Chereads / Kisah di SMA / Chapter 19 - 16. Salah Paham

Chapter 19 - 16. Salah Paham

Selesai berselfie, Sisi lanjut memeriksa daftar menu di hadapannya. Lalu, berbincang ini itu jika menemukan menu yang ia tahu, tidak peduli ada yang mendengarnya atau tidak. Sedangkan, aku membaca buku yang kubawa dari rumah. Kadang mendengarkan celotehan Sisi dan tersenyum jika kamera Yesi mengarah padaku.Inilah kami. Yesi si selebgram, Sisi si serba tahu, dan aku si kutu buku.

***

Sepuluh menit berlalu, Yesi sudah tidak sibuk lagi menjadi selebgram. Sisi pun begitu, ia sudah selesai memeriksa menu-menu yang ada. Anehnya, mereka sama sekali tidak bosan. Padahal biasanya, jika sudah tidak ada hal yang bisa mereka lakukan---selain menunggu---mereka akan bersungut-sungut, mengomel ini dan itu. Berbeda dengan sekarang. Mereka sibuk memperhatikan keramaian dan juga interior-interior yang ada di sini. Sesekali, mereka membicarakan pendapat mereka satu sama lain. Jauh sekali perbedaan perangai mereka sekarang dengan sebelumnya. Aku yang masih dengan novel di tanganku menjadi tidak fokus membaca karena keganjilan yang ada pada mereka.

Kuputuskan untuk menutup buku novelku dan bertanya langsung, "Kok kalian tumben gak bosan? Kalian, kan, paling gak suka nunggu." tanyaku heran.

Mereka yang sedang bercakap-cakap, mengutarakan pendapat mereka tentang cat dinding berwarna kuning pucat seketika diam dan menoleh kepadaku.

"Eh? Iya juga, ya? Kira-kira kenapa?" Sisi justru balik bertanya. Yesi pun nampak ikut berpikir.

"Mungkin karena ini WarunkOsong? Yang ada hanya rasa bahagia." jawab Yesi dengan wajah bangga. Ekspresinya sudah seperti menjawab soal fisika dengan benar. Bangga sekali.

Aku menunduk dan menghela napas panjang. Bukannya mendapat pencerahan, semakin aneh saja mereka. Sepertinya kebingungan masih dapat memasuki tempat ini.

"Nah, itu makanannya sudah datang!" seru Yesi semakin senang sambil menunjuk ke salah satu arah.

Aku dan Sisi ikut menoleh ke arah yang ditunjuk. Benar, ada perempuan dan laki-laki membawa nampan berisi tiga porsi nasi goreng dan kentang goreng, dan tiga gelas es teh manis. Jangan menghina apa-apa tentang pesanan kami! Kami memesan makanan yang kami suka---yang memang sengaja disamakan semua---dan yang paling penting adalah MURAH.

Melihat makanan itu, perutku langsung saja keroncongan. Pelayan itu sudah mulai mengatur piring dan gelas yang mereka bawa di meja kami. Kami ikut membantu. Tak butuh waktu lama, kedua pelayan itu pergi dan kami pun sudah memegang sendok di tangan. Siap-siap makan.

"Selamat makan!" ucap Sisi pelan.

"Bon appétit!" timpal Yesi tak mau kalah dengan bahasa Prancisnya

Aku juga tidak mau kalah dengan mereka berdua. Bahasa Indonesia sudah, bahasa Prancis sudah. Maka, sekarang saatnya bahasa yang kubisa. "Ittadakimasu!" ucapku pelan dalam bahasa Jepang.

Kami pun menghabiskan porsi kami masing-masing---walau pesanan kami sama---sambil bercanda ria, membahas ini itu dengan wajah penuh kegembiraan. Lalu, tiba-tiba saja, suasana lengang di antara kami bertiga. Setelah saling tatap beberapa detik, kami langsung tertawa bersama-sama. Kalian pasti pernah saat sedang bercanda bersama teman-teman kalian, lalu tiba-tiba suasana menjadi hening. Tidak ada suara dari kalian. Lalu saling tatap beberapa detik dan akhirnya tertawa bersama membahas keheningan itu. Teman dan sahabat memang penyembuh kesedihan, ditambah jika berada di atmosfer kebahagiaan.

Belum reda tawaku dan Sisi, Yesi sudah terdiam dengan tiba-tiba. Air mukanya tampak sekali terkejut melihat ke pintu masuk. Aku menoleh ke arah yang sama dan melihat dua orang yang sangat tidak asing lagi bagiku itu sedang tertawa bersama, entah karena apa. Aku ikut terdiam, sama kagetnya dengan Yesi dan Sisi---yang juga sudah melihat itu. Tidak ada lagi senyum itu, tawa itu, raut bahagia itu di meja kami. Atmosfer kebahagiaan yang ada ternyata juga tidak sanggup menahan rasa ini.

Aku berusaha menahan tangis, tetap melanjutkan memakan nasi goreng di depanku yang sisa sedikit itu. Tanganku gemetar memegang sendok, nasi yang ada di atasnya berjatuhan kembali ke piring. Terus begitu berkali-kali membuatku menyerah. Aku beralih pada kentang gorengku, mengambil sepotong dan memakannya, mengambil lagi sepotong dan kumakan lagi. Terus begitu hingga tak bersisa lagi. Es teh milikku kuminum perlahan melalui sedotan. Tak sekalipun aku melirik pada Sisi dan Yesi yang berada di depanku itu. Mereka pun juga bungkam.

"Apa ini? Apa itu tadi? Kalian lihat, kan? Itu dia dan pacarnya. Mereka... ter... ta... wa... ber... sa... ma. Hubungan yang awalnya terpaksa itu menjadi indah. Benar, bukan yang kukatakan?" kataku sedikit terbata. Air mata yang kutahan sedari tadi akhirnya jatuh juga.

Sisi dan Yesi bertatapan sejenak. Yesi berusaha optimis, "Mungkin, Leon hanya---"

"Tidak! Jangan menyebut namanya! Jangan pernah menyebut namanya atau nama pacarnya lagi di depanku!" Aku nyaris berteriak. Hanya karena aku masih berada di tempat umum, aku menahan amarahku.

Setelah diam beberapa saat, Yesi kembali berkata, "Mungkin dia hanya terbawa suasana tempat ini. Awalnya, kamu juga seperti itu, bukan? Aku tetap yakin dia masih menyukaimu dan tidak akan bertahan lama dengan Vi-, eh, dengan pacarnya itu."

"Ah, benar juga! Tempat ini bisa memberi kebahagiaan, bukan? Lalu, kenapa aku masih bisa menangis? Apa kebahagiaan itu hanya sesaat?" Air mataku terus mengalir dalam diam.

"Kalau kamu mau pergi sekarang, ayo! Mungkin itu bisa mengurangi sedihmu. Atau kamu mau pesan es krim dulu untuk memperbaiki suasana hatimu?" Sisi berkata lembut padaku.

Aku berpikir sejenak. Dia tidak boleh melihatku pergi dari sini dengan menangis. Kalau seperti itu, dia akan berpikir aku masih sedih karenanya. Tentu saja aku tidak ingin dia menjadi percaya diri seperti itu. Lebih baik aku memesan es krim untuk memperbaiki suasana hatiku. Lalu, aku harus menyapanya. Iya, harus. Aku harus menyapanya dengan bahagia. Tapi, bisakah aku?

Aku menghapus air mataku dan berkata, "Ya sudah, aku pesan es krim, kalian juga pesan, ya?" kataku sambil tersenyum.

Sisi dan Yesi mengangguk, ikut tersenyum dan semangat kembali. Yesi langsung memesan Oreo Mini Ice Cream Cake. Sisi membeli Banana Split. Aku membeli Chocolate Parfait. Astaga, melihat menu dan gambar-gambar es krim ini membuat kesedihanku menguap. Aku menjadi tidak sabar memakannya. Es krim selalu bisa membuatku seperti itu. Bahagia.

Sambil menunggu es krim itu datang, aku semangat menghabiskan nasi goreng yang tersisa 3 sendok itu---yang sekarang sudah habis. Sisi dan Yesi sibuk menghabiskan kentang goreng mereka. Aku memperhatikan mereka lamat-lamat. Mereka benar-benar sahabat sejati, mirip seperti film kartun yang kutonton saat itu. Terima kasih, ucapku sungguh-sungguh dalam hati.

Menyadari dirinya ditatap, Sisi bertanya, "Kamu mau?" Tangannya membawa kentang goreng dan menawarkan padaku. "Kalau mau ambil aja, gak perlu dilihatin terus." sambungnya.

Astaga! Siapa yang mau kentang goreng itu? Sisi ada-ada saja. "Siapa yang lihatin kentangnya? Aku lihatin kalian kok. Makasih, ya, udah selalu ada di sisi aku." kataku sambil tersenyum lebar.

Wajah Sisi dan Yesi tiba-tiba saja memerah. Tentu saja bukan karena marah. Malu mungkin? Lucu sekali ekspresi mereka.

--------

PENGUMUMAN!

Halo, semuaa ^_^

Bab hari ini adalah pengganti bab minggu lalu. Dan, untuk minggu ini dan minggu depan, saya akan hiatus sebentar dikarenakan harus mempersiapkan diri untuk ulangan Senin nanti. Mohon permaklumannya atas tindakan tidak profesional ini. Maka dari itu, sebagai penggantinya akan ada Episode Spesial yang akan terbit hari ini juga pukul 20.00 WITA. Stay tune ^_^