Kami berenam beriringan keluar dari gudang. Lega rasanya bisa melihat Savira kembali. Walau dia dalam kondisi yang tidak begitu baik. Setidaknya, ia tidak berdarah-darah seperti yang kubayangkan.
***
Setelah Savira dan Leon tampak lebih baik, aku pun bertanya kepada mereka bagaimana ini semua bisa terjadi. Savira dan Leon saling lirik, mungkin menyuruh satu sama lain untuk bercerita hingga akhirnya Leon menghela napas panjang setelah lirik-lirikan dengan Savira.
"Oke, aku cerita versiku dan Savira cerita versinya sendiri." kata Leon memutuskan.
Savira yang sudah berhenti menatap Leon tadi kembali menatap Leon tidak terima. Namun, Leon tampak tidak peduli akan hal itu hingga akhirnya Savira menyerah. Aku menahan tawa melihat keduanya yang sudah seperti orang pacaran, walau aku yakin mereka akan berpacaran nanti. Mereka sudah sangat serasi untukku, entah apa lagi yang mereka tunggu.
"Jadi, awalnya aku sama Savira ..." Leon mulai bercerita panjang lebar.
Kami mendengarnya dengan saksama, kecuali Savira yang tampak tidak peduli. Aku menjadi penasaran apa yang dipikirkannya setiap aku melirik ke arahnya.
"... Vio suruh anak buahnya ikat aku sama Savira terus taruh di gudang sampai istirahat pertama. Itu kalau kalian gak datang tadi." cerita Leon yang sudah sampai di penghujung versinya.
Aku mengangguk-angguk, lalu menoleh ke arah Savira. Bersiap mendengar cerita versinya. Namun, Savira tetap diam saja. Ia tidak merasa berkepentingan untuk bercerita padahal kami semua sudah menoleh ke arahnya, menunggu ia buka suara. Ia malah balik menatap kami satu per satu dengan tatapan yang balik bertanya, "Kenapa ngelihat ke arahku?" kira-kira begitu maksudnya.
"Udah, kan? Aku mau masuk kelas dulu. Bye!" kata Savira santai melangkah pergi.
Tidak ada dari kami yang sempat mencegahnya. Kami lebih sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Kurang lebih versinya Savira sama kayak aku. Kita masuk kelas aja sekarang. Lebih baik telat daripada tidak sama sekali, kan?" kata Leon sok bijak.
Namun, kami juga tidak ada pilihan lain. Kami berlima meninggalkan ruang UKS menuju kelas kami masing-masing. Semoga saja tidak dimarahi Bu Galak, kataku berulang-ulang dalam hati.
***
/Violenza POV/
Gue kaget waktu Leon masuk ke dalam kelas ditemani Kiki dan Jerry. Pasti ada yang melepaskan mereka dan orang itu pasti temannya. Ya sudahlah, yang penting Leon udah jadi pacar gue. Gak ada yang perlu dikhawatirin lagi.
"Dari mana aja kalian? Habis bolos? Kenapa gak sampai bel pulang aja keluyuran sana?" hardik Pak Gito.
Belum sempat mereka membela diri, gue udah berdiri dan bilang, "Tadi saya suruh mereka ke UKS, Pak. Leon tadi agak pusing katanya." kata gue membela Leon dan juga dua temannya itu.
Pak Gito menoleh ke arah gue, lalu menatap langit-langit kelas, berpikir. Kemudian, ia menyuruh mereka bertiga segera duduk dan mengejar ketinggalan mereka tadi. Gue balik duduk lagi sambil merhatiin Leon yang jalan ke bangkunya. Itu pacarku.
***
Bel istirahat pertama udah mulai. Gue langsung ke bangku Leon dan memeluk tangannya, meskipun Pak Gito belum keluar kelas. Gue mengajaknya ke kantin dengan sedikit paksaan, tetap melingkarkan tangan gue dengan mesra.
"Sayang, kamu kok cemberut gitu, sih? Senyum dong." kata gue dengan manja.
"Vi, jangan berlebihan! Lepasin tanganmu!" ucap Leon dingin sambil berusaha melepaskan tangan kanannya dari pelukan tangan gue.
"Iihh! Kita, kan pacaran. Masa aku gak boleh meluk tangan kamu?" kata gue dengan nada pura-pura sebal.
