hari ini dan jika telat rapot akan ditahan. Peraturan yang menyebalkan. Padahal hanya terima rapot yang tidak sampai 2 jam.
Aku duduk di meja makan, masih dengan seragam. Mama sepertinya tidak menyadari kehadiranku di rumah ini. Lalu, saat Mama akan meletakkan makanannya di meja makan dan melihatku duduk, ia terperanjat.
"Astaga, Savira! Kalau pulang, salam dong! Bikin Mama kaget aja." omel Mama kepadaku sambil meletakkan makanan di meja.
"Udah, kok. Mama aja yang gak dengar." jawabku membela diri.
"Kamu ganti baju dulu sana, baru sarapan. Sebentar lagi makanannya selesai." Mama menyuruhku dan aku mengangguk.
Aku menuju kamarku dan mengganti seragam. Lalu, segera turun ke bawah. Sampai di meja makan, hidangan terakhir sudah disajikan. Aku dan Mama sarapan bersama.
"Rapot kamu gimana?"
"Lumayan, kok, Ma. Cuma gak dapat 10 besar."
"Padahal waktu SD, kamu selalu 5 besar. Waktu SMP turun jadi 10 besar. Sekarang SMA turun lagi. Teman sekelasmu pintar-pintar semua?" Mama heran dengan peringkatku yang selalu turun seiring naiknya jenjang.
"Lumayan pintar-pintar semua, sih, Ma. Ini rapotnya." kataku sambil mengulurkan rapot yang kubawa sejak turun.
"Nanti aja waktu sama Papamu. Mama gak tahu lagi harus ngebela kamu kayak gimana. Kalau ini karena Leon, lebih baik kamu jauhi dia."
"Ma, Savira udah gak ada hubungan sama Leon. Dia udah pacaran sama orang lain. Jangan bahas Leon lagi, deh, Ma!" ucapku kesal. Aku memang belum memberi tahu Mama tentang Leon lagi.
Mama terkejut, "Sejak kapan? Kenapa kamu gak pernah cerita sama Mama?"
"Sebulanan yang lalu. Udah gak penting lagi, Ma. Habis ini Savira mau ke taman sama Sisi-Yesi."
Mama menghela napas, lalu mengangguk. Mama berdiri dari kursi untuk mencuci piringnya, "Kalau kamu ada masalah, cerita aja sama Mama. Gak usah takut." Aku hanya mengangguk pelan, melanjutkan makanku.
Lalu tiba-tiba, bel motor berbunyi beberapa kali di depan rumahku. Mungkin itu Sisi dan Yesi. Baru saja aku hendak beranjak dari kursi, Mama menyuruhku untuk lanjut makan. Wajah Mama terlihat datar, tidak biasanya. Aku cepat-cepat menyelesaikan makanku dan mencuci piring. Segera menuju ke depan pintu.
"Savira gak bisa pergi dulu, ya? Savira ada acara keluarga dadakan, jadi harus ikut sama tante."
Sisi dan Yesi saling tatap sejenak, "Kalau gitu, saya sama Yesi pulang aja, deh, tante. Titip salam ke Savira, tante." kata Sisi pamit pulang.
Aku diam di balik pilar mengamati keadaan di luar. Sebenarnya, Mama kenapa? Apa aku ada salah ngomong sama Mama? Mama menutup pintu pelan. Aku segera duduk di sofa ruang tamu, menunggu Mama.
"Tadi Sisi sama Yesi, ya? Kenapa, Ma?"
"Mama mau bicara berdua sama kamu, sebelum Papa pulang. Mama tahu kamu banyak nyembunyiin masalah kamu. Nangis sendirian di kamar sampai mata kamu sembap. Tapi, Mama cuma diam karena ngira kamu bakal cerita sama Mama suatu saat nanti. Ternyata, Mama salah. Kamu gak pernah ceritain masalah kamu ke Mama. Sekarang, Mama boleh dengar cerita kamu?" Mama duduk di sebelahku, merangkul bahuku.
Aku tidak menjawab. Aku justru menangis. Perhatian dari Mama saat ini sudah tak bisa kuingat kapan terakhir kalinya seperti ini. Rasanya hangat. Hangat sekali. Biarkan sebentar saja aku seperti ini. Menangis tanpa perlu merasa ketakutan akan dilihat atau diketahui oleh orang lain. Menangis dalam pelukan seseorang. Tidak perlu berpura-pura kuat lagi.
"Mama senang punya anak yang kuat seperti kamu. Mama gak tahu seberapa banyak kesedihan yang kamu simpan sendirian, seberapa banyak air mata yang jatuh dari mata kamu. Mama minta maaf karena gak bisa banyak bantu kamu."
Aku tidak mendengar jelas perkataan Mama. Tangisanku semakin menjadi-jadi. Air mataku tidak henti-hentinya keluar, tak bisa kuhentikan. Mama berbisik lirih kepadaku, "Keluarkan saja."