Halo semuanya! Aisy kembali lagi setelah dua minggu hiatus. Semoga bab minggu ini bisa menghibur kalian semua ^_^
Selamat membaca~
--------
Yesi langsung memesan Oreo Mini Ice Cream Cake. Sisi membeli Banana Split. Aku membeli Chocolate Parfait. Sambil menunggu es krim itu datang, aku semangat menghabiskan nasi goreng yang tersisa 3 sendok itu. Sisi dan Yesi pun sibuk menghabiskan kentang goreng mereka.
***
"Rasanya sudah lama tidak melihatmu semangat seperti ini." kata Sisi di sela-sela kunyahan kentang gorengnya yang terakhir.
"Itu karena aku hampir tidak pernah makan es krim lagi." jawabku bersemangat.
"Seorang Savira Sokka tidak pernah makan es krim lagi? Bahkan di hari-hari menyedihkan ini? Jangan bercanda!" kata Sisi heran.
Ya, wajar saja. Mana pernah seorang Savira Sokka tidak memakan es krim saat dirinya lagi bersedih. Suatu hal yang hampir mustahil. Tentu saja ada alasan kuat dibalik itu. Setiap kali Savira ingin membeli es krim kotakan 3 in 1 (karena di rumahnya sudah habis), ia selalu teringat Leon. Ia mengingat saat Leon memberinya sekotak es krim dengan 3 rasa. Bukannya bahagia, ia kembali menjadi murung seperti sedia kala.
Aku hanya mengedikkan bahu. Kurasa tidak perlu memberi tahu alasan dibalik itu semua kepada mereka. Selain itu, aku juga tidak ingin membahas lelaki itu. Aku tidak ingin menangis lagi demi seorang lelaki yang sudah bahagia bersama pacarnya. Aku mau bisa berhenti memikirkannya dan mulai menjalani hidup sebagaimana mestinya seperti saat sebelum pertemuan kami berdua. Tapi, bagaimana caranya? Lalu, tiba-tiba saja, sebuah ide gila melintas begitu saja di kepalaku. Sebuah ide yang tak pernah kupikirkan sebelumnya, dan menurutku itu ide gila.
"Apa kalian punya kenalan cowok? Bisa kenalkan padaku?" tanyaku pada mereka.
Mereka seketika termenung sambil menatapku lamat-lamat. Entah hal apa yang ada di pikiran mereka berdua. Melihat masih belum ada jawaban, aku menunggu. Kutempatkan siku kananku di atas meja dan menopang kepalaku dengan telapak tangan kananku. Belum juga ada tanda-tanda mereka akan menjawab.
"Hoi! Ngelamunin apa, sih?" rutukku sebal pada mereka, masih dengan pose yang sama.
"Eh? Tadi kamu nanya apa? Kenalan cowok?" Yesi akhirnya tersadar dari lamunannya. Sebagai jawaban, aku mengangguk pelan dengan wajah datar.
Tiba-tiba saja, Yesi dan Sisi serentak menggebrak meja, sekaligus bangkit dari kursi masing-masing sambil berteriak, "Apa kamu gila?"
Semua pengunjung di sini terkejut dan menoleh serempak. Teriakan mereka yang menggelegar itu tentu saja lebih mengejutkanku yang berada dekat dengan mereka.
Aku mengelus dada sambil berkata, "Jangan berisik!" kataku lirih sambil melirik ke kanan dan ke kiri.
Mereka berdua baru menyadari bahwa mereka ada di tempat umum. Perlahan, mereka duduk kembali dan mencondongkan tubuh mereka ke arahku. Aku menghela napas panjang.
"Kenapa pake teriak, sih? Kalau dia sama pacarnya tahu kita di sini gimana?" rutukku kesal dengan berbisik.
"Habisnya darimana kamu kepikiran hal kayak gitu? Kesambet apaan, sih?" balas Sisi dengan berbisik juga.
"Masih ada dia, lho, Sav. Kenapa cari cowok lain? Pokoknya kita gak setuju." timpal Yesi sama berbisiknya.
"Ema--" bisikanku terpotong dengan suara pelayan perempuan yang menghampiri meja kami.
"Maaf menunggu lama!" katanya sopan sambil meletakkan pesanan es krim kami di meja.
Sisi dan Yesi yang awalnya mencodongkan badan kepadaku, menarik tubuhnya kembali ke posisi awal. Pandangan mereka masih menatapku tidak percaya. Sedangkan, aku menatap pelayan itu dengan tersenyum ramah.
"Terima kasih, mbak." ucapku setelah ia selesai meletakkan pesanan kami di atas meja. Lalu, pelayan itu melangkah pergi.
Chocolate parfait yang kupesan ini langsung kulahap dengan wajah gembira. Rasanya benar-benar enak. Lembut dan manis. Ini terlalu enak. Aku bingung bagaimana harus menuliskannya dalam kata-kata.
"Sav, emang kenapa, sih? Kenapa harus cari orang lain kalau udah ada orangnya?" kata Sisi pelan, membahas topik tadi. Ia mulai meraih sendoknya dan memakan banana splitnya perlahan. Sangat perlahan.
"Kenapa harus bertahan sama orang yang udah ada pasangannya?" Aku justru balik bertanya.
"Leo---" kata Yesi terpotong olehku.
"Tidak. Dia udah punya orang lain dan bahagia. Sekarang aku juga harus bahagia." Aku menghentikan sendokanku untuk sementara.
Kulirik lelaki itu yang masih bercanda ria dengan perempuan di hadapannya. Dia sudah bahagia, meski pada awalnya hanya terpaksa. Jika rasa tidak suka saja bisa menjadi suka, rasa suka pasti juga bisa menjadi tidak suka. Apa salahnya mencoba untuk berhenti berharap? Percobaan yang kemungkinan besar akan gagal.
"Jadi, apa kalian punya kenalan cowok?" tanyaku lagi. Wajahku yang awalnya sendu kembali bersemangat. Aku kembali menyendok es krimku perlahan.
Yesi dan Sisi yang sibuk memakan es krim masing-masing langsung menghentikan kegiatan tangan mereka. Mereka pelan-pelan mendongak dan menatap mataku. Tatapan mereka menyeramkan, aku dibuat merinding olehnya. Baiklah, ini saatnya untuk menyiapkan telinga agar bisa bertahan lama mendengarkan omelan mereka.
Sisi mulai menarik napasnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Yesi memegang erat garpu di tangan kanannya. Tatapan mereka berdua tidak lepas dariku, bahkan semakin tajam.
"Aku gak punya kenalan cowok, sih. Kamu punya gak, Yes?" kata Sisi penuh tekanan di setiap katanya.
"Sayangnya, aku juga gak punya. Eh, punya, sih. Tapi, aku gak mau ngenalin ke kamu." kata Yesi lebih lembut, namun tetap terdengar mengancam.
Aku menelan ludah. Kukira mereka akan mengomel panjang lebar. Apa karena sekarang lagi ada di tempat ramai? Mereka berlebihan sekali tentang hal ini. Hanya ada satu cara untuk menghilangkan mode horor mereka berdua. Mari kita lihat, siapa yang lebih mahir dalam hal ini.
"Kenapa aku gak boleh cari cowok lain? Aku juga mau bahagia kayak dia. Capek harus nangis tiap malam." kataku dengan mata berkaca-kaca. Tentu saja ini tidak seratus persen sandiwara. Benar saja, mereka langsung melembut.
"Kita tanya Kiki dan Jerry aja. Tapi, kalau mereka gak tahu apa-apa tentang hubungan mereka berdua, kita tunggu sebulan lagi. Baru kamu boleh cari cowok lain dan kita gak akan ngelarang." Yesi memberi usulan. Saran yang di luar dugaanku.
Aku menggangguk pelan sambil mengusap mataku yang berkaca-kaca. Sebulan lagi, ya? Itu artinya sampai Januari. Apa aku bisa bertahan selama itu? Lagipula, sebentar lagi akan libur semester. Aku tidak perlu melihat wajahnya selama liburan. Mungkin itu bisa mengurangi rasa sakitnya. Tapi, kalau yang kutakutkan ini benar-benar terjadi, bagaimana? Apa aku bisa memulai lagi dari awal dengan orang yang berbeda?
"Habis ini kita langsung pulang aja, ya?" kataku pelan sambil terus menyendok es krimku. Mereka mengangguk setuju, cepat-cepat menghabiskan es krim mereka.
Rasa es krim ini menjadi biasa saja dibanding sebelumnya. Harusnya aku tidak merusak rasa lezat es krim ini dengan perasaanku. Mungkin moodku kali ini tidak akan bertambah baik karena es krim. Ternyata satu orang bisa membuat hidupku menjadi berantakan tidak jelas seperti ini. Untung saja ujian akhir sudah lewat, aku tidak perlu melihat nilaiku yang turun. Kalau saja belum dilakukan, kupastikan nilaiku akan hancur lebur, seperti hatiku yang sekarang ini.