Leon hanya diam dan gue anggap diamnya itu mengizinkan gue untuk melingkarkan tangan gue lagi pada tangannya. Untuk kedua kalinya, Leon berusaha melepaskannya, tapi gue pererat lingkaran tanganku agar tak bisa dilepaskannya hingga ia menyerah. Aku menang.
/Savira POV/
Bel istirahat berdering kencang. Aku, Sisi, dan Yesi yang tadi dihukum berdiri di luar kelas oleh Bu Galak segera saja masuk kelas setelah seisi kelas keluar. Namun, sayangnya tidak benar-benar semua. Perempuan paruh baya yang dipanggil Bu Galak itu masih duduk takzim di kursinya seakan memang menunggu kami masuk. Kami yang baru berada di depan pintu kelas segera langsung berbalik, urung masuk. Kalau begini, lebih baik langsung ke kantin aja. Sayang seribu sayang, belum sempat kami pergi, Ibu Galak itu sudah menahan kami. Tentu bisa ditebak, ceramah dan mungkin hukuman selanjutnya akan dilontarkan dari mulutnya yang pedas itu. Dan, benar terjadi. Sepuluh menit kami diceramahi panjang lebar tanpa bisa membela diri, hanya bisa menunduk dalam-dalam.
Selesai sepuluh menit, beliau memilih untuk berhenti karena sudah lelah mengomel. Hilang sudah sosoknya di pintu, kami segera berlari ke kantin. Waktu istirahat kami berkurang separuh karenanya. Namun, belum habis juga sial hari ini. Manusia yang baru saja mendapatkan Leon nampak jelas di antara kerumunan, baru saja keluar. Parahnya lagi, manusia itu juga melihat kami dan langsung menghampiri kami.
"Sav, ini pacar aku, Leon. Jangan diambil, ya! Byee!" ucap Vio sambil memeluk erat tangan Leon dan menyandarkan kepalanya ke pundaknya, lalu pergi.
Aku berusaha tersenyum melihatnya. Bukan karena aku sedih karena Leon berpacaran dengan Vio. Namun, lebih ke sifat Vio yang menyebalkan. Jelas sekali itu disengaja. Leonnya saja tidak tersenyum sama sekali. Moodku semakin buruk hari ini. Apa lagi yang harus kuhadapi nanti?
***
Sudah sebulan aku tidak pernah berbicara dengan Leon, Kiki, dan Jerry. Hari-hariku benar-benar menjadi sepenuhnya berbeda tanpa kehadiran Leon. Bahkan untuk sekadar chat pun tidak ada, satu pun tidak karena Leon sudah berjanji untuk tidak mendekatiku lagi. Hanya Sisi dan Yesi yang bersamaku. Siap mendengarkan segala keresahanku tentang hubungan Vio dan Leon sebagai pacar ataupun di luar itu. Setiap kali melihat mereka berduaan saja, di mana pun itu, dadaku tiba-tiba menjadi sesak. Aku tahu betul bahwa itu semua hanyalah keterpaksaan. Namun, tetap saja kurasakan cemburu, sesak, sedih. Mana ada seorang perempuan yang tidak cemburu ketika orang yang disukainya menjadi dekat dengan perempuan lain. Yang semakin menjadi masalah adalah aku tidak bisa melarang-larang mereka karena aku bukanlah siapa-siapa.
Sekarang, aku menyadari bahwa status itu penting. Hak dan kewajiban kita bergantung kepada status kita. Sayangnya, sebagai temannya, aku tidak bisa mengatakan padanya bahwa aku cemburu karena aku tidak memiliki hak berperasaan seperti itu karena kita 'Bukan Siapa-Siapa'.
Seberapapun kerasnya usahaku merelakan Leon sepenuhnya, tetap saja tidak bisa. Sikapnya yang senantiasa menggangguku di saat awal-awal aku mengenalnya terus saja terbayang-bayang di kepalaku kala aku sendiri. Dirinya yang tiba-tiba mengajakku berbicara selesai dihukum saat upacara. Dirinya yang selalu menungguku di depan gerbang sekolahku, lengkap dengan motornya. Dirinya yang memberiku sekotak es krim. Es krim 3 in 1 yang isinya sudah agak mencair ketika aku buka di rumah. Dia sosok yang menyenangkan